Pembangunan Daerah ke Depan (Pemikiran)
Senin, 13 Mei 2024 - 06:20 WIB
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PERIODE saat ini, periode penting dalam memperkuat dasar pencapaian Indonesia Emas 2045. Direncanakan pada tahun 2045, Indonesia sudah masuk dalam katagori negara maju dengan Income per capita sekitar 23.800 US$/capita. Untuk mencapai kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi kita paling rendah sekitar 6% per tahun, sementara saat ini, terutama di era Presiden Jokowi rata-rata sekitar 5%.
Walaupun ada kejadian shock ekonomi yang sangat berat, yaitu adanya pandemi Covid-19, yang menghancurkan aktivitas ekonomi di seluruh dunia, terutama karena pergerakan sumber daya (terutama manusia dan barang) dibatasi untuk mencegah penyebaran virus dan jumlah kematian yang semakin tinggi.
Dalam kondisi usaha recovery perekonomian, pemerintah terus berupaya menjaga keberlangsungan fiskal dan menyiapkan transformasi structural dengan menerbitkan beberapa UU, seperti UU HPP, UUHKPD dan UU Cipta Kerja. Tentu saja dengan UU baru tersebut, membawa perubahan yang signifikan terutama dalam mendorong proses percepatan investasi, pengembangan usaha termasuk dalam Pembangunan daerah.
Untuk tulisan saat ini, kita lebih fokus pada UU HKPD karena UU ini berisi semangat untuk mentransformasi pembangunan daerah, melalui strategi penguatan sistem perpajakan daerah, meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal dan horizontal, meningkatkan kualitas belanja daerah, serta meningkatkan harmonisasi kebijakan fiskal pusat dan daerah.
Pemerintah tentu berharap melalui UU ini Pembangunan daerah bukan hanya mampu meningkatkan Pembangunan di wilayahnya, tetapi juga mampu mendorong Pembangunan daerah di sekitarnya atau dalam arti kata lain menghasilkan spill over positif bagi wilayah lain.
Tantangan dalam kebijakan fiskal daerah kedepan masih menghadapi tantangan yang cukup berat antara lain belanja daerah yang belum berkualitas, seperti porsi belanja daerah masih besar pada beban belanja pegawai (berkisar antara 35% - 60%), sementara untuk belanja modal sangat tergantung pada pendanaan DAK (Dana Alokasi Khusus) termasuk didalamnya belanja infrastruktur yang sangat rendah rata-rata 11,4% dari APBD. Walaupun penerimaan PDRD (pajak daerah dan retribusi daerah) sudah meningkat tetapi tax ratio masih sangat rendah, rata-rata 1,2%.
Begitu juga dengan model pembiayaan Pembangunan kreatif dimana ini sangat diperlukan karena akan meningkatkan tata kelola pengelolaan (governance) keuangan daerah, seperti KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), pinjaman daerah dalam bentuk penerbitan surat utang pemda obligasi daerah atau sukuk daerah, termasuk juga pinjaman melalui PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) salah satu SMV (special mission vehicle) kemenkeu ternyata pada tahun 2020 baru mencapai 0,049% dari PDB, masih sangat kecil dan kendala yang dihadapi masih itu-itu saja, seperti persetujuan DPRD atau rentang periode kepemimpinan kepala daerah.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PERIODE saat ini, periode penting dalam memperkuat dasar pencapaian Indonesia Emas 2045. Direncanakan pada tahun 2045, Indonesia sudah masuk dalam katagori negara maju dengan Income per capita sekitar 23.800 US$/capita. Untuk mencapai kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi kita paling rendah sekitar 6% per tahun, sementara saat ini, terutama di era Presiden Jokowi rata-rata sekitar 5%.
Walaupun ada kejadian shock ekonomi yang sangat berat, yaitu adanya pandemi Covid-19, yang menghancurkan aktivitas ekonomi di seluruh dunia, terutama karena pergerakan sumber daya (terutama manusia dan barang) dibatasi untuk mencegah penyebaran virus dan jumlah kematian yang semakin tinggi.
Dalam kondisi usaha recovery perekonomian, pemerintah terus berupaya menjaga keberlangsungan fiskal dan menyiapkan transformasi structural dengan menerbitkan beberapa UU, seperti UU HPP, UUHKPD dan UU Cipta Kerja. Tentu saja dengan UU baru tersebut, membawa perubahan yang signifikan terutama dalam mendorong proses percepatan investasi, pengembangan usaha termasuk dalam Pembangunan daerah.
Untuk tulisan saat ini, kita lebih fokus pada UU HKPD karena UU ini berisi semangat untuk mentransformasi pembangunan daerah, melalui strategi penguatan sistem perpajakan daerah, meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal dan horizontal, meningkatkan kualitas belanja daerah, serta meningkatkan harmonisasi kebijakan fiskal pusat dan daerah.
Pemerintah tentu berharap melalui UU ini Pembangunan daerah bukan hanya mampu meningkatkan Pembangunan di wilayahnya, tetapi juga mampu mendorong Pembangunan daerah di sekitarnya atau dalam arti kata lain menghasilkan spill over positif bagi wilayah lain.
Tantangan dalam kebijakan fiskal daerah kedepan masih menghadapi tantangan yang cukup berat antara lain belanja daerah yang belum berkualitas, seperti porsi belanja daerah masih besar pada beban belanja pegawai (berkisar antara 35% - 60%), sementara untuk belanja modal sangat tergantung pada pendanaan DAK (Dana Alokasi Khusus) termasuk didalamnya belanja infrastruktur yang sangat rendah rata-rata 11,4% dari APBD. Walaupun penerimaan PDRD (pajak daerah dan retribusi daerah) sudah meningkat tetapi tax ratio masih sangat rendah, rata-rata 1,2%.
Begitu juga dengan model pembiayaan Pembangunan kreatif dimana ini sangat diperlukan karena akan meningkatkan tata kelola pengelolaan (governance) keuangan daerah, seperti KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), pinjaman daerah dalam bentuk penerbitan surat utang pemda obligasi daerah atau sukuk daerah, termasuk juga pinjaman melalui PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) salah satu SMV (special mission vehicle) kemenkeu ternyata pada tahun 2020 baru mencapai 0,049% dari PDB, masih sangat kecil dan kendala yang dihadapi masih itu-itu saja, seperti persetujuan DPRD atau rentang periode kepemimpinan kepala daerah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda