Teliti Peran DPR di Masa Pandemi, Misbakhun Raih Gelar Doktor Ekonomi

Selasa, 04 Juni 2024 - 23:21 WIB
Hasil dari kolaborasi dan sinergi antara pemerintah, BI, dan DPR itu ialah Indonesia menjadi satu dari lima negara yang berhasil dalam penanganan Covid-19. Misbakhun menyebut ada dua kunci keberhasilan tersebut, yakni state capacity dan social trust.

Namun, Misbakhun menilai peran DPR dalam perumusan kebijakan strategis itu justru terpinggirkan. Padahal, DPR pula yang memberikan kepastian hukum dalam bauran kebijakan dari otoritas fiskal dan moneter dengan memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

"Peran DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan monetr melalui kebijakan burden sharing selama pandemi Covid-19 ialah memberi kepastian hukum, legitimasi politik, juga menyetujui perpu yang diajukan presiden," tuturnya.

Oleh karena itu, Misbakhun dalam disertasinya merekomendasikan sejumlah hal, yang utama ialah inisiatif DPR dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dan moneter harus diperluas dalam berbagai situasi yang membutuhkan legitimasi politik. "DPR harus memainkan peran sebagai lembaga yang mengagregasi berbagai kekuatan dan aspirasi politik," ujarnya.

Selain itu, Misbakhun juga merekomendasikan protokol penanganan krisis ekonomi akibat faktor-faktor non-ekonomi yang berpotensi muncul di masa mendatang. "…. utamanya melalui mekanisme hukum atau emergency law," imbuhnya.

Untuk penelitian itu, Misbakhun melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan sejumlah narasumber sektor fiskal maupun moneter yang kompeten dan terlibat langsung dalam perumusan kebijakan penanganan ekonomi di masa pandemi, yakni Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah, Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OPF, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad.

Selain itu, Misbakhun juga memperkuat disertasinya dengan analisis para ekonom dan pengamat, antara lain, Maria Gonzalez dari Dana Moneter Internasional (IMF), Piter Abdullah Redjalam (Segara Institute), Prof. Shin Jin Kyo dan Jae-Hyeok Choi Ph.D dari Kimyung University, serta Sekretaris Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar India di Jakarta Ms. Malvika Priyandarshini.

Salah satu anggota tim penguji, Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, dalam sidang terbuka itu menyinggung soal pelajaran dari dua hal yang dipraktikkan Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi di masa pandemi, yakni pemberian keleluasaan kepada pemerintah untuk menentukan ruang fiskal dan kebijakan tentang BI membeli surat berharga di pasar primer.

Mantan menteri perencanaan pembangunan nasional tersebut beranggapan kebijakan tersebut sebenarnya tidak lazim di masa normal. "Pelajaran berharga apa dari penanganan Covid dari dua indikator itu dalam kondisi kita ke depan?" tanya Bambang.

Menanggapi pertanyaan itu, Misbakhun mengatakan Indonesia bukan sekali saja menghadapi krisis. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi 1998 dan 2008. Krisis pada 1998, kata Misbakhun, melahirkan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, krisis pada 2008 mlahirkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More