Mengurai Benang Kusut Kecelakaan Bus Pariwisata
Kamis, 16 Mei 2024 - 16:12 WIB
Tulus Abadi
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI Periode 2015-2025.
BELUM kering air mata keluarga korban minibus Gran Max yang mengalami kecelakaan mudik Lebaran kemarin (12 orang), kini duka mendalam kembali menyelimuti sektor transportasi darat. 11 nyawa melayang oleh karena kecelakaan bus pariwisata yang dialami rombongan siswa SMK di Depok.
Maksud hati ingin bersenang-senang, alamak, apa daya malah petaka yang mereka dapatkan. Dan ini bukan kali pertama terjadi, tetapi sudah beberapa kali terjadi, dengan korban fatal (meninggal) dan massal pula. Dan, pemicu kecelakaan itu, tragisnya nyaris sama; yakni faktor manusia (human factor) dan faktor teknis (technical factor). Jika merujuk pada skala sempit, maka benar, bahwa pemicunya secara dominan adalah kedua faktor itu. Faktor manusia, seperti mengantuk, kelelahan, over speed, kurang istirahat, dan lain-lain. Sementara faktor teknis, lazimnya karena rem blong, dan atau faktor bannya sudah gundul, atau ban vulkanisir.
Namun kejadian itu tidak bisa dilihat dalam perspektif yang menyempit saja, tetapi mesti dengan kacamata yang meluas. Benar, aspek manusia menjadi pemicu utama, tetapi pertanyaannya kenapa sopir mengantuk/kelelahan tetap menjalankan busnya? Inilah yang harus dikulik, baik dari sisi korporasi, dan bahkan regulasi. Tidak adil jika menjadikan faktor manusia (awak angkutan) sebagai tersangka tunggal, atau bahkan tumbal pada setiap kecelakaan. Terkait hal ini, ada beberapa musabab, yakni kurangnya perhatian dari perusahaan terkait kesejahteraan sopir dan awak angkutan.
Selain itu awak angkutan, khususnya sopir, cenderung dieksploitasi. Akibatnya sopir kurang istirahat, kelelahan, mengantuk, dan sejenisnya. Pemerintah tak menetapkan standar jam kerja yang lebih baku untuk mengatur jam kerja sopir, juga minimnya concern pihak manajemen perusahaan bus.
Bandingkan dengan jam kerja pilot pesawat terbang, atau setidaknya masinis kereta api. Kedua moda transportasi itu punya standar jam kerja yang jelas. Misalnya pilot hanya boleh menerbangkan pesawat maksimal 8 (delapan) jam terbang. Pertanyaannya, apakah sopir bus dan sopir truk derajadnya lebih rendah sehingga tak dibuat standar jam kerja? Toh ending-nya jika terjadi kecelakaan lalu lintas, penumpang dan masyarakatlah yang menjadi korban. Dan terbukti kecelakaan fatal dengan korban massal di sektor transportasi darat justru lebih dominan.
Merujuk pada fenomena tersebut, tidak aneh jika saat ini terjadi penurunan jumlah sopir, khususnya untuk sopir bus AKAP/AKDP, dan juga sopir truk. Sebagaimana petani, profesi sopir bukanlah profesi yang menarik dan tak punya masa depan. Contoh, sebuah perusahaan bus besar ternama di Jawa Timur mempunyai 260 armada bus, tapi dari sejumlah itu yang beroperasi hanya 130 bus saja. Sebabnya, kekurangan sopir! Jika fenomena ini terus dibiarkan tentu menjadi fenomena yang membahayakan bagi keselamatan pengguna bus, karena kerja sopir akan dieksploitasi oleh perusahaannya.
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Ketua Pengurus Harian YLKI Periode 2015-2025.
BELUM kering air mata keluarga korban minibus Gran Max yang mengalami kecelakaan mudik Lebaran kemarin (12 orang), kini duka mendalam kembali menyelimuti sektor transportasi darat. 11 nyawa melayang oleh karena kecelakaan bus pariwisata yang dialami rombongan siswa SMK di Depok.
Maksud hati ingin bersenang-senang, alamak, apa daya malah petaka yang mereka dapatkan. Dan ini bukan kali pertama terjadi, tetapi sudah beberapa kali terjadi, dengan korban fatal (meninggal) dan massal pula. Dan, pemicu kecelakaan itu, tragisnya nyaris sama; yakni faktor manusia (human factor) dan faktor teknis (technical factor). Jika merujuk pada skala sempit, maka benar, bahwa pemicunya secara dominan adalah kedua faktor itu. Faktor manusia, seperti mengantuk, kelelahan, over speed, kurang istirahat, dan lain-lain. Sementara faktor teknis, lazimnya karena rem blong, dan atau faktor bannya sudah gundul, atau ban vulkanisir.
Namun kejadian itu tidak bisa dilihat dalam perspektif yang menyempit saja, tetapi mesti dengan kacamata yang meluas. Benar, aspek manusia menjadi pemicu utama, tetapi pertanyaannya kenapa sopir mengantuk/kelelahan tetap menjalankan busnya? Inilah yang harus dikulik, baik dari sisi korporasi, dan bahkan regulasi. Tidak adil jika menjadikan faktor manusia (awak angkutan) sebagai tersangka tunggal, atau bahkan tumbal pada setiap kecelakaan. Terkait hal ini, ada beberapa musabab, yakni kurangnya perhatian dari perusahaan terkait kesejahteraan sopir dan awak angkutan.
Selain itu awak angkutan, khususnya sopir, cenderung dieksploitasi. Akibatnya sopir kurang istirahat, kelelahan, mengantuk, dan sejenisnya. Pemerintah tak menetapkan standar jam kerja yang lebih baku untuk mengatur jam kerja sopir, juga minimnya concern pihak manajemen perusahaan bus.
Bandingkan dengan jam kerja pilot pesawat terbang, atau setidaknya masinis kereta api. Kedua moda transportasi itu punya standar jam kerja yang jelas. Misalnya pilot hanya boleh menerbangkan pesawat maksimal 8 (delapan) jam terbang. Pertanyaannya, apakah sopir bus dan sopir truk derajadnya lebih rendah sehingga tak dibuat standar jam kerja? Toh ending-nya jika terjadi kecelakaan lalu lintas, penumpang dan masyarakatlah yang menjadi korban. Dan terbukti kecelakaan fatal dengan korban massal di sektor transportasi darat justru lebih dominan.
Merujuk pada fenomena tersebut, tidak aneh jika saat ini terjadi penurunan jumlah sopir, khususnya untuk sopir bus AKAP/AKDP, dan juga sopir truk. Sebagaimana petani, profesi sopir bukanlah profesi yang menarik dan tak punya masa depan. Contoh, sebuah perusahaan bus besar ternama di Jawa Timur mempunyai 260 armada bus, tapi dari sejumlah itu yang beroperasi hanya 130 bus saja. Sebabnya, kekurangan sopir! Jika fenomena ini terus dibiarkan tentu menjadi fenomena yang membahayakan bagi keselamatan pengguna bus, karena kerja sopir akan dieksploitasi oleh perusahaannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda