Kompetisi
Kamis, 15 Juni 2023 - 08:10 WIB
Ahmad Inung
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama
MEMBUKTIKAN diri sebagai juara dan mengalahkan orang lain itu animal instinct yang tertanam dalam diri manusia. Tidak ada yang bisa mengelak dari "kutukan" ini. Dalam berbagai bentuknya, setiap orang punya kecenderungan untuk menunjukkan dirinya sebagai yang terhebat. Bahkan manusia terlemah pun tidak bisa lolos dari imajinasi untuk menjadi pemenang. Nietszche menggambarkan "kodrat" manusia ini dengan istilah "will to power".
Peradaban manusia memiliki caranya untuk mengkanalisasi animal instinct ini. Era Romawi Kuno, terutama di era Julius Caesar, mencatat pertarungan berdarah yang disebut gladiator. Sekalipun pada awalnya ini menjadi ritual pemakaman kelas bangsawan, pada akhirnya dia berubah menjadi pertandingan hidup mati untuk menentukan "the last man standing" yang layak dipuja-puja oleh para penonton seisi Colosseum.
Olimpiade juga adalah salah satu cara manusia untuk mengatur hasrat untuk menjadi sang juara. Even Olimpiade punya sejarah yang sangat panjang sejak ribuan tahun lalu, tepatnya pada 776 SM. Ia berasal dari pedesaan Olympia Yunani Kuno. Even ini didekasikan untuk menghormati Dewa Zeus. Olimpiade diselenggarakan untuk mencari apa yang disebut "manusia unggul" melalui sebuah kejuaraan. Coroebus, seorang pembuat roti, tercatat sebagai manusia pertama yang memenangkan Olimpiade 776 SM itu.
Sekalipun pada 391 M penyelenggaraan Olimpiade pernah dilarang oleh Kaisar Romawi Kristen, Theodosius, karena dianggap sebagai sisa-sisa ritual pagan, namun tunas Olimpiade terus tumbuh. Hasrat manusia untuk menjadi juara terus mencari cara untuk bisa diwujudkan. Akhirnya, pada 1896, Kota Athena, Yunani, menjadi saksi penyelenggaraan Olimpiade modern pertama yang terus berlanjut hingga kini.
Saat ini, istilah Olimpiade memiliki gengsinya sendiri. Orang yang juara di even Olimpiade dianggap sebagai manusia unggul sejagad. Sebegitu gengsinya, istilah ini kemudian digunakan untuk berbagai ragam perlombaan yang diniati sebagai even bergengsi.
Hari ini, Direktorat Diktis, Ditjen Pendis, Kemenag RI, menyelenggarakan sebuah Olimpiade yang diberi nama OASE (Olimpiade Agama, Sains, dan Riset). UIN Syarif Hidayatullah menjadi tuan rumah penyelenggaraan even dua tahunan untuk mencati mahasiswa-mahasiswa unggul di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam se-Indonesia.
Tak ada ritual persembahan kepada Dewa Zeus, tak ada pula ketelanjangan tubuh. Yang ada hanyalah kompetisi yang diperuntukkan bahwa para mahasiswa PTKI untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah bibit-bibit unggul di bidang ilmu agama dan sains, yang siap mendedikasikan dirinya untuk keunggulan Indonesia di masa depan.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama
MEMBUKTIKAN diri sebagai juara dan mengalahkan orang lain itu animal instinct yang tertanam dalam diri manusia. Tidak ada yang bisa mengelak dari "kutukan" ini. Dalam berbagai bentuknya, setiap orang punya kecenderungan untuk menunjukkan dirinya sebagai yang terhebat. Bahkan manusia terlemah pun tidak bisa lolos dari imajinasi untuk menjadi pemenang. Nietszche menggambarkan "kodrat" manusia ini dengan istilah "will to power".
Peradaban manusia memiliki caranya untuk mengkanalisasi animal instinct ini. Era Romawi Kuno, terutama di era Julius Caesar, mencatat pertarungan berdarah yang disebut gladiator. Sekalipun pada awalnya ini menjadi ritual pemakaman kelas bangsawan, pada akhirnya dia berubah menjadi pertandingan hidup mati untuk menentukan "the last man standing" yang layak dipuja-puja oleh para penonton seisi Colosseum.
Olimpiade juga adalah salah satu cara manusia untuk mengatur hasrat untuk menjadi sang juara. Even Olimpiade punya sejarah yang sangat panjang sejak ribuan tahun lalu, tepatnya pada 776 SM. Ia berasal dari pedesaan Olympia Yunani Kuno. Even ini didekasikan untuk menghormati Dewa Zeus. Olimpiade diselenggarakan untuk mencari apa yang disebut "manusia unggul" melalui sebuah kejuaraan. Coroebus, seorang pembuat roti, tercatat sebagai manusia pertama yang memenangkan Olimpiade 776 SM itu.
Sekalipun pada 391 M penyelenggaraan Olimpiade pernah dilarang oleh Kaisar Romawi Kristen, Theodosius, karena dianggap sebagai sisa-sisa ritual pagan, namun tunas Olimpiade terus tumbuh. Hasrat manusia untuk menjadi juara terus mencari cara untuk bisa diwujudkan. Akhirnya, pada 1896, Kota Athena, Yunani, menjadi saksi penyelenggaraan Olimpiade modern pertama yang terus berlanjut hingga kini.
Saat ini, istilah Olimpiade memiliki gengsinya sendiri. Orang yang juara di even Olimpiade dianggap sebagai manusia unggul sejagad. Sebegitu gengsinya, istilah ini kemudian digunakan untuk berbagai ragam perlombaan yang diniati sebagai even bergengsi.
Hari ini, Direktorat Diktis, Ditjen Pendis, Kemenag RI, menyelenggarakan sebuah Olimpiade yang diberi nama OASE (Olimpiade Agama, Sains, dan Riset). UIN Syarif Hidayatullah menjadi tuan rumah penyelenggaraan even dua tahunan untuk mencati mahasiswa-mahasiswa unggul di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam se-Indonesia.
Tak ada ritual persembahan kepada Dewa Zeus, tak ada pula ketelanjangan tubuh. Yang ada hanyalah kompetisi yang diperuntukkan bahwa para mahasiswa PTKI untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah bibit-bibit unggul di bidang ilmu agama dan sains, yang siap mendedikasikan dirinya untuk keunggulan Indonesia di masa depan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda