Potensi Gibran Lawan Kotak Kosong di Pilkada Tanda Stagnasi Demokrasi
Rabu, 29 Juli 2020 - 08:06 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai peluang Gibran Rakabuming Raka melawan kotak kosong di Pilkada Surakarta cukup terbuka lebar. Mengingat, putra sulung Presiden Jokowi ini telah didukung mayoritas partai politik, hanya PKS tetapi kursinya kurang mencukupi untuk mengusung pasangan calon.
Adi menyebut potensi Gibran lawan kotak kosong tanda stagnasi demokrasi yang terjadi di Indonesia. "Satu sisi, parpol kian tumbuh mekar, kebebasan politik makin luas, banyak yang ngaku aktivis pro demokrasi masuk partai, tapi pada saat bersamaan tak satupun yang bernyali melawan Gibran di Solo," ujar Adi kepada SINDOnews , Rabu (29/7/2020). (Baca juga: Pengusaha Hotel dan Restoran Meninggal, Diduga Positif COVID-19)
Padahal menurut Adi, bicara demokrasi itu soal 'one man one vote', setiap orang punya harga yang sama dalam pemilihan. Tak peduli ningrat, tak peduli anak pejabat, tak peduli rakyat biasa, semuanya nilainya sama. Menurutnya, demokrasi bukan soal siapa elite tapi soal kehendak rakyat yang biasa-biasa saja.
Analis politik asal UIN Jakarta ini mengatakan yang bikin potensial Gibran jadi calon tunggal karena parpol tak mau susah payah kerja politik menantang Gibran. Seakan jika anak presiden yang maju kontestasi politik dianggap sudah selesai. (Baca juga: Tang Juan, Tentara China yang Dikejar-kejar FBI Diadili di AS)
"Padahal tak begitu juga, kalau parpol serius menantang pastinya pilkada menarik. Hakikat kekuasaan adalah rivalitas, kompetisi, dan diperjuangkan. Kekuasaan bukan hadiah yang diberikan begitu saja, mudah tanpa persaingan," pungkas dia.
Adi menyebut potensi Gibran lawan kotak kosong tanda stagnasi demokrasi yang terjadi di Indonesia. "Satu sisi, parpol kian tumbuh mekar, kebebasan politik makin luas, banyak yang ngaku aktivis pro demokrasi masuk partai, tapi pada saat bersamaan tak satupun yang bernyali melawan Gibran di Solo," ujar Adi kepada SINDOnews , Rabu (29/7/2020). (Baca juga: Pengusaha Hotel dan Restoran Meninggal, Diduga Positif COVID-19)
Padahal menurut Adi, bicara demokrasi itu soal 'one man one vote', setiap orang punya harga yang sama dalam pemilihan. Tak peduli ningrat, tak peduli anak pejabat, tak peduli rakyat biasa, semuanya nilainya sama. Menurutnya, demokrasi bukan soal siapa elite tapi soal kehendak rakyat yang biasa-biasa saja.
Analis politik asal UIN Jakarta ini mengatakan yang bikin potensial Gibran jadi calon tunggal karena parpol tak mau susah payah kerja politik menantang Gibran. Seakan jika anak presiden yang maju kontestasi politik dianggap sudah selesai. (Baca juga: Tang Juan, Tentara China yang Dikejar-kejar FBI Diadili di AS)
"Padahal tak begitu juga, kalau parpol serius menantang pastinya pilkada menarik. Hakikat kekuasaan adalah rivalitas, kompetisi, dan diperjuangkan. Kekuasaan bukan hadiah yang diberikan begitu saja, mudah tanpa persaingan," pungkas dia.
(kri)
tulis komentar anda