Kisruh Revisi UU Penyiaran, Dewan Pers: Perlu, tapi Jangan Membuat Demokrasi Mundur
Jum'at, 14 Juni 2024 - 19:13 WIB
JAKARTA - Dewan Pers menyatakan tak sepakat dengan sejumlah pasal yang ada di dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran . Revisi terhadap beleid itu dinilai perlu, tetapi jangan membuat demokrasi mundur dengan merenggut kebebasan pers.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana dalam diskusi bertajuk "Menakar Urgensi RUU Penyiaran," yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
"Kami juga paham bahwa UU Penyiaran ini sudah lama dibahas dan perlu ada revisi. Tetapi, kemudian bukan berarti revisinya justru akan membuat wajah buruk demokrasi kita. Ini berbahaya," ujar Yadi.
Ada sejumlah klausul yang ditolak Dewan Pers, salah satunya Pasal 8 huruf A. Klausul itu memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa pers. Kewenangan KPI itu dipertegas dalam Pasal 42.
"Kemudian, dipertegas di Pasal 42 kalau tak salah, ada kewenangan sengketa pers. Mengapa kami menolak pasal ini? Karena jelas ini akan bertubrukan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artinya ini akan ada tumpang tindih kewenangan. Nah, ini yang berbahaya," katanya.
Tak hanya itu, pihaknya tak sepakat dengan Pasal 50 huruf B yang melarang penayangan jurnalisme investigasi. Menurut dia, keberadaan klausul itu memangkas kemerdekaan pers.
"Pelarangan jurnalisme investigasi di Pasal 50 B di RUU Penyiaran jelas memangkas kemerdekaan pers," ujar Yadi.
Dia mengingatkan keberadaan Pasal 1 UU Pers yang menjelaskan tugas wartawan yakni mencari, mengolah, hingga menyiarkan informasi menjadi berita ke khalayak. "Ini adalah salah satu definisi penting yang harus dipahami," ucapnya.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana dalam diskusi bertajuk "Menakar Urgensi RUU Penyiaran," yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
"Kami juga paham bahwa UU Penyiaran ini sudah lama dibahas dan perlu ada revisi. Tetapi, kemudian bukan berarti revisinya justru akan membuat wajah buruk demokrasi kita. Ini berbahaya," ujar Yadi.
Ada sejumlah klausul yang ditolak Dewan Pers, salah satunya Pasal 8 huruf A. Klausul itu memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa pers. Kewenangan KPI itu dipertegas dalam Pasal 42.
"Kemudian, dipertegas di Pasal 42 kalau tak salah, ada kewenangan sengketa pers. Mengapa kami menolak pasal ini? Karena jelas ini akan bertubrukan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artinya ini akan ada tumpang tindih kewenangan. Nah, ini yang berbahaya," katanya.
Tak hanya itu, pihaknya tak sepakat dengan Pasal 50 huruf B yang melarang penayangan jurnalisme investigasi. Menurut dia, keberadaan klausul itu memangkas kemerdekaan pers.
"Pelarangan jurnalisme investigasi di Pasal 50 B di RUU Penyiaran jelas memangkas kemerdekaan pers," ujar Yadi.
Dia mengingatkan keberadaan Pasal 1 UU Pers yang menjelaskan tugas wartawan yakni mencari, mengolah, hingga menyiarkan informasi menjadi berita ke khalayak. "Ini adalah salah satu definisi penting yang harus dipahami," ucapnya.
(jon)
tulis komentar anda