Hasto: Sirekap Jadi Alat Membenarkan Konspirasi dan Kejahatan Pemilu 2024
Senin, 18 Maret 2024 - 23:42 WIB
JAKARTA - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai Sirekap merupakan alat membenarkan konspirasi dan kejahatan Pemilu 2024. Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU hanya menjadi salah satu instrumen yang dipergunakan untuk membangun suatu persepsi baik melalui quick count.
Selain itu, Sirekap bisa diintersep dan kemudian rekapitulasi secara berjenjang di KPU yang ternyata tidak ada metadatanya.
"Bagaimana suatu peristiwa yang sangat penting sebagai cermin dari kedaulatan rakyat ternyata metadata tidak ada," ujar Hasto saat diskusi publik bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik' di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
"Sehingga, berbagai upaya menggunakan sirekap dalam membenarkan terhadap apa yang menjadi konspirasi dan kejahatan pemilu yang dilakukan secara sengaja. Hal itu demi memperpanjang kekuasaan melalui abuse of power dari Presiden Jokowi, itu betul-betul dilakukan," katanya.
Dia mengaku sedih atas kehadiran seluruh kejahatan demokrasi Orde Baru digunakan pada Pemilu 2024. Hasto pun mengulas Buku Pemilu 1971 yang membuka mata telinga tentang kesadaran bersama bahwa kejahatan Pemilu, kejahatan demokrasi bukan lagi menyangkut persoalan kekuasaan, tetapi menyangkut persoalan masa depan.
"Bagaimana ketika suatu bangunan negara, supremasi hukum bahkan mereka yang menjadi aparat penegak hukum itu nyata-nyata terlibat dalam suatu proses dari hulu ke hilir," ujar Hasto.
"Berbagai pengakuan sudah menunjukkan ketika rekayasa hukum di MK, itu atau suatu intervensi, ada intervensi yang melobi suatu lembaga yang seharusnya merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan presiden," tambahnya.
Dia menilai Pemilu 2024 merupakan perpaduan sempurna dari seluruh kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 1971 era Orde Baru dan Pemilu tahun 2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasto menduga kecurangan Pemilu 2024 terjadi dari hulu ke hilir, mulai dari rekayasa di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pengerahan aparat negara untuk pemenangan salah satu calon.
"Kalau dulu (Pemilu 1971 dan 2009) menggunakan instrumen kekerasan yang dilakukan ABRI dengan sumber daya yang tidak terbatas. Saat ini pun juga sama dilakukan oleh instrumen negara yang seharusnya netral dengan sumber-sumber daya dari negara," kata Hasto.
Selain itu, Sirekap bisa diintersep dan kemudian rekapitulasi secara berjenjang di KPU yang ternyata tidak ada metadatanya.
"Bagaimana suatu peristiwa yang sangat penting sebagai cermin dari kedaulatan rakyat ternyata metadata tidak ada," ujar Hasto saat diskusi publik bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik' di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
"Sehingga, berbagai upaya menggunakan sirekap dalam membenarkan terhadap apa yang menjadi konspirasi dan kejahatan pemilu yang dilakukan secara sengaja. Hal itu demi memperpanjang kekuasaan melalui abuse of power dari Presiden Jokowi, itu betul-betul dilakukan," katanya.
Dia mengaku sedih atas kehadiran seluruh kejahatan demokrasi Orde Baru digunakan pada Pemilu 2024. Hasto pun mengulas Buku Pemilu 1971 yang membuka mata telinga tentang kesadaran bersama bahwa kejahatan Pemilu, kejahatan demokrasi bukan lagi menyangkut persoalan kekuasaan, tetapi menyangkut persoalan masa depan.
"Bagaimana ketika suatu bangunan negara, supremasi hukum bahkan mereka yang menjadi aparat penegak hukum itu nyata-nyata terlibat dalam suatu proses dari hulu ke hilir," ujar Hasto.
"Berbagai pengakuan sudah menunjukkan ketika rekayasa hukum di MK, itu atau suatu intervensi, ada intervensi yang melobi suatu lembaga yang seharusnya merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan presiden," tambahnya.
Dia menilai Pemilu 2024 merupakan perpaduan sempurna dari seluruh kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 1971 era Orde Baru dan Pemilu tahun 2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hasto menduga kecurangan Pemilu 2024 terjadi dari hulu ke hilir, mulai dari rekayasa di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pengerahan aparat negara untuk pemenangan salah satu calon.
"Kalau dulu (Pemilu 1971 dan 2009) menggunakan instrumen kekerasan yang dilakukan ABRI dengan sumber daya yang tidak terbatas. Saat ini pun juga sama dilakukan oleh instrumen negara yang seharusnya netral dengan sumber-sumber daya dari negara," kata Hasto.
(jon)
tulis komentar anda