Dialog Konstruktif dan Diplomatif Diyakini Efektif Selesaikan Konflik
Kamis, 09 November 2023 - 15:16 WIB
JAKARTA - Hambatan terbesar dari perwujudan perdamaian adalah tindak kekerasan yang terus berlanjut. Diperlukan berbagai upaya dalam membangun dialog yang konstruktif dan solutif.
Hal ini disampaikan Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah menanggapi konflik yang terjadi di Indonesia dan dunia.
"Perdamaian itu sejatinya adalah bahwa kita bisa membangun kepercayaan antara satu dengan yang lain. Kita perlu membangun jembatan komunikasi melalui dialog yang konstruktif, tidak hanya soal Palestina dengan Israel, namun juga pada konteks Papua yang hingga saat ini masih dilanda konflik," kata Syauqillah, Kamis (9/11/2023).
Pendekatan secara diplomatis dalam suatu perselisihan antarwilayah atau negara akan selalu terbuka bagi Indonesia. Sebab, cara ini akan meminimalisasi dampak buruk yang mungkin ditimbulkan dari konflik itu sendiri. Hal ini pula yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencari titik temu pada persoalan di Papua. Melalui kerangka diplomasi, Indonesia secara aktif meyakinkan berbagai pihak bahwa Papua masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Syauqillah yang secara aktif mempelajari isu radikalisme dan terorisme berpendapat, permasalahan seperti ini tidak hanya terpaku pada satu dimensi. Pencarian solusi bagi permasalahan dalam negeri seperti di Papua dilakukan dengan banyak jalan. Selain diplomasi, pendekatan melalui jalur hukum dan koersif menjadi beberapa opsi yang diambil pemerintah dalam menjamin keselamatan warga setempat dan infrastruktur publik yang ada di sana.
"Begitu juga dengan yang terjadi di Palestina. Diplomasi adalah pilihan. Walaupun kita tahu, apa yang terjadi di Palestina sudah sangat mengkhawatirkan. Saya melihatnya, ibarat suatu alat pengukuran, peperangan Palestina-Israel sudah melewati batas garis merah, di mana garis merah itu disepakati untuk tidak bisa dilewati, namun Israel tetap saja melewati batas itu," katanya.
Tragedi kemanusiaan itu menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Banyak pihak, termasuk Indonesia, menekan PBB untuk mengupayakan perwujudan perdamaian secara konkret, sehingga tidak lagi korban jiwa yang berjatuhan.
Sedemikian parahnya kerusakan yang ditimbulkan invasi Israel terhadap Palestina, kata Syauqillah, membuat seluruh pihak tidak hanya bicara soal korban manusia, tapi juga hancurnya suatu peradaban. Dunia internasional telah menyaksikan bagaimana banyak bangunan bersejarah dan rumah ibadah di Gaza telah rata dengan tanah, begitu juga dengan benda-benda bersejarah lainnya.
Hal ini disampaikan Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah menanggapi konflik yang terjadi di Indonesia dan dunia.
"Perdamaian itu sejatinya adalah bahwa kita bisa membangun kepercayaan antara satu dengan yang lain. Kita perlu membangun jembatan komunikasi melalui dialog yang konstruktif, tidak hanya soal Palestina dengan Israel, namun juga pada konteks Papua yang hingga saat ini masih dilanda konflik," kata Syauqillah, Kamis (9/11/2023).
Pendekatan secara diplomatis dalam suatu perselisihan antarwilayah atau negara akan selalu terbuka bagi Indonesia. Sebab, cara ini akan meminimalisasi dampak buruk yang mungkin ditimbulkan dari konflik itu sendiri. Hal ini pula yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam mencari titik temu pada persoalan di Papua. Melalui kerangka diplomasi, Indonesia secara aktif meyakinkan berbagai pihak bahwa Papua masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Syauqillah yang secara aktif mempelajari isu radikalisme dan terorisme berpendapat, permasalahan seperti ini tidak hanya terpaku pada satu dimensi. Pencarian solusi bagi permasalahan dalam negeri seperti di Papua dilakukan dengan banyak jalan. Selain diplomasi, pendekatan melalui jalur hukum dan koersif menjadi beberapa opsi yang diambil pemerintah dalam menjamin keselamatan warga setempat dan infrastruktur publik yang ada di sana.
"Begitu juga dengan yang terjadi di Palestina. Diplomasi adalah pilihan. Walaupun kita tahu, apa yang terjadi di Palestina sudah sangat mengkhawatirkan. Saya melihatnya, ibarat suatu alat pengukuran, peperangan Palestina-Israel sudah melewati batas garis merah, di mana garis merah itu disepakati untuk tidak bisa dilewati, namun Israel tetap saja melewati batas itu," katanya.
Tragedi kemanusiaan itu menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Banyak pihak, termasuk Indonesia, menekan PBB untuk mengupayakan perwujudan perdamaian secara konkret, sehingga tidak lagi korban jiwa yang berjatuhan.
Sedemikian parahnya kerusakan yang ditimbulkan invasi Israel terhadap Palestina, kata Syauqillah, membuat seluruh pihak tidak hanya bicara soal korban manusia, tapi juga hancurnya suatu peradaban. Dunia internasional telah menyaksikan bagaimana banyak bangunan bersejarah dan rumah ibadah di Gaza telah rata dengan tanah, begitu juga dengan benda-benda bersejarah lainnya.
tulis komentar anda