Kaum Oligark Ingin Pertahankan Akumulasi Modal, Tidak Peduli Rezim dan Siapa yang Memimpin
Rabu, 22 Juli 2020 - 12:24 WIB
JAKARTA - Oligarki dalam peta perpolitikan nasional makin menguat. Sistem politik dianggap mendukung tumbuh suburnya hubungan kekerabatan untuk terus berada di jajaran elite kekuasaan.
Pengamat hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, oligarki itu berkaitan dengan pemilik modal dan yang mempunyai kapasitas langsung terhadap sumber-sumber keuangan. Kaum oligark selalu berusaha berada di lingkaran kekuasaan.
"Tujuannya mempertahankan akumulasi modal. Dia tidak peduli rezim, siapa yang memimpin, siapa yang menjalankan pemerintah. Yang penting mengambil pemerintah dan diharapkan mengakumulasi kembali modal yang dikeluarkan," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 'Pemilu, Pilkada, dan Oligarki Politik', Rabu (22/7/2020).
Dia menerangkan, sistem pemerintahan Indonesia mudah tergoda untuk masuknya para pemodal. Alasannya, sistem yang digunakan presidensial. Ini menempatkan pendulum kekuasaan pada presiden. Presiden itu kesannya raja dan kuasanya mutlak. Dalam sistem presidensial itu raja dibatasi secara konstitusional. Kedaulatannya diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu). ( ).
"Kita menggunakan sistem pemilu yang kemudian disebut presidential threshold . Ini cara yang paling enak oligarki untuk menguasai dengan mudah karena bisa mengatur jumlah calon presiden," tutur Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Zainal mengungkapkan presidential threshold itu ada bau-bau politik untuk menutup peluang orang lain maju dalam pemilihan presiden. Menurutnya, presidential threshold itu seharusnya nol persen.
Saat ini, untuk maju sebagai presiden membutuhkan dukungan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25 persen suara sah nasional. Ketentuan ini sudah beberapa kali diuji materi di Mahkamah Konstitusi, tapi selalu mental. ( ).
Dia mempertanyakan argumen Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut presidential threshold sebagai open legal policy. "MK bilang untuk penyederhanan parpol, padahal itu tidak ada korelasinya. Koalisi dalam membentuk pemerintahan dalam sistem presidensial tidak perlu," pungkasnya.
Pengamat hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, oligarki itu berkaitan dengan pemilik modal dan yang mempunyai kapasitas langsung terhadap sumber-sumber keuangan. Kaum oligark selalu berusaha berada di lingkaran kekuasaan.
"Tujuannya mempertahankan akumulasi modal. Dia tidak peduli rezim, siapa yang memimpin, siapa yang menjalankan pemerintah. Yang penting mengambil pemerintah dan diharapkan mengakumulasi kembali modal yang dikeluarkan," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 'Pemilu, Pilkada, dan Oligarki Politik', Rabu (22/7/2020).
Dia menerangkan, sistem pemerintahan Indonesia mudah tergoda untuk masuknya para pemodal. Alasannya, sistem yang digunakan presidensial. Ini menempatkan pendulum kekuasaan pada presiden. Presiden itu kesannya raja dan kuasanya mutlak. Dalam sistem presidensial itu raja dibatasi secara konstitusional. Kedaulatannya diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu). ( ).
"Kita menggunakan sistem pemilu yang kemudian disebut presidential threshold . Ini cara yang paling enak oligarki untuk menguasai dengan mudah karena bisa mengatur jumlah calon presiden," tutur Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Zainal mengungkapkan presidential threshold itu ada bau-bau politik untuk menutup peluang orang lain maju dalam pemilihan presiden. Menurutnya, presidential threshold itu seharusnya nol persen.
Saat ini, untuk maju sebagai presiden membutuhkan dukungan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 25 persen suara sah nasional. Ketentuan ini sudah beberapa kali diuji materi di Mahkamah Konstitusi, tapi selalu mental. ( ).
Dia mempertanyakan argumen Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut presidential threshold sebagai open legal policy. "MK bilang untuk penyederhanan parpol, padahal itu tidak ada korelasinya. Koalisi dalam membentuk pemerintahan dalam sistem presidensial tidak perlu," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda