Muhammadiyah Desak Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Memihak
Sabtu, 27 Januari 2024 - 21:15 WIB
JAKARTA - Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
"Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara," tulis Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam pernyataan resmi yang ditandatangani Ketua Trisno Raharjo dan Sekretaris Alfian, Sabtu (27/1/2024).
Pernyataan sikap ini merespons pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh kampanye dan berpihak pada 24 Januari 2024. Setelah menuai kontroversi, Jokowi memberikan klarifikasi. Alih-alih meralat pernyataannya, Jokowi justru menyebut ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281. Menurutnya, "Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh."
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap penting mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowiyang telah menimbulkan polemik. Sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.
Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata. Melainkan juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, dari sudut pandang normatif, adalah benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hakmelaksanakan kampanye. Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yangterpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu. Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?
"Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihakmerupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri," katanya.
"Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara," tulis Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam pernyataan resmi yang ditandatangani Ketua Trisno Raharjo dan Sekretaris Alfian, Sabtu (27/1/2024).
Pernyataan sikap ini merespons pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh kampanye dan berpihak pada 24 Januari 2024. Setelah menuai kontroversi, Jokowi memberikan klarifikasi. Alih-alih meralat pernyataannya, Jokowi justru menyebut ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281. Menurutnya, "Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh."
Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap penting mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowiyang telah menimbulkan polemik. Sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.
Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata. Melainkan juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, dari sudut pandang normatif, adalah benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hakmelaksanakan kampanye. Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yangterpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu. Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?
"Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihakmerupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri," katanya.
Baca Juga
tulis komentar anda