Festival Rujak Uleg 2024, Wujud Kebersamaan dan Kekeluargaan Warga Membangun Surabaya
Senin, 20 Mei 2024 - 19:19 WIB
“Pengunjungnya lebih banyak yang ini daripada di Kya-Kya, di Balai Kota Surabaya ini jumlahnya bisa 8000 lebih kalau full. Kalau di Kya-Kya kan memanjang, terus space-nya kecil, sehingga akan kelihatan penuh, tetapi (jumlahnya) tidak sebanyak di sini,” ujarnya.
Selain tema dan lokasi yang berbeda, jumlah porsi yang disuguhkan dalam Festival Rujak Uleg 2024 juga berbeda. Kali ini, Wali Kota Eri menyiapkan sebanyak 731 porsi rujak untuk dibagikan kepada masyarakat Kota Surabaya. Jumlah tersebut disesuaikan dengan angka peringatan HJKS yang kini memasuki usia ke-731.
Pesertanya pun juga berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau di tahun sebelumnya terdiri dari jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot), hotel, dan masyarakat umum di Surabaya. Kini, pesertanya hanya diikuti oleh masyarakat umum, komunitas, hotel, restoran, sekolah, dan universitas.
Di dalam event ini, masyarakat tak perlu khawatir sampai tidak kebagian rujak, karena 432 peserta Festival Rujak Uleg 2024 yang berpartisipasi dalam lomba Rujak Uleg telah menyiapkan sebanyak 800 porsi rujak yang bisa dinikmati bersama seluruh masyarakat.
“Jadi, ada 731 yang dari pemkot, tapi yang dari peserta sekitar 800-an porsi. Berarti ada sekitar 1.500 porsi lebih yang kita bagikan kepada warga,” katanya.
Wali Kota Eri menyampaikan, Festival Rujak Uleg bukan sekadar acara untuk menikmati sajian lokal khas Surabaya. Akan tetapi, digelarnya festival ini juga sebagai wujud untuk memaknai rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan warganya dalam membangun Kota Surabaya.
Rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan itu diibaratkan seperti bahan-bahan yang digunakan sebagai racikan rujak uleg. Mulai dari cingur, sayur-sayuran, buah-buahan, tahu, tempe, hingga petis yang dicampur menjadi satu bagian sajian kuliner rujak uleg. “Nah, Surabaya juga begitu,” kata menegaskan.
Bagi dia, Surabaya ini filosofinya terdiri dari semua agama, semua suku, semua lapisan masyarakat, ini harus menjadi satu. Maka dari itu, Surabaya tidak bisa dilepaskan dari toleransi.
Seperti rujak uleg, tanpa ada cingur, maka tidak akan ada rasanya, tanpa ada petis, maka akan terasa hambar. “Begitu juga Surabaya, tanpa ada agama Kristen akan terasa hambar, tanpa agama Islam dan Buddha juga tidak akan terasa, tanpa ada suku Jawa, Tionghoa, dan Madura, juga tidak akan terasa. Maka dari itulah Surabaya dibangun atas dasar kebersamaan dan kekeluargaan seperti rujak uleg ini,” paparnya.
Dengan adanya rasa kebersamaan dan kekeluargaan antar warga, pemkot berhasil menurunkan angka stunting hingga tersisa 1,6 persen dan ini terendah se-Indonesia. Bahkan, dengan kebersamaan dan kekeluargaan itu pula, pemkot berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga menjadi 4,6 persen.
Selain tema dan lokasi yang berbeda, jumlah porsi yang disuguhkan dalam Festival Rujak Uleg 2024 juga berbeda. Kali ini, Wali Kota Eri menyiapkan sebanyak 731 porsi rujak untuk dibagikan kepada masyarakat Kota Surabaya. Jumlah tersebut disesuaikan dengan angka peringatan HJKS yang kini memasuki usia ke-731.
Pesertanya pun juga berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau di tahun sebelumnya terdiri dari jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot), hotel, dan masyarakat umum di Surabaya. Kini, pesertanya hanya diikuti oleh masyarakat umum, komunitas, hotel, restoran, sekolah, dan universitas.
Di dalam event ini, masyarakat tak perlu khawatir sampai tidak kebagian rujak, karena 432 peserta Festival Rujak Uleg 2024 yang berpartisipasi dalam lomba Rujak Uleg telah menyiapkan sebanyak 800 porsi rujak yang bisa dinikmati bersama seluruh masyarakat.
“Jadi, ada 731 yang dari pemkot, tapi yang dari peserta sekitar 800-an porsi. Berarti ada sekitar 1.500 porsi lebih yang kita bagikan kepada warga,” katanya.
Wali Kota Eri menyampaikan, Festival Rujak Uleg bukan sekadar acara untuk menikmati sajian lokal khas Surabaya. Akan tetapi, digelarnya festival ini juga sebagai wujud untuk memaknai rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan warganya dalam membangun Kota Surabaya.
Rasa kebersamaan, toleransi, dan kerukunan itu diibaratkan seperti bahan-bahan yang digunakan sebagai racikan rujak uleg. Mulai dari cingur, sayur-sayuran, buah-buahan, tahu, tempe, hingga petis yang dicampur menjadi satu bagian sajian kuliner rujak uleg. “Nah, Surabaya juga begitu,” kata menegaskan.
Bagi dia, Surabaya ini filosofinya terdiri dari semua agama, semua suku, semua lapisan masyarakat, ini harus menjadi satu. Maka dari itu, Surabaya tidak bisa dilepaskan dari toleransi.
Seperti rujak uleg, tanpa ada cingur, maka tidak akan ada rasanya, tanpa ada petis, maka akan terasa hambar. “Begitu juga Surabaya, tanpa ada agama Kristen akan terasa hambar, tanpa agama Islam dan Buddha juga tidak akan terasa, tanpa ada suku Jawa, Tionghoa, dan Madura, juga tidak akan terasa. Maka dari itulah Surabaya dibangun atas dasar kebersamaan dan kekeluargaan seperti rujak uleg ini,” paparnya.
Dengan adanya rasa kebersamaan dan kekeluargaan antar warga, pemkot berhasil menurunkan angka stunting hingga tersisa 1,6 persen dan ini terendah se-Indonesia. Bahkan, dengan kebersamaan dan kekeluargaan itu pula, pemkot berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga menjadi 4,6 persen.
Lihat Juga :
tulis komentar anda