Asosiasi Presisi Minta KPU dan Bawaslu Antisipasi Kerawanan Penyelenggaraan Pemilu
Selasa, 13 Februari 2024 - 14:55 WIB
JAKARTA - Asosiasi Perkumpulan Penyelenggara Riset Persepsi Publik Indonesia (Presisi) mendesak KPU dan Bawaslu bergerak cepat mengantisipasi kerawanan pemilu. Mereka berpendapat kondisi politik yang kian dinamis potensial mengancam kredibilitas dan legitimasi Pemilu 2024.
“Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) harus cepat mengantisipasi kerawanan pemilu. Tidak boleh ada kelompok yang berupaya mendelegitimasi pemilu lewat cara apa pun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Presisi Mohammad Anas RA, Selasa (13/2/2024).
Apalagi situasi terakhir menunjukkan kondisi yang mulai mengkhawatirkan. Aksi protes guru besar dan sivitas akademika yang masif terjadi belakangan dan munculnya satu paslon yang dijadikan musuh bersama (common enemy) bisa menciptakan kerawanan penyelenggaraan pemilu.
Karena itu, negara harus mengantisipasi hal tersebut. Jika tidak dilakukan dengan baik, kondisi ini hanya akan menghasilkan pemilu yang dianggap bermasalah dan tidak legitimate.
“Terus terang, dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini negara sebenarnya sedang berada di tengah propaganda kerawanan penyelenggaraan pemilu. Padahal, dengan seluruh sumber dayanya negara bisa mengatasi hal tersebut. Tujuannya tentu semata-mata untuk pemilu yang kredibel dan legitimate,” ungkap Anas.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Presisi Azhari Ardinal juga menuntut penyelenggara pemilu mempersiapkan penyelenggaraan pemilu secara baik. Penyelenggara pemilu harus seoptimal mungkin meminimalisir ketidakpercayaaan publik dan potensi kerawanan penyelenggaraan pemilu.
“Harus diantisipasi dengan segala opsi dan kemungkinan. Penyelenggara tidak boleh membiarkan pemilu kurang legitimate dan tidak dipercayai publik, apalagi sampai menciptakan kerawanan penyelenggaraan pemilu,” kata Azhari.
Dia mengusulkan pemerintah memaksimalkan skema pelibatan pemantau independen. Melalui skema tersebut, setidaknya pemerintah berupaya mendorong partisipasi publik sehingga mempengaruhi penguatan legitimasi pemilu.
“Ya, semakin banyak pemantau independen maka itu berarti penyelenggaraan pemilu semakin terbuka untuk pengawasan publik. Masyarakat akhirnya percaya bahwa pemilu berlangsung dengan jurdil dan rumor ketidaknetralan itu akhirnya menjadi tidak benar alias bohong belaka,” ujarnya.
“Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) harus cepat mengantisipasi kerawanan pemilu. Tidak boleh ada kelompok yang berupaya mendelegitimasi pemilu lewat cara apa pun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Presisi Mohammad Anas RA, Selasa (13/2/2024).
Apalagi situasi terakhir menunjukkan kondisi yang mulai mengkhawatirkan. Aksi protes guru besar dan sivitas akademika yang masif terjadi belakangan dan munculnya satu paslon yang dijadikan musuh bersama (common enemy) bisa menciptakan kerawanan penyelenggaraan pemilu.
Karena itu, negara harus mengantisipasi hal tersebut. Jika tidak dilakukan dengan baik, kondisi ini hanya akan menghasilkan pemilu yang dianggap bermasalah dan tidak legitimate.
“Terus terang, dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini negara sebenarnya sedang berada di tengah propaganda kerawanan penyelenggaraan pemilu. Padahal, dengan seluruh sumber dayanya negara bisa mengatasi hal tersebut. Tujuannya tentu semata-mata untuk pemilu yang kredibel dan legitimate,” ungkap Anas.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Presisi Azhari Ardinal juga menuntut penyelenggara pemilu mempersiapkan penyelenggaraan pemilu secara baik. Penyelenggara pemilu harus seoptimal mungkin meminimalisir ketidakpercayaaan publik dan potensi kerawanan penyelenggaraan pemilu.
“Harus diantisipasi dengan segala opsi dan kemungkinan. Penyelenggara tidak boleh membiarkan pemilu kurang legitimate dan tidak dipercayai publik, apalagi sampai menciptakan kerawanan penyelenggaraan pemilu,” kata Azhari.
Dia mengusulkan pemerintah memaksimalkan skema pelibatan pemantau independen. Melalui skema tersebut, setidaknya pemerintah berupaya mendorong partisipasi publik sehingga mempengaruhi penguatan legitimasi pemilu.
“Ya, semakin banyak pemantau independen maka itu berarti penyelenggaraan pemilu semakin terbuka untuk pengawasan publik. Masyarakat akhirnya percaya bahwa pemilu berlangsung dengan jurdil dan rumor ketidaknetralan itu akhirnya menjadi tidak benar alias bohong belaka,” ujarnya.
(jon)
Lihat Juga :
tulis komentar anda