Wujudkan Program Hilirisasi, Pemerintah Minta PTFI Bangun Smelter di Timika

Jum'at, 31 Mei 2024 - 23:17 WIB
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memberikan kuliah umum di Universitas Islam As Syafiiyah, Bekasi. Foto/istimewa
JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyampaikan smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan nilai investasi USD3 miliar di Gresik, Jawa Timur mulai beroperasi pada 1 Juli 2024.

“Mulai 1 Juli ke depan, pabrik Freeport akan mengolah konsentrat tembaga dari Timika di Gresik. Dalam satu tahun, pabrik ini akan menghasilkan 60 ton emas murni, 400.000 ton katoda tembaga, dan berbagai produk turunan lainnya,” ungkap Bahlil dalam kuliah umum yang digelar di Universitas Islam As Syafi'iyah, Bekasi, Jumat (31/5/2024).

Bahlil melanjutkan, saat ini pemerintah Indonesia juga tengah mendorong PTFI untuk membangun smelter di Timika, Papua Tengah, dekat dengan tambang Freeport. Permintaan ini beriringan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jumlah saham milik Indonesia di PTFI menjadi 61% pada 2041.





“Kita sedang memikirkan, begitu aturannya keluar, kita akan mengakuisisi lagi sahamnya tambah 10%. Sekarang kan kita 51%, kita ingin Indonesia harus mayoritas lagi, negosiasinya sudah selesai dan Freeport setuju untuk penambahan saham 10% pada 2041 ke atas,” ucapnya.

Menurut Bahlil, pembangunan smelter dan proses divestasi saham Freeport merupakan bagian dari program hilirisasi pemerintah, yang merupakan salah satu strategi investasi yang dilakukan oleh negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan di masa mendatang.



“Dunia saat ini sedang berbicara tentang green energy dan green industry. 2035 puncaknya bonus demografi, 65% penduduk Indonesia adalah usia produktif. Karena itu kita harus mendesain dari sekarang agar bangsa kita tidak menjadi negara konsumtif,” imbuhnya.

Bahlil memberikan contoh, cadangan nikel Indonesia mencapai 25% dari total cadangan nikel dunia, sehingga pemerintah memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel pada 2019. Kebijakan tersebut berhasil memberikan nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia.

“Nilai ekspor kita untuk nikel hanya USD3,3 miliar di 2017. Begitu kita stop ekspor bahan baku, kita bangun industrinya, kita bangun pabriknya di Indonesia, apa yang terjadi pada 2023 kenaikannya menjadi USD33,5 miliar atau hampir Rp500 triliun,” imbuhnya.

Bahlil menyebut, banyak negara-negara maju yang tidak senang atas kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel. Bahkan, Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan tersebut.

“Mereka takut negara kita kuat dan saya masih yakin bahwa ada sebagian negara lain yang tidak ingin Indonesia berdaulat dalam mengelola kekayaannya sendiri,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More