26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Demokrasi Cacatnya Makin Parah
Selasa, 21 Mei 2024 - 15:51 WIB
JAKARTA - Aktivis 98 Ubedilah Badrun mengungkapkan alasan pihaknya mengadakan acara peringatan 26 Tahun Reformasi di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024). Dia mengatakan, 26 tahun reformasi ini, pihaknya menyadari bahwa 26 tahun lalu Indonesia berada di jalanan dengan berbagai represi yang sangat luar biasa.
Masyarakat dan mahasiswa harus menghadapi pentungan dan gas air mata untuk keluar dari rezim Orde Baru. "Bahkan ada di antara kawan-kawan kami yang kemudian ditembak mati. Kami kemudian merefleksikan situasi itu dalam konteks hari ini, karena pada saat itu kita punya cita-cita besar, kita punya mimpi besar bahwa setelah 25 tahun itu sekarang masuk ke-26 kita bisa menikmati satu demokrasi yang berkualitas," kata Ubedilah.
Namun, pada saat ini Indonesia justru dihadapkan pada demokrasi yang makin memburuk. Bahkan, kata Ubedilah indeks demokrasi Indonesia berada pada posisi yang oleh the economies disebut sebagai "A Flawed Democarzy".
"Demokrasi yang cacat dan cacatnya makin parah karena kemudian kekuasaan dengan seluruh instrumennya mempraktikkan kekuasaan yang mengabaikan etika, mengabaikan UU, memanipulasi UU, bahkan kemudian juga memanipulasi UUD 1945," ucap Ubedilah.
"Demokrasi makin memburuk dengan indeks kebebasan sipil yang juga skornya cuman 5,59. Nah tidak hanya itu, kami juga dulu bercita-cita agar bangsa ini setelah 25 tahun lebih itu memasuki episode yang praktik kekuasaan dan pemerintahan menjalankan good governance dan clean government. Tetapi hari ini kita melihat bahwa korupsi merajalela," tambahnya.
Lebih lanjut, Ubedilah mengatakan, di atas demokrasi yang cacat, pihaknya menilai bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi begitu vulgar. Datanya bisa lihat bersama-sama bahwa indeks korupsi kita skornya hanya 34.
"Itu kalau rapor merahnya merah banget. Itu cita-cita kedua di antaranya kita ingin agar korupsi, kolusi, dan nepotisme diberantas dan hadir pemerintah yang bersih," pungkasnya.
Masyarakat dan mahasiswa harus menghadapi pentungan dan gas air mata untuk keluar dari rezim Orde Baru. "Bahkan ada di antara kawan-kawan kami yang kemudian ditembak mati. Kami kemudian merefleksikan situasi itu dalam konteks hari ini, karena pada saat itu kita punya cita-cita besar, kita punya mimpi besar bahwa setelah 25 tahun itu sekarang masuk ke-26 kita bisa menikmati satu demokrasi yang berkualitas," kata Ubedilah.
Namun, pada saat ini Indonesia justru dihadapkan pada demokrasi yang makin memburuk. Bahkan, kata Ubedilah indeks demokrasi Indonesia berada pada posisi yang oleh the economies disebut sebagai "A Flawed Democarzy".
Baca Juga
"Demokrasi yang cacat dan cacatnya makin parah karena kemudian kekuasaan dengan seluruh instrumennya mempraktikkan kekuasaan yang mengabaikan etika, mengabaikan UU, memanipulasi UU, bahkan kemudian juga memanipulasi UUD 1945," ucap Ubedilah.
"Demokrasi makin memburuk dengan indeks kebebasan sipil yang juga skornya cuman 5,59. Nah tidak hanya itu, kami juga dulu bercita-cita agar bangsa ini setelah 25 tahun lebih itu memasuki episode yang praktik kekuasaan dan pemerintahan menjalankan good governance dan clean government. Tetapi hari ini kita melihat bahwa korupsi merajalela," tambahnya.
Lebih lanjut, Ubedilah mengatakan, di atas demokrasi yang cacat, pihaknya menilai bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi begitu vulgar. Datanya bisa lihat bersama-sama bahwa indeks korupsi kita skornya hanya 34.
"Itu kalau rapor merahnya merah banget. Itu cita-cita kedua di antaranya kita ingin agar korupsi, kolusi, dan nepotisme diberantas dan hadir pemerintah yang bersih," pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda