Komisi IX DPR Akan Dengarkan BPOM soal Obat COVID-19 Unair
Kamis, 20 Agustus 2020 - 11:22 WIB
JAKARTA - Komisi IX DPR akan mengundang Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) terkait dengan perkembangan obat dan vaksin dalam penanganan COVID-19 , begitu juga dengan obat temuan Universitas Airlangga (Unair) hasil kerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI yang disebut BPOM belum valid hasil uji klinisnya.
“Kita baru mau bahas di komisi pekan depan. Karena Komisi I yang mengawal adalah BIN dan TNI, jadi Komisi I lebih tahu prosesnya sudah sampai mana,” ujar Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati saat dihubungi SINDO Media, Kamis (20/8/2020). (Baca juga: Sebut Ada Ancaman, Sejumlah Purnawirawan TNI Temui Rizal Ramli)
Untuk itu, Mufida menjelaskan, Komisi IX DPR akan mendengar terlebih dulu semua penjelasan dari Unair mengenai uji klinis yang sudah dilakukan dan fase-fase yang sudah dilalui dalam penemuan obat yang diklaim Unair tersebut.
“Iya, kan kita dengarkan di RDP (rapat dengar pendapat) Komisi IX DPR. Kita juga akan rapat dengan BPOM terkait obat ini,” imbuh politikus PKS itu.
Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan pihaknya menemukan critical finding atau temuan kritis saat melakukan inspeksi terhadap proses uji klinik fase tiga obat tersebut pada 3 Juli 2020. Inspeksi itu pertama dilakukan pada 28 Juli 2020. Beberapa temuan kritis yang didapat BPOM dalam inspeksi tersebut antara lain subjek pasien yang diintervensi dengan uji klinik obat ini tidak mewakili derajat keparahan sakitnya secara acak atau randomization.
“Intinya dikaitkan dengan randomization, acak. Kalau riset harus dilakukan secara acak sehingga betul-betul merepresentasikan populasi di mana obat tersebut akan diberikan. Jadi, dari pasien sebagai subjek yang dipilih itu belum merepresentasikan randomization sesuai protokol yang ada,” terang Penny dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (19/8) kemarin.
Jika dikaitkan dengan demografi derajat kesakitan, Penny melanjutkan, derajat keparahan sakitnya yang mana, derajatnya ada ringan, sedang dan parah. Tapi subjek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut. Temuan kritis lainnya juga orang tanpa gejala (OTG) yang terinfeksi virus Corona tidak perlu diberikan obat sebagaimana protokol yang sudah ditetapkan. (Baca juga: Netizen Iseng Jodohkan Gatot Nurmantyo-Titiek Soeharto)
“Jadi aspek validitas dan hasilnya belum menunjukan hasil signifikan, suatu riset berarti ada introduction yang baru jadi yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil signfikan berbeda dengan pemberian terapi standar, itu tidak signifikan,” paparnya.
“Kita baru mau bahas di komisi pekan depan. Karena Komisi I yang mengawal adalah BIN dan TNI, jadi Komisi I lebih tahu prosesnya sudah sampai mana,” ujar Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati saat dihubungi SINDO Media, Kamis (20/8/2020). (Baca juga: Sebut Ada Ancaman, Sejumlah Purnawirawan TNI Temui Rizal Ramli)
Untuk itu, Mufida menjelaskan, Komisi IX DPR akan mendengar terlebih dulu semua penjelasan dari Unair mengenai uji klinis yang sudah dilakukan dan fase-fase yang sudah dilalui dalam penemuan obat yang diklaim Unair tersebut.
“Iya, kan kita dengarkan di RDP (rapat dengar pendapat) Komisi IX DPR. Kita juga akan rapat dengan BPOM terkait obat ini,” imbuh politikus PKS itu.
Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan pihaknya menemukan critical finding atau temuan kritis saat melakukan inspeksi terhadap proses uji klinik fase tiga obat tersebut pada 3 Juli 2020. Inspeksi itu pertama dilakukan pada 28 Juli 2020. Beberapa temuan kritis yang didapat BPOM dalam inspeksi tersebut antara lain subjek pasien yang diintervensi dengan uji klinik obat ini tidak mewakili derajat keparahan sakitnya secara acak atau randomization.
“Intinya dikaitkan dengan randomization, acak. Kalau riset harus dilakukan secara acak sehingga betul-betul merepresentasikan populasi di mana obat tersebut akan diberikan. Jadi, dari pasien sebagai subjek yang dipilih itu belum merepresentasikan randomization sesuai protokol yang ada,” terang Penny dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (19/8) kemarin.
Jika dikaitkan dengan demografi derajat kesakitan, Penny melanjutkan, derajat keparahan sakitnya yang mana, derajatnya ada ringan, sedang dan parah. Tapi subjek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut. Temuan kritis lainnya juga orang tanpa gejala (OTG) yang terinfeksi virus Corona tidak perlu diberikan obat sebagaimana protokol yang sudah ditetapkan. (Baca juga: Netizen Iseng Jodohkan Gatot Nurmantyo-Titiek Soeharto)
“Jadi aspek validitas dan hasilnya belum menunjukan hasil signifikan, suatu riset berarti ada introduction yang baru jadi yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil signfikan berbeda dengan pemberian terapi standar, itu tidak signifikan,” paparnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda