Hubungan Baik Ulama dan Umara Hasilkan Tata Kelola Pemerintah yang Efektif
Rabu, 26 Juni 2024 - 23:38 WIB
JAKARTA - Dalam peradaban Islam, umara/pemerintah dan ulama memiliki hubungan erat karena eksistensi salah satunya sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kolaborasi ulama dan umara yang adil dan bijaksana, tidak hanya menghasilkan tata kelola pemerintahan yang efektif, namun juga dapat menjadi teladan bagi rakyat yang mereka pimpin.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof Syamsul Ma'arif mengatakan, keakraban kaum ulama dengan unsur pemerintahan di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, para kiai ikut menyerukan ribuan santrinya untuk ikut berjihad mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.
"Hubungan ulama dan umara di indonesia begitu kuat, dan ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini bisa tergambar dari seruan Mbah Hasyim Asy'ari di masa perjuangan, yang berbunyi 'hubbul wathan minal iman' artinya 'cinta negara atau nasionalisme adalah bagian dari keimanan'" kata Prof Syamsul di Semarang, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, ulama yang memiliki kedekatan tertentu dengan pemerintah tidak bisa langsung dijustifikasi sebagai suatu kezaliman. Apalagi jika menelisik akar historis simbiosis keduanya yang sudah tertanam, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka.
Alasan lainnya adalah belum tentu hasil akhir dari kolaborasi keduanya pasti menghasilkan kemudharatan bagi rakyat Indonesia. Umumnya, kolaborasi yang terjadi justru menghasilkan perundang-undangan dan tata kelola negara yang lebih komprehensif karena melibatkan ulama-ulama yang menjadi corong kepentingan masyarakat.
Prof Syamsul yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah periode 2022-2025 ini menyebutkan, eksistensi Indonesia sebagai negara multikultural turut didukung oleh para kiai dan ulama yang mampu mengakomodasi berbagai golongan budaya dan kepercayaan.
"Ulama moderat adalah kalangan yang lebih luwes dalam menyikapi perbedaan dan dinamika Indonesia sebagai suatu bangsa. Wajar jika kemudian dalam perkembangannya, mereka memiliki kedekatan tersendiri dengan Pemerintah Indonesia. Ulama moderat tidak hanya bicara dalam koridor hukum agama semata, namun juga bisa menempatkan kaidah agama dalam bingkai kenegaraan Indonesia,” kata Prof Syamsul.
Akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini menilai adanya upaya delegitimasi dari kalangan tertentu terhadap ulama moderat dan para santri. Walaupun demikian, Prof. Syamsul menganggap bahwa narasi yang menyudutkan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai.
"Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar karena rasa cemburu pihak tertentu terhadap kerja sama yang baik antara ulama dan umara," ujarnya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof Syamsul Ma'arif mengatakan, keakraban kaum ulama dengan unsur pemerintahan di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, para kiai ikut menyerukan ribuan santrinya untuk ikut berjihad mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.
"Hubungan ulama dan umara di indonesia begitu kuat, dan ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini bisa tergambar dari seruan Mbah Hasyim Asy'ari di masa perjuangan, yang berbunyi 'hubbul wathan minal iman' artinya 'cinta negara atau nasionalisme adalah bagian dari keimanan'" kata Prof Syamsul di Semarang, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, ulama yang memiliki kedekatan tertentu dengan pemerintah tidak bisa langsung dijustifikasi sebagai suatu kezaliman. Apalagi jika menelisik akar historis simbiosis keduanya yang sudah tertanam, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka.
Alasan lainnya adalah belum tentu hasil akhir dari kolaborasi keduanya pasti menghasilkan kemudharatan bagi rakyat Indonesia. Umumnya, kolaborasi yang terjadi justru menghasilkan perundang-undangan dan tata kelola negara yang lebih komprehensif karena melibatkan ulama-ulama yang menjadi corong kepentingan masyarakat.
Prof Syamsul yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah periode 2022-2025 ini menyebutkan, eksistensi Indonesia sebagai negara multikultural turut didukung oleh para kiai dan ulama yang mampu mengakomodasi berbagai golongan budaya dan kepercayaan.
"Ulama moderat adalah kalangan yang lebih luwes dalam menyikapi perbedaan dan dinamika Indonesia sebagai suatu bangsa. Wajar jika kemudian dalam perkembangannya, mereka memiliki kedekatan tersendiri dengan Pemerintah Indonesia. Ulama moderat tidak hanya bicara dalam koridor hukum agama semata, namun juga bisa menempatkan kaidah agama dalam bingkai kenegaraan Indonesia,” kata Prof Syamsul.
Akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini menilai adanya upaya delegitimasi dari kalangan tertentu terhadap ulama moderat dan para santri. Walaupun demikian, Prof. Syamsul menganggap bahwa narasi yang menyudutkan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai.
"Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar karena rasa cemburu pihak tertentu terhadap kerja sama yang baik antara ulama dan umara," ujarnya.
tulis komentar anda