Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Minta DPR Tinjau Ulang RUU Kesehatan
Jum'at, 28 April 2023 - 12:00 WIB
JAKARTA - Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PP Peraboi) meminta DPR meninjau ulang beberapa poin penting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan . Sebab dalam RUU tersebut terdapat beberapa hal yang dinilai berisiko terhadap pelayanan dokter kepada pasien.
Ketua Umum PP Peraboi Walta Gautama mengatakan salah satu di antaranya terkait dengan percepatan pemenuhan dokter subspesialis melalui program pendidikan berbasis rumah sakit. Pihaknya memahami diangkatnya kanker sebagai layanan prioritas maka dibutuhkan percepatan pemenuhan dokter spesialis dan subspesialis yang menangani kanker.
Apalagi jumlah pasien kanker padat yang naik setiap tahun masih belum sebanding dengan jumlah dokter ahli bedah Onkologi yang kurang dari 300 orang di seluruh Indonesia. “Tetapi, rencana pendidikan dokter spesialis dan subspesialis berbasis rumah sakit ini berpotensi merugikan masyarakat bila dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang mendalam dan perencanaan yang matang,” ujarnya, Jumat (28/4/2023).
Selain itu, kata Walta, beban rumah sakit yang besar adalah pelayanan dan keselamatan pasien. Beban tambahan untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis berpotensi menurunkan kualitas pelayanan dan kualitas dokter yang dihasilkan, serta berpotensi merugikan masyarakat.
“Mendidik dokter spesialis dan subspesialis tidaklah seperti memproduksi barang. Tidak cukup dengan memperbanyak fasilitas pendidikan, tapi juga harus ditunjang dengan kurikulum yang matang dan kualitas tenaga pendidik yang baik,” jelas Walta.
Hal lain yang juga menimbulkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan adalah belum adanya kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam beberapa pasal memang dinyatakan pemerintah memberikan perlindungan hukum, tetapi masih ada peluang para dokter dalam menjalankan profesinya akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan.
“Hal itu berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine yang pada akhirnya juga akan merugikan pasien. Sementara penyelenggaraan praktik kedokteran selalu mendasarkan pada empat kaidah dasar moral yaitu, menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice),” tuturnya.
Di sisi lain, lanjut Walta, pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan. Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan.
“Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam Pasal 283 RUU Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine. Hal ini akan menurunkan kualitas pelayanan kanker dan akhirnya malah merugikan pasien kanker,” tandasnya.
Untuk itu, PP Peraboi sebagai organisasi profesi yang mewadahi dokter spesialis bedah yang melayani pasien kanker berharap DPR memberikan perhatian khusus dalam pengkajian Pasal 243 dan 283 RUU Kesehatan. “Pihaknya berharap RUU Kesehatan ini dapat disempurnakan dan menjadi dasar hukum untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik,” tutupnya.
Ketua Umum PP Peraboi Walta Gautama mengatakan salah satu di antaranya terkait dengan percepatan pemenuhan dokter subspesialis melalui program pendidikan berbasis rumah sakit. Pihaknya memahami diangkatnya kanker sebagai layanan prioritas maka dibutuhkan percepatan pemenuhan dokter spesialis dan subspesialis yang menangani kanker.
Apalagi jumlah pasien kanker padat yang naik setiap tahun masih belum sebanding dengan jumlah dokter ahli bedah Onkologi yang kurang dari 300 orang di seluruh Indonesia. “Tetapi, rencana pendidikan dokter spesialis dan subspesialis berbasis rumah sakit ini berpotensi merugikan masyarakat bila dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang mendalam dan perencanaan yang matang,” ujarnya, Jumat (28/4/2023).
Selain itu, kata Walta, beban rumah sakit yang besar adalah pelayanan dan keselamatan pasien. Beban tambahan untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis berpotensi menurunkan kualitas pelayanan dan kualitas dokter yang dihasilkan, serta berpotensi merugikan masyarakat.
“Mendidik dokter spesialis dan subspesialis tidaklah seperti memproduksi barang. Tidak cukup dengan memperbanyak fasilitas pendidikan, tapi juga harus ditunjang dengan kurikulum yang matang dan kualitas tenaga pendidik yang baik,” jelas Walta.
Hal lain yang juga menimbulkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan adalah belum adanya kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam beberapa pasal memang dinyatakan pemerintah memberikan perlindungan hukum, tetapi masih ada peluang para dokter dalam menjalankan profesinya akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan.
“Hal itu berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine yang pada akhirnya juga akan merugikan pasien. Sementara penyelenggaraan praktik kedokteran selalu mendasarkan pada empat kaidah dasar moral yaitu, menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice),” tuturnya.
Di sisi lain, lanjut Walta, pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan. Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan.
“Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam Pasal 283 RUU Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine. Hal ini akan menurunkan kualitas pelayanan kanker dan akhirnya malah merugikan pasien kanker,” tandasnya.
Untuk itu, PP Peraboi sebagai organisasi profesi yang mewadahi dokter spesialis bedah yang melayani pasien kanker berharap DPR memberikan perhatian khusus dalam pengkajian Pasal 243 dan 283 RUU Kesehatan. “Pihaknya berharap RUU Kesehatan ini dapat disempurnakan dan menjadi dasar hukum untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik,” tutupnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda