Ini Alasan PKS Ingin Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah Turun
Rabu, 15 Juli 2020 - 09:38 WIB
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 5% kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 10% suara pemilihan umum (pemilu). Besaran itu akan diusahakan untuk masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu .
Sebelumnya, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi DPRD dan 25% persen suara sah. Anggota Fraksi PKS DPR RI, Mardani Ali Sera mengatakan ada beberapa hal yang melatarbelakangi usulan tersebut.
"Ambang batas pencalonan kepala daerah yang tinggi berpotensi menimbulkan korupsi dan ketergantungan. Peluang transaksi politik antar elite sangat tinggi," ujarnya melalui akun twitter @MardaniAliSera, Rabu (15/7/2020).( )
Dampak dari ambang batas yang tinggi itu, para calon akan terbebani dengan ongkos politik. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu menjelaskan ambang batas yang tinggi berpotensi menjadi penghalang bagi banyak kader-kader unggulan di setiap partai.
"Akhirnya mereka terpaksa 'menyewakan perahunya kepada orang lain' untuk maju. Padahal boleh jadi visi dan misi mereka tidak selaras," tuturnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ada potensi politik yang tidak hanya terjadi ranah pemilih tetapi dalam proses pencalonan seseorang dalam memperebutkan tiket pilkada. Apalagi, jarang sekali partai politik (parpol) yang memiliki 20% kursi DPRD. "Ini bisa membuat harga pendaftaran kursi kandidat akan sangat mahal," katanya.( )
Mardani mengungkapkan besaran mahar yang mahal membuat banyak calon memilih tidak maju. Hal tersebut diduga menimbulkan fenomena banyaknya calon kepala daerah tunggal.
"Kita telah sama-sama melihat fenomena menjamurnya paslon tunggal pada Pilkada 2018. Jumlah daerah yang ada paslon tunggul lebih banyak jika dibandingkan dengan dua pilkada serentak sebelumnya," paparnya.
Fenomena itu tentu sebuah anomali mengingat Indonesia menganut sistem multipartai dengan banyak penduduk. Dengan sistem itu seharusnya dapat menghasilkan jumlah paslon yang banyak dalam setiap pesta