Adu Jotos Sepak Bola Indonesia vs Thailand Bisa Terjadi di Pemilu 2024 karena Wasit
Rabu, 17 Mei 2023 - 20:55 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mewanti-wanti agar Pemilu 2024 tidak menjadi ajang “adu jotos” seperti perkelahian antara Official Timnas Sepakbola Indonesia dengan Thailand U-22 tadi malam. Untuk itu, Haedar menekankan bahwa wasit pada Pemilu 2024 harus bersikap adil.
Menurut Haedar, pertandingan sepak bola yang sudah punya regulasi pakem sekali pun, faktanya masih saja terjadi perkelahian. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah kompetisi yang regulasinya masih dijauhi oleh para pemain, terlebih pada kontestasi politik. Pertandingan bisa sangat jauh lebih keras bila ditarik pada ranah ideologi.
“Ideologi itu menimbulkan fanatisme yang kuat, yang militansi dan lebih ujung lagi orang akan menyebut dengan fanatisme buta. Fanatik saja sudah bermasalah, apalagi butanya,” ungkap Haedar dalam amanat pada Peresmian Gedung Jenderal Sudirman Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), Rabu (17/5/2023) dikutip dari muhammadiyah.or.id.
Dalam politik praktis, kata Haedar, kontestasi bakal berlangsung dengan keras bila disenyawakan dengan ideologi. Dia mencontohkan Pemilu 1955 yang memicu tragedi 1965. Adalah tugas negara untuk dpat meredam ketegangan dan mengeliminasi faktor konflik ini.
“Jadi kalau yang menjadi pengawas pertandingan, lembaganya di atas tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya apalagi terlibat, maka di situlah benih konflik akan terjad,” ungkapnya.
Selain elite pemerintahan, komponen yang bisa berperan meredam potensi konflik adalah tokoh agama dan masyarakat. Mereka bisa meredam konflik, salah satunya dengan menjaga kata. Muhammadiyah sendiri dalam Pemilu 2024, kata Haedar, bukan pemain maupun wasit.
“Muhammadiyah harus pandai menjadi dan memposisikan diri. Kita bukan pemain, kita bukan yang terlibat untuk berkontestasi, kita juga bukan wasit, tapi kita wasit secara moral dan keagamaan. Lebih dari itu, kita adalah ormas keagamaan dan ormas dakwah. Pandai-pandailah memposisikan diri,” ungkapnya.
Secara tegas Haedar berpesan supaya warga Persyarikatan Muhammadiyah dan warga bangsa supaya ‘tidak membeli’ pernyataan-pernyataan atau ujaran kebencian pemain politik yang hoax menyebabkan pecah belah. Meskipun ujaran pernyataan tersebut datang dari tokoh politik yang dia pilih, sebab ciri warga berkemajuan itu adalah kritis.
Menurut Haedar, pertandingan sepak bola yang sudah punya regulasi pakem sekali pun, faktanya masih saja terjadi perkelahian. Bisa dibayangkan bagaimana sebuah kompetisi yang regulasinya masih dijauhi oleh para pemain, terlebih pada kontestasi politik. Pertandingan bisa sangat jauh lebih keras bila ditarik pada ranah ideologi.
“Ideologi itu menimbulkan fanatisme yang kuat, yang militansi dan lebih ujung lagi orang akan menyebut dengan fanatisme buta. Fanatik saja sudah bermasalah, apalagi butanya,” ungkap Haedar dalam amanat pada Peresmian Gedung Jenderal Sudirman Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), Rabu (17/5/2023) dikutip dari muhammadiyah.or.id.
Dalam politik praktis, kata Haedar, kontestasi bakal berlangsung dengan keras bila disenyawakan dengan ideologi. Dia mencontohkan Pemilu 1955 yang memicu tragedi 1965. Adalah tugas negara untuk dpat meredam ketegangan dan mengeliminasi faktor konflik ini.
Pemerintah Tak Boleh Memihak
Pada konteks pemilu, penyelenggara negara bertugas menciptakan kontestasi langsung yang bersih, jujur dan adil. Pada posisi inilah pemerintah harus menjadi wasit pertandingan. Pemerintah harus adil, tidak boleh memihak salah satu pihak. Bila pemerintah memihak, Haedar mengatakan hal itu telah mengawali panasnya pertandingan.“Jadi kalau yang menjadi pengawas pertandingan, lembaganya di atas tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya apalagi terlibat, maka di situlah benih konflik akan terjad,” ungkapnya.
Selain elite pemerintahan, komponen yang bisa berperan meredam potensi konflik adalah tokoh agama dan masyarakat. Mereka bisa meredam konflik, salah satunya dengan menjaga kata. Muhammadiyah sendiri dalam Pemilu 2024, kata Haedar, bukan pemain maupun wasit.
“Muhammadiyah harus pandai menjadi dan memposisikan diri. Kita bukan pemain, kita bukan yang terlibat untuk berkontestasi, kita juga bukan wasit, tapi kita wasit secara moral dan keagamaan. Lebih dari itu, kita adalah ormas keagamaan dan ormas dakwah. Pandai-pandailah memposisikan diri,” ungkapnya.
Secara tegas Haedar berpesan supaya warga Persyarikatan Muhammadiyah dan warga bangsa supaya ‘tidak membeli’ pernyataan-pernyataan atau ujaran kebencian pemain politik yang hoax menyebabkan pecah belah. Meskipun ujaran pernyataan tersebut datang dari tokoh politik yang dia pilih, sebab ciri warga berkemajuan itu adalah kritis.
(muh)
tulis komentar anda