Modifikasi Cuaca Dinilai Efektif Menekan Kebakaran Hutan
Jum'at, 17 Juli 2020 - 17:54 WIB
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau di beberapa daerah akan mundur. Perubahan cuaca ini akan memengaruhi upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan .
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan biasanya di Juni dan Juli beberapa daerah sudah mengalami kemarau. KLHK pun sudah bersiaga dan bersiap untuk mengantisipasi kemunculan hotspot. Puncak kebakaran hutan biasanya pada akhir Agustus dan awal September. “ Ini kerja berat di Oktober dan November. Di Riau, harus harus dilihatin daerah mana yang gampang (kebakaran). Cuaca sangat dinamis, maka identifikasi cuaca di tiap daerah,” ujarnya, Jumat (17/7/2020). (Baca juga: 73 Orang dan Dua Korporasi Tersangka Pembakaran Hutan Dan Lahan)
KLHK bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Brawijaya, dan Institut Pertanian Bogor (IPB), melakukan teknik modifikasi cuaca. Hal ini untuk mengatasi kebakaran di lahan gambut dan mengurangi asap,” tuturnya. Modifikasi cuaca ini lumayan membantu mencegah kebakaran hutan. Berdasarkan data pada 13-31 Mei 2020, terjadi penambahan curah hujan di Riau sebanyak 36%. Di Sumatera Selatan, setelah dilakukan modifikasi cuaca terjadi penambahan curah hujan sebesar 22,6%. Penambahan curah hujan di Jambi mencapai 21,4%. “Ada pengaruhnya karena gambut menjadi lebih basah. Begitu hujan banyak, airnya naik,” ucapnya. (Baca juga: Siaga Karhutla, Sumsel Siapkan 8.000 Personel)
KLHK melakukan evaluasi penanganan kebakaran di Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur. Siti mengungkapkan masih ada yang kurang untuk jalur operasi dan lanskap. Langkah yang diambil meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi potensi kebakaran.
“Di lapangan ada yang namanya kelompok pengelolaan hutan, kayak dinas kehutanan di lokasi. Ini harus di-upgrade secara kelembagaan. Bagaimana masyarakat mengajak champion-champion lokal, babinsa, kamtibmas, gakkum, masyarakat peduli api, dan pertanian bisa dalam satu sistem kesatuan,” ucapnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan biasanya di Juni dan Juli beberapa daerah sudah mengalami kemarau. KLHK pun sudah bersiaga dan bersiap untuk mengantisipasi kemunculan hotspot. Puncak kebakaran hutan biasanya pada akhir Agustus dan awal September. “ Ini kerja berat di Oktober dan November. Di Riau, harus harus dilihatin daerah mana yang gampang (kebakaran). Cuaca sangat dinamis, maka identifikasi cuaca di tiap daerah,” ujarnya, Jumat (17/7/2020). (Baca juga: 73 Orang dan Dua Korporasi Tersangka Pembakaran Hutan Dan Lahan)
KLHK bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Brawijaya, dan Institut Pertanian Bogor (IPB), melakukan teknik modifikasi cuaca. Hal ini untuk mengatasi kebakaran di lahan gambut dan mengurangi asap,” tuturnya. Modifikasi cuaca ini lumayan membantu mencegah kebakaran hutan. Berdasarkan data pada 13-31 Mei 2020, terjadi penambahan curah hujan di Riau sebanyak 36%. Di Sumatera Selatan, setelah dilakukan modifikasi cuaca terjadi penambahan curah hujan sebesar 22,6%. Penambahan curah hujan di Jambi mencapai 21,4%. “Ada pengaruhnya karena gambut menjadi lebih basah. Begitu hujan banyak, airnya naik,” ucapnya. (Baca juga: Siaga Karhutla, Sumsel Siapkan 8.000 Personel)
KLHK melakukan evaluasi penanganan kebakaran di Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur. Siti mengungkapkan masih ada yang kurang untuk jalur operasi dan lanskap. Langkah yang diambil meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi potensi kebakaran.
“Di lapangan ada yang namanya kelompok pengelolaan hutan, kayak dinas kehutanan di lokasi. Ini harus di-upgrade secara kelembagaan. Bagaimana masyarakat mengajak champion-champion lokal, babinsa, kamtibmas, gakkum, masyarakat peduli api, dan pertanian bisa dalam satu sistem kesatuan,” ucapnya.
(cip)
tulis komentar anda