Penyebar Hoaks di Medsos Semakin Brutal
Kamis, 13 Agustus 2020 - 07:27 WIB
MASYARAKAT kini tak hanya menghadapi virus korona (Covid-19) sebagai pandemi, tapi juga semakin dijejali informasi palsu alias hoaks sebagai infodemik. Berbagai berita palsu dilemparkan oleh oknum tak bertanggung jawab hingga menimbulkan ketakutan dan kepanikan. Hoaks semakin merajalela karena juga disebarkan oleh artis, tokoh masyarakat, hingga politisi. Salah satu contohnya hoaks terkait penemuan yang disebut sebagai "obat" yang mampu menyembuhkan pasien korona. Disebarkan oleh penyanyi dan seseorang yang mengaku profesor melalui saluran Youtube. Faktanya, obat yang diklaim tersebut hanyalah produk herbal alias jamu.
Tak hanya itu, banyak kelompok yang melabeli diri sebagai penggiat medsos, influencer, selebritas medsos hingga social justice warrior yang justru menyebarkan informasi palsu dengan tujuan tertentu. Misalnya dengan melakukan propaganda bahwa pandemi korona merupakan konspirasi. Hal yang lebih parah, mereka mengklaim memiliki data terkait konspirasi tersebut. Yang terbaru, seorang pengurus DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menyebarkan berita palsu bahwa DKI Jakarta merupakan zona hitam penyebaran korona. Unggahan di medsos itu tentu membuat khawatir masyarakat Ibu Kota.
Unggahan tersebut disertai tangkapan layar tentang kondisi Covid-19 di DKI Jakarta. Dalam unggahan yang juga terpampang logo Badan Intelijen Negara (BIN) itu, peta Ibu Kota diblok dengan warna hitam. Tak hanya itu, Ferdinand juga menyertakan narasi yang ’’menyerang’’ Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Beruntung Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dan Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto ikut melakukan klarifikasi bahwa data tersebut tidak benar. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang data yang disebar tersebut palsu. Berdasarkan data resmi dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, wilayah Jakarta memiliki dua kategori zona, yaitu zona merah (risiko tinggi) dan oranye (risiko sedang).
Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu berada dalam zona oranye, sedangkan Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara berada dalam zona merah. Dalam peta persebaran Covid-19 secara nasional pun DKI Jakarta tidak terlihat berwarna hitam. Tak ada satu pun wilayah di Indonesia yang masuk dalam zona hitam.
Tak hanya kali ini saja para pelaku teror meresahkan masyarakat dengan berita palsu di medsos. Bahkan, beberapa waktu lalu para penebar teror tersebut menyebarkan kabar palsu hasil pemeriksaan Presiden Jokowi positif terpapar virus korona. Hoaks itu pun telah diklarifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Tidak tegasnya penegakan hukum dan cenderung tebang pilih terhadap penyebar hoaks membuat para ’’teroris" di medsos tersebut dengan leluasa mengulangi lagi perbuatannya. Umumnya mereka berlindung di balik nama besar parpol, ormas, maupun kelompok tertentu yang mengklaim dekat dengan kekuasaan. Tentu hal ini justru akan mencoreng kredibilitas dan nama baik lembaga maupun tokoh yang diklaim memiliki kedekatan dengan pelaku teror di medsos.
Dengan semakin brutalnya penyebaran hoaks di medsos, masyarakat harus memperhatikan sumber dan isi informasi yang diperoleh sehingga tak menelan mentah-mentah setiap kabar atau unggahan yang muncul di media sosial. Jika keduanya dipastikan tidak jelas, sebaiknya tak diteruskan atau dibagikan ke orang lain. Sudah saatnya masyarakat memperbanyak pengetahuan dan literasi digital melalui media-media resmi yang dalam penyajian informasi memegang teguh kaidah faktual, berimbang, dan tidak memihak. Dengan meningkatkan literasi digital melalui media yang kredibel, ke depan berita atau kabar hoaks terkait apa pun akan semakin berkurang.
