Pengamat Sebut Presiden Jokowi Membuka Ruang Pelanggaran Pemilu
Jum'at, 19 Januari 2024 - 21:10 WIB
Calon presiden (capres) nomor urut, 3 Ganjar Pranowo menilai, aturan PP No. 53/2023 berisiko terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi. “Ketentuannya tidak mundur, maka kita akan memasuki situasi yang penuh risiko. Rasanya ketentuan tidak harus mundur itu sedang diambil sebuah risiko,” kata Ganjar kemarin.
Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.
"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkapnya.
Menurutnya, peraturan itu membuka ruang untuk terjadi pelanggaran pemilu yang dilandasi penyalahgunaan kekuasaan. "Sehingga kalau ada peraturan seperti itu dia membuka ruang bagi elite politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Menurut saya di situ problem regulasi itu," katanya.
Jeirry menilai proses pemilu saat ini sudah diwarnai dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan untuk memberikan sanksi pada elite ataupun pejabat yang melanggar.
"Lalu sekarang kita lihat, bagaimana penindakan terhadap mereka? Tidak bisa. Inikan mobilisasi ASN, sudah jelas tidak bisa (boleh), TNI/Polri mendukung paslon, kejaksaan, kehakiman, itu main semua, dengan kewenangan yang mereka punya sekarang, dengan jabatan," sebutnya.
Oleh sebab itu, Jeirry berharap agar aturan tersebut bisa disikapi, entah dengan revisi ataupun uji materi di Mahkamah Agung (MA). Jika cara tersebut dirasa mustahil, maka diperlukan suara publik untuk mengingatkan agar demokrasi kembali pada rel yang benar. "Ya mestinya kalau bisa direvisi ya direvisi, tapi kan hampir tidak mungkin. Apalagi kalau ada unsur kekuasaan pusat sengaja membuatnya untuk kepentingan pemilu ini," tandasnya.
Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.
"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkapnya.
Menurutnya, peraturan itu membuka ruang untuk terjadi pelanggaran pemilu yang dilandasi penyalahgunaan kekuasaan. "Sehingga kalau ada peraturan seperti itu dia membuka ruang bagi elite politik menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya. Menurut saya di situ problem regulasi itu," katanya.
Jeirry menilai proses pemilu saat ini sudah diwarnai dengan penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan untuk memberikan sanksi pada elite ataupun pejabat yang melanggar.
"Lalu sekarang kita lihat, bagaimana penindakan terhadap mereka? Tidak bisa. Inikan mobilisasi ASN, sudah jelas tidak bisa (boleh), TNI/Polri mendukung paslon, kejaksaan, kehakiman, itu main semua, dengan kewenangan yang mereka punya sekarang, dengan jabatan," sebutnya.
Oleh sebab itu, Jeirry berharap agar aturan tersebut bisa disikapi, entah dengan revisi ataupun uji materi di Mahkamah Agung (MA). Jika cara tersebut dirasa mustahil, maka diperlukan suara publik untuk mengingatkan agar demokrasi kembali pada rel yang benar. "Ya mestinya kalau bisa direvisi ya direvisi, tapi kan hampir tidak mungkin. Apalagi kalau ada unsur kekuasaan pusat sengaja membuatnya untuk kepentingan pemilu ini," tandasnya.
(cip)
tulis komentar anda