Kekeliruan dalam Menyikapi UU Tipikor
Senin, 04 September 2023 - 09:13 WIB
Konstruksi hukum yang dibangun dalam UU Tipikor adalah pertama, bahwa korupsi merupakan kolaborasi antara (pemegang) kekuasaan dan pelaku usaha. Kedua, korupsi merupakan extra-ordinary crimes dan kini telah merupakan budaya karena ia telah berkembang secara sistematik terorganisasi (extraordinary and systematic crime). Ketiga, korupsi telah berdampak negatif yang sangat luas bahkan melampaui batas negara. Berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan budaya maka korupsi merupakan bagian penting dalam pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan hukum di Indonesia.
Upaya pemberantasan korupsi merupakan bagian penting yang juga memerlukan kerja sama secara sadar antara pemerintah, kejaksaan, dan KPK serta masyarakat sipil (LSM) sehingga gerakan pemberantasan korupsi tidak timpang sebelah dan aparatur penegak hukum juga tidak berjalan sendirian. Dukungan masyarakat harus dimulai sejak awal penyelidikan bukan di akhir penyidikan dengan tertangkapnya koruptor atau adanya OTT atau setelah putusan pengadilan yang memberikan hukuman. Sama halnya dengan kesadaran kebersihan lingkungan yang penting bukan keberadaan tong sampah yang bertumpuk-tumpuk melainkan kesadaran bersama masyarakat untuk mau membuang sampah ditempatnya.
Begitu pula memahami filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi memerlukan kerja cerdas dan lugas untuk dapat memilah-milah mana perbuatan koruptif dan yang bukan. Karena tidak semata-mata dilihat dari akibatnya melainkan dari sudut siapa dan apa penyebabnya. Sehingga dengan cara pandang demikian masyarakat tidak terjebak pada proses stigmatisasi atau labeling yang tidak perlu dan membuang-buang energi hanya untuk menghujat koruptor bahkan aparatur penegak hukum. Namun, diperlukan pemikiran jernih dan efisien serta tidak melanggar hak asasi setiap orang sekalipun ia dalam status sebagai pelaku korupsi.
Kita tidak dapat menafikan fakta adanya “hanky-pangky” antara oknum aparatur hukum dan pelaku korupsi namun akan sendirinya sirna karena malu melihat masyarakat yang mau menolak gratifikasi atau suap. Upaya pemerintah dalam bidang perundang-undangan untuk sementara ini sudah memadai tinggal implementasinya yang belum sejalan dengan filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi dan suap atau gratifikasi yang belum berhenti.
Untuk melengkapi kelemahan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, kiranya pemerintah dan DPR RI segera menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang diharapkan dapat menimbulkan selain efek jera juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dan dapat menghentikan hambatan/gangguan yang dapat merugikan perekonomian negara dimanapun aset tindak pidana disembunyikan baik di dalam maupun luar negeri.
Upaya pemberantasan korupsi merupakan bagian penting yang juga memerlukan kerja sama secara sadar antara pemerintah, kejaksaan, dan KPK serta masyarakat sipil (LSM) sehingga gerakan pemberantasan korupsi tidak timpang sebelah dan aparatur penegak hukum juga tidak berjalan sendirian. Dukungan masyarakat harus dimulai sejak awal penyelidikan bukan di akhir penyidikan dengan tertangkapnya koruptor atau adanya OTT atau setelah putusan pengadilan yang memberikan hukuman. Sama halnya dengan kesadaran kebersihan lingkungan yang penting bukan keberadaan tong sampah yang bertumpuk-tumpuk melainkan kesadaran bersama masyarakat untuk mau membuang sampah ditempatnya.
Begitu pula memahami filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi memerlukan kerja cerdas dan lugas untuk dapat memilah-milah mana perbuatan koruptif dan yang bukan. Karena tidak semata-mata dilihat dari akibatnya melainkan dari sudut siapa dan apa penyebabnya. Sehingga dengan cara pandang demikian masyarakat tidak terjebak pada proses stigmatisasi atau labeling yang tidak perlu dan membuang-buang energi hanya untuk menghujat koruptor bahkan aparatur penegak hukum. Namun, diperlukan pemikiran jernih dan efisien serta tidak melanggar hak asasi setiap orang sekalipun ia dalam status sebagai pelaku korupsi.
Kita tidak dapat menafikan fakta adanya “hanky-pangky” antara oknum aparatur hukum dan pelaku korupsi namun akan sendirinya sirna karena malu melihat masyarakat yang mau menolak gratifikasi atau suap. Upaya pemerintah dalam bidang perundang-undangan untuk sementara ini sudah memadai tinggal implementasinya yang belum sejalan dengan filosofi, visi dan misi pemberantasan korupsi dan suap atau gratifikasi yang belum berhenti.
Untuk melengkapi kelemahan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku, kiranya pemerintah dan DPR RI segera menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang diharapkan dapat menimbulkan selain efek jera juga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dan dapat menghentikan hambatan/gangguan yang dapat merugikan perekonomian negara dimanapun aset tindak pidana disembunyikan baik di dalam maupun luar negeri.
(kri)
tulis komentar anda