Diajukan Sejak 2009, AMAN Desak DPR dan Presiden Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Sabtu, 16 Maret 2024 - 14:53 WIB
"Lebih dari itu, yang kami tuntut dan seharusnya dilakuan negara adalah termasuk di antaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri. Pengakuan dan perlindungan ini tidak saja untuk keberlangsungan hidup kami sebagai Masyarakat Adat, tetapi juga menyangkut masa depan Indonesia yang beragam," tambahnya.
Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak Masyarakat Adat dari Rendutowe, Nagekeo, NTT menceritakan, bagaimana dirinya mengalami tindakan represif dari oknum aparat.
Dirinya mengaku, sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diduga hendak diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk.
Dirinya sama sekali tidak menolak inisiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dan kepastian hidup mereka.
"Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan pusat kehidupan tiap-tiap orang," tutur Mama Mince.
Serupa, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan oknum aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dikatakannya dengan cara melawan prosedur.
Dirinya mengaku menjadi target penangkapan atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.
"Tanah merupakan ibu kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang, menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?" tanya Effendi Buhing.
Hermina Mawa atau yang akrab dipanggil Mama Mince, seorang perempuan pejuang hak Masyarakat Adat dari Rendutowe, Nagekeo, NTT menceritakan, bagaimana dirinya mengalami tindakan represif dari oknum aparat.
Dirinya mengaku, sempat diborgol ketika dirinya dan puluhan perempuan adat mencoba mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diduga hendak diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional berupa pembangunan waduk.
Dirinya sama sekali tidak menolak inisiatif pembangunan pemerintah tersebut, akan tetapi lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dan kepastian hidup mereka.
"Tanah adat kami dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Kami sebagai perempuan merasa dinodai martabat karena mereka tidak pernah paham makna tanah bagi kami. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan pusat kehidupan tiap-tiap orang," tutur Mama Mince.
Serupa, saksi fakta lainnya yaitu Effendi Buhing dari Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah menceritakan bagaimana dirinya ditahan paksa dengan pengerahan oknum aparat secara berlebihan. Penahanan ini pun dikatakannya dengan cara melawan prosedur.
Dirinya mengaku menjadi target penangkapan atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu dirinya menjabat sebagai kepala desa.
"Tanah merupakan ibu kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang, menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?" tanya Effendi Buhing.
(cip)
tulis komentar anda