Hal paling utama dalam mengurangi penyebaran berita hoaks, masyarakat harus menyaring terlebih dulu setiap informasi yang didapat sebelum menyebarkannya. Penyebar hoaks semakin kreatif dalam menciptakan sebuah konten, karenanya tak perlu membagikan artikel, foto, ataupun pesan berantai di medsos tanpa membaca sepenuhnya dan yakin akan kebenarannya. Tanpa penyaringan terlebih dulu, membagikan artikel, foto, ataupun pesan berantai akan mempercepat berkembangnya hoaks.
Tak hanya itu, banyak kelompok yang melabeli diri sebagai penggiat medsos, influencer, selebritas medsos hingga social justice warrior yang justru menyebarkan informasi palsu dengan tujuan tertentu. Misalnya dengan melakukan propaganda bahwa pandemi korona merupakan konspirasi. Hal yang lebih parah, mereka mengklaim memiliki data terkait konspirasi tersebut. Yang terbaru, seorang pengurus DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menyebarkan berita palsu bahwa DKI Jakarta merupakan zona hitam penyebaran korona. Unggahan di medsos itu tentu membuat khawatir masyarakat Ibu Kota.
Unggahan tersebut disertai tangkapan layar tentang kondisi Covid-19 di DKI Jakarta. Dalam unggahan yang juga terpampang logo Badan Intelijen Negara (BIN) itu, peta Ibu Kota diblok dengan warna hitam. Tak hanya itu, Ferdinand juga menyertakan narasi yang ’’menyerang’’ Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Beruntung Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dan Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto ikut melakukan klarifikasi bahwa data tersebut tidak benar. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang data yang disebar tersebut palsu. Berdasarkan data resmi dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, wilayah Jakarta memiliki dua kategori zona, yaitu zona merah (risiko tinggi) dan oranye (risiko sedang).
Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu berada dalam zona oranye, sedangkan Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara berada dalam zona merah. Dalam peta persebaran Covid-19 secara nasional pun DKI Jakarta tidak terlihat berwarna hitam. Tak ada satu pun wilayah di Indonesia yang masuk dalam zona hitam.
Tak hanya kali ini saja para pelaku teror meresahkan masyarakat dengan berita palsu di medsos. Bahkan, beberapa waktu lalu para penebar teror tersebut menyebarkan kabar palsu hasil pemeriksaan Presiden Jokowi positif terpapar virus korona. Hoaks itu pun telah diklarifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Tidak tegasnya penegakan hukum dan cenderung tebang pilih terhadap penyebar hoaks membuat para ’’teroris" di medsos tersebut dengan leluasa mengulangi lagi perbuatannya. Umumnya mereka berlindung di balik nama besar parpol, ormas, maupun kelompok tertentu yang mengklaim dekat dengan kekuasaan. Tentu hal ini justru akan mencoreng kredibilitas dan nama baik lembaga maupun tokoh yang diklaim memiliki kedekatan dengan pelaku teror di medsos.
Dengan semakin brutalnya penyebaran hoaks di medsos, masyarakat harus memperhatikan sumber dan isi informasi yang diperoleh sehingga tak menelan mentah-mentah setiap kabar atau unggahan yang muncul di media sosial. Jika keduanya dipastikan tidak jelas, sebaiknya tak diteruskan atau dibagikan ke orang lain. Sudah saatnya masyarakat memperbanyak pengetahuan dan literasi digital melalui media-media resmi yang dalam penyajian informasi memegang teguh kaidah faktual, berimbang, dan tidak memihak. Dengan meningkatkan literasi digital melalui media yang kredibel, ke depan berita atau kabar hoaks terkait apa pun akan semakin berkurang.
Hal paling utama dalam mengurangi penyebaran berita hoaks, masyarakat harus menyaring terlebih dulu setiap informasi yang didapat sebelum menyebarkannya. Penyebar hoaks semakin kreatif dalam menciptakan sebuah konten, karenanya tak perlu membagikan artikel, foto, ataupun pesan berantai di medsos tanpa membaca sepenuhnya dan yakin akan kebenarannya. Tanpa penyaringan terlebih dulu, membagikan artikel, foto, ataupun pesan berantai akan mempercepat berkembangnya hoaks.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda