Kontras: Perlu Tolak Ukur Objektif Sebelum Hukuman Mati Dijatuhkan
Jum'at, 19 Mei 2023 - 14:11 WIB
JAKARTA - Pengadilan di Indonesia sebelum 2023 telah melaksanakan hukuman mati terhadap narapidana kasus narkotika, terorisme, pembunuhan berencana, dan beberapa kejahatan lainnya. Sementara, Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023) menandakan terjadinya perubahan politik hukum terhadap pidana mati di Indonesia.
Tioria Pretty, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjelaskan, Pasal 100 UU 1/2023 mengatur penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun yang dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup jika selama masa percobaan terpidana mati dianggap melakukan sikap dan perbuatan terpuji.
Perubahan tersebut dinilai sebagai langkah maju. Karena itu, ia memberikan 2 catatan terhadap praktik peradilan pidana yang menangani perkara dengan ancaman hukuman mati yang selama ini berjalan.
"Integritas dan independensi hakim yang memutus perkara harus sepenuhnya memahami situasi perkara secara utuh, dan lepas dari tekanan termasuk opini publik," kata Tioria Pretty dalam FGD bertajuk Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi, Jumat (19/5/2023).
Menurut Pretty, pidana mati bersifat irreversible, sehingga hakim semestinya lebih sensitif untuk melihat adanya aspek-aspek lain dari yang ditampilkan di dalam persidangan. Hal ini untuk mencegah terjadinya unfair trial seperti misalnya kemungkinan adanya penyiksaan (intimidasi) selama proses sebelum persidangan.
"Selain itu, perlu ada tolok ukur yang lebih objektif sebelum dapat menentukan apakah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi dengan pidana mati," katanya.
Pretty menambahkan, penjatuhan pidana mati perlu didasarkan pada pertimbangan dari pelbagai aspek. Hakim perlu juga menilai bagaimana kondisi dari keluarga terdakwa dan juga faktor-faktor yang mungkin meringankannya.
Dalam hal ini, sudah sewajarnya Mahkamah Agung (MA) segera membuat suatu pedoman pemidanaan pedoman pemidanaan sebagai rambu-rambu bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana mati, sehingga dapat membawa rasa keadilan dan konsistensi penerapan hukuman mati di Tanah Air.
Perubahan ini perlahan-lahan mengikis penggunaan pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang masih didukung sebagian besar masyarakat Indonesia
"Masih banyak (masyarakat Indonesia) yang mendukung penggunaan pidana mati, sehingga terobosan seperti ini juga perlu dibarengi dengan upaya edukasi dan sosialisasi. Meskipun beberapa hal harus terus dipantau ke depannya seperti timbulnya lapak-lapak suap baru dalam mendapat keterangan berkelakuan baik," katanya.
Lihat Juga: Terpidana Mati Mary Jane Bebas dan Bisa Dipulangkan ke Filipina, Ini Respons Kemenkumham DIY
Tioria Pretty, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjelaskan, Pasal 100 UU 1/2023 mengatur penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun yang dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup jika selama masa percobaan terpidana mati dianggap melakukan sikap dan perbuatan terpuji.
Perubahan tersebut dinilai sebagai langkah maju. Karena itu, ia memberikan 2 catatan terhadap praktik peradilan pidana yang menangani perkara dengan ancaman hukuman mati yang selama ini berjalan.
"Integritas dan independensi hakim yang memutus perkara harus sepenuhnya memahami situasi perkara secara utuh, dan lepas dari tekanan termasuk opini publik," kata Tioria Pretty dalam FGD bertajuk Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi, Jumat (19/5/2023).
Menurut Pretty, pidana mati bersifat irreversible, sehingga hakim semestinya lebih sensitif untuk melihat adanya aspek-aspek lain dari yang ditampilkan di dalam persidangan. Hal ini untuk mencegah terjadinya unfair trial seperti misalnya kemungkinan adanya penyiksaan (intimidasi) selama proses sebelum persidangan.
"Selain itu, perlu ada tolok ukur yang lebih objektif sebelum dapat menentukan apakah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi dengan pidana mati," katanya.
Pretty menambahkan, penjatuhan pidana mati perlu didasarkan pada pertimbangan dari pelbagai aspek. Hakim perlu juga menilai bagaimana kondisi dari keluarga terdakwa dan juga faktor-faktor yang mungkin meringankannya.
Dalam hal ini, sudah sewajarnya Mahkamah Agung (MA) segera membuat suatu pedoman pemidanaan pedoman pemidanaan sebagai rambu-rambu bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana mati, sehingga dapat membawa rasa keadilan dan konsistensi penerapan hukuman mati di Tanah Air.
Perubahan ini perlahan-lahan mengikis penggunaan pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang masih didukung sebagian besar masyarakat Indonesia
"Masih banyak (masyarakat Indonesia) yang mendukung penggunaan pidana mati, sehingga terobosan seperti ini juga perlu dibarengi dengan upaya edukasi dan sosialisasi. Meskipun beberapa hal harus terus dipantau ke depannya seperti timbulnya lapak-lapak suap baru dalam mendapat keterangan berkelakuan baik," katanya.
Lihat Juga: Terpidana Mati Mary Jane Bebas dan Bisa Dipulangkan ke Filipina, Ini Respons Kemenkumham DIY
(abd)
tulis komentar anda