Idul Kurban dan Spirit Pembebasan
Kamis, 30 Juli 2020 - 15:56 WIB
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia
DALAM setiap agama ibadah memiliki dimensi ganda: vertikal dan horizontal. Salat dan puasa misalnya bukan sekadar pendekatan diri kepada Allah SWT, tetapi juga merupakan pendekatan diri dengan sesama, bahkan dengan alam semesta. Beribadah juga tidak sekadar untuk menggugurkan kewajiban, berhenti pada tataran legal formal, atau memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi juga harus membuahkan kesalehan sosial, akhlak mulia, dan integritas moral.
Idul Fitri dan Idul Adha merupakan manifestasi integrasi ibadah vertikal dan horizontal. Ritualitas salat dengan menghadap kiblat merupakan ibadah vertikal, sedangkan pelaksanaannya secara berjamaah, penyembelihan hewan kurban, dan pembagian dagingnya kepada yang berhak merupakan ibadah sosial horizontal. Kedua dimensi ibadah ini harus bermuara kepada ketakwaan sosial, keteladanan moral, dan kedermawanan sosial.
Mengapa Nabi Ibrahim AS diperintahkan mengurbankan putranya, Ismail, bukan menyembelih hewan kurban? Mengapa perintah penyembelihan Ismail melalui mimpi itu dilakukan di Mina ketika Ibrahim sedang “menikmati” fase perkembangan putranya yang mulai sanggup berusaha bersamanya?
Mengapa Ibrahim mengajak berdialog dan berdiskusi dengan Ismail tentang perintah Allah untuk “menyembelihnya” sebagai kurban? Mengapa pula Ismail begitu tegar dan sabar dalam menerima ujian iman, padahal dia akan menjadi “korban” penyembelihan oleh ayahnya sendiri?
Mengapa “drama penyembelihan Ismail” berlangsung sangat “melelahkan”, sehingga harus berpindah tempat sampai tiga kali dan Ibrahim harus melempari setan berulang kali? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sungguh sangat menarik jika dilihat dari perspektif teologi pembebasan berbasis tauhid melalui kisahnya yang penuh keteladanan heroik dan autentik dalam Alquran (QS ash-Shaffat [37]: 100-111).
Pembebasan Hati dan Pikiran
Sedemikian agung dan mulia perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam membangun kembali Ka’bah sebagai kiblat dan poros tauhid dan dalam meneladankan ibadah kurban, sehingga syariat kurban itu dilanjutkan dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW, sekaligus dinapaktilasi dengan ritual simbolik berupa pelemparan jamrah oleh para jamaah haji pada tiga tugu jamarat di Mina. Tidak hanya itu, dalam setiap kali salat, umat Islam selalu diingatkan pembacaan doa shalawat dan keberkahan kepada beliau dan keluarganya sebagai apresiasi dan rekognisi terhadap kontribusi agungnya dalam memurnikan tauhid.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia
DALAM setiap agama ibadah memiliki dimensi ganda: vertikal dan horizontal. Salat dan puasa misalnya bukan sekadar pendekatan diri kepada Allah SWT, tetapi juga merupakan pendekatan diri dengan sesama, bahkan dengan alam semesta. Beribadah juga tidak sekadar untuk menggugurkan kewajiban, berhenti pada tataran legal formal, atau memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi juga harus membuahkan kesalehan sosial, akhlak mulia, dan integritas moral.
Idul Fitri dan Idul Adha merupakan manifestasi integrasi ibadah vertikal dan horizontal. Ritualitas salat dengan menghadap kiblat merupakan ibadah vertikal, sedangkan pelaksanaannya secara berjamaah, penyembelihan hewan kurban, dan pembagian dagingnya kepada yang berhak merupakan ibadah sosial horizontal. Kedua dimensi ibadah ini harus bermuara kepada ketakwaan sosial, keteladanan moral, dan kedermawanan sosial.
Mengapa Nabi Ibrahim AS diperintahkan mengurbankan putranya, Ismail, bukan menyembelih hewan kurban? Mengapa perintah penyembelihan Ismail melalui mimpi itu dilakukan di Mina ketika Ibrahim sedang “menikmati” fase perkembangan putranya yang mulai sanggup berusaha bersamanya?
Mengapa Ibrahim mengajak berdialog dan berdiskusi dengan Ismail tentang perintah Allah untuk “menyembelihnya” sebagai kurban? Mengapa pula Ismail begitu tegar dan sabar dalam menerima ujian iman, padahal dia akan menjadi “korban” penyembelihan oleh ayahnya sendiri?
Mengapa “drama penyembelihan Ismail” berlangsung sangat “melelahkan”, sehingga harus berpindah tempat sampai tiga kali dan Ibrahim harus melempari setan berulang kali? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sungguh sangat menarik jika dilihat dari perspektif teologi pembebasan berbasis tauhid melalui kisahnya yang penuh keteladanan heroik dan autentik dalam Alquran (QS ash-Shaffat [37]: 100-111).
Pembebasan Hati dan Pikiran
Sedemikian agung dan mulia perjuangan Nabi Ibrahim AS dalam membangun kembali Ka’bah sebagai kiblat dan poros tauhid dan dalam meneladankan ibadah kurban, sehingga syariat kurban itu dilanjutkan dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW, sekaligus dinapaktilasi dengan ritual simbolik berupa pelemparan jamrah oleh para jamaah haji pada tiga tugu jamarat di Mina. Tidak hanya itu, dalam setiap kali salat, umat Islam selalu diingatkan pembacaan doa shalawat dan keberkahan kepada beliau dan keluarganya sebagai apresiasi dan rekognisi terhadap kontribusi agungnya dalam memurnikan tauhid.
tulis komentar anda