Idul Kurban dan Spirit Pembebasan

Kamis, 30 Juli 2020 - 15:56 WIB
Oleh karena itu, salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban idealnya bukan sekadar ritual tahunan biasa, tetapi harus menjadi orientasi pendekatan diri yang terintegrasi antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan, pembebasan hati dari segala sifat kebinatangan, dan pemerdekaan pikiran dari segala bentuk penjajahan. Dengan kata lain, Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu strategi Ilahi dalam mencerdaskan, mencerahkan, dan membebaskan umat manusia dari segala tirani penjajahan hati dan pikiran, termasuk penjajahan dalam berbagai aspeknya oleh manusia terhadap sesamanya atau oleh suatu bangsa kepada bangsa lain.

Idul Fitri dan Idul Kurban sesungguhnya memiliki korelasi sangat erat, dilihat dari perspektif perjuangan dan pendakian spiritual. Jika Idul Fitri merupakan simbol kemenangan atas perjuangan melawan hawa nafsu selama berpuasa Ramadan, maka Idul Kurban merupakan manifestasi perjuangan melawan setan yang mendisorientasi ketulusan cinta kepada Allah SWT dalam mendedikasikan pengorbanannya. Idul Fitri dan Idul Kurban memiliki pesan pembebasan yang saling menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.

Merayakan Idul Fitri adalah merayakan kemerdekaan atas kemenangan dan kesuksesan dalam berpuasa totalitas, puasa lahir batin: puasa anggota badan, pancaindera, puasa hati dan pikiran. Sedangkan merayakan Idul Kurban adalah merayakan pembebasan hati dan pikiran dari karakter buruk binatang: serakah, kikir, amarah, egois, rakus, korup, agresif, dan otoriter dengan menumbuhkan etos peduli, berbagi, berempati, dan bermurah hati kepada sesama, khususnya fakir miskin dan duafa atau korban pandemic Covid-19.

Kedua perayaan hari besar tersebut sarat pesan pembebasan dan penyucian diri (tazkiyat an-nafsi). Salat Id merupakan manifestasi rasa syukur dan panggilan ketaatan kepada Allah, sedangkan berkurban merupakan panggilan cinta Ilahi, keikhlasan tanpa batas, dan pembebasan jiwa dari segala bentuk keserahakan materi dan duniawi. Melalui ibadah kurban, Ibrahim sukses mengaktualisasikan ketulusan cintanya dengan pasrah dan tanpa ragu mempersembahkan kurban terbaiknya, yaitu anak yang sangat dicintainya. Cinta Allah harus dibuktikan dengan memerdekakan pekurban dari segala bentuk godaan duniawi dan materi, termasuk anak sendiri. Karena semua yang “dimiliki dan dinikmati” manusia, termasuk diri sendiri, sejatinya adalah milik Allah.

Tauhid cinta

Perjuangan Ibrahim dalam melakukan penyembelihan anaknya dihadapkan pada bujuk rayu dan godaan setan yang luar biasa dahsyat. Setan-setan itu memprovokasi Ibrahim agar mengurungkan niatnya untuk menyembelih anak kandung sendiri, antara lain, dengan membisikkan ujaran provokasi: “Wahai Ibrahim, apakah engkau sudah gila, anak kandungmu yang engkau sayangi harus mati di tanganmu sendiri? Mengapa engkau tega membunuh darah daging dan belahan jiwamu sendiri?”

Dalam melawan provokasi setan, Ibrahim terbukti berhati ikhlas dan merdeka dari segala bujuk rayu jahat setan. Karena itu, berkurban bukan semata merupakan proses transendensi berupa peneguhan relasi spiritual dengan Tuhan, tetapi juga merupakan proses liberasi (pembebasan) dari segala godaan setan keduniaan dan sekaligus merupakan proses humanisasi dengan menyucikan hati melalui sikap peduli, simpati, bermurah hati, dan aksi berbagi “Ismail” yang paling dicintainya.

Berkurban merupakan puncak ujian iman dan kesabaran yang luar biasa. Jika karunia harta, wanita, dan tahta merupakan ujian biasa, maka “menyembelih Ismail” bagi Ibrahim merupakan ujian iman yang paling berat. Ujian ini hanya bisa dilalui dengan sukses, apabila yang diuji memiliki cinta Ilahi sejati. Kalau bukan karena cinta sejati, mustahil Ibrahim rela menjadikan anak yang dilahirkan dan dibesarkannya dengan susah payah sebagai “sembelihan”. Oleh karena yang memerintahkan oleh kekasih-Nya, Allah, maka apapun yang dicintainya pasti diberikan, termasuk anaknya sendiri.

Dengan cintanya yang ikhlas, autentik, dan heroik, Ibrahim meneladankan kepada kita pentingnya tauhid cinta sejati yang memenuhi apapun panggilan ketaatan kepada Allah. Tauhid cinta mengantarkan seseorang menemukan kebenaran dan kebaikan (hanif) dalam menjalani kehidupan penuh makna. Tauhid cinta meneguhkan bahwa sumber kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan itu adalah cinta sejati kepada-Nya. Sebagai teladan tauhid cinta, Ibrahim sukses menemukan kehadiran Tuhan dalam hati, pikiran, dan kehidupannya, sehingga cinta dunia (hubb ad-dunya), seperti: cinta harta, tahta, wanita, dan pesta, benar-benar dikalahkan oleh tauhid cinta, iman dan takwanya kepada Allah.

Ajaran berkurban yang diteladankan Ibrahim sejatinya dimaksudkan untuk mengakhiri dan menghapuskan tradisi pengorbanan dan perbudakan manusia, karena manusia itu tidak sepatutnya diperbudak, dijajah, dan dijadikan korban atas nama apapun. Nilai kemanusiaan ibadah kurban adalah kemerdekaan dan kebebasan manusia dengan segala hak-hak asasinya, terutama hak untuk hidup secara layak. Itulah mengapa Allah “menggagalkan” penyembelihan Ismail dengan mengganti sembelihan yang besar. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi takwa dari lubuk hatimulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj [22]:37).
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More