BMKG: Fenomena Urban Heat Island Sebabkan Cuaca di Kota Semakin Panas
Jum'at, 28 Juni 2024 - 10:33 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan potensi bahaya fenomena meningkatnya suhu pada wilayah perkotaan yang dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Urban Heat Island sendiri merupakan fenomena alam berupa tingginya temperatur daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.
“UHI ini harus kita mitigasi bersama. Perlu kesadaran dan aksi nyata untuk menghadapi UHI ini,” ungkap Dwikorita pada Workshop Urban Heat Island 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Jumat (28/6/2024).
Dwikorita menerangkan, peningkatan suhu yang terkait dengan fenomena UHI perkotaan bervariasi tergantung pada tutupan lahan. Fenomena ini, kata dia, dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca. Selain itu, perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun juga memperparah terjadinya UHI.
Dwikorita menyebut dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan. Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, lanjut dia, termasuk dalam 20% kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar. Menurutnya, permukaan yang kedap air dan lebih sedikit vegetasi menambah efek dari UHI tersebut.
Lebih lanjut, Dwikorita menerangkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan pada 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
“Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata. Maka dari itu, perlu langkah atau gerak bersama seluruh komponen masyarakat, tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, LSM, dan lain sebagainya termasuk anak-anak muda,” tambah Dwikorita.
Dwikorita juga menjelaskan secara rinci apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan BMKG. Diutarakannya bahwa tugas utama BMKG adalah melakukan monitoring secara sistematis dan berkesinambungan, agar analisis untuk prediksi dan proyeksi puluhan hingga seratus tahun kedepan dapat dihasilkan secara tepat.
“Tanpa data, analisis tidak dapat dilakukan. Kita membutuhkan data sebagai verifikasi atau asimilasi untuk membantu tugas BMKG dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Supaya tidak salah langkah, maka harus berbasis data, termasuk dalam memitigasi UHI ini,” pungkasnya.
“UHI ini harus kita mitigasi bersama. Perlu kesadaran dan aksi nyata untuk menghadapi UHI ini,” ungkap Dwikorita pada Workshop Urban Heat Island 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerjasama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Jumat (28/6/2024).
Dwikorita menerangkan, peningkatan suhu yang terkait dengan fenomena UHI perkotaan bervariasi tergantung pada tutupan lahan. Fenomena ini, kata dia, dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya struktur geometris kota yang rumit, sedikitnya vegetasi, hingga efek rumah kaca. Selain itu, perubahan tutupan lahan yang menjadi lahan terbangun juga memperparah terjadinya UHI.
Dwikorita menyebut dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan. Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung, lanjut dia, termasuk dalam 20% kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar. Menurutnya, permukaan yang kedap air dan lebih sedikit vegetasi menambah efek dari UHI tersebut.
Lebih lanjut, Dwikorita menerangkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan pada 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
Baca Juga
Angka ini, kata Dwikorita, nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius. Pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
“Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata. Maka dari itu, perlu langkah atau gerak bersama seluruh komponen masyarakat, tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, LSM, dan lain sebagainya termasuk anak-anak muda,” tambah Dwikorita.
Dwikorita juga menjelaskan secara rinci apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan BMKG. Diutarakannya bahwa tugas utama BMKG adalah melakukan monitoring secara sistematis dan berkesinambungan, agar analisis untuk prediksi dan proyeksi puluhan hingga seratus tahun kedepan dapat dihasilkan secara tepat.
“Tanpa data, analisis tidak dapat dilakukan. Kita membutuhkan data sebagai verifikasi atau asimilasi untuk membantu tugas BMKG dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Supaya tidak salah langkah, maka harus berbasis data, termasuk dalam memitigasi UHI ini,” pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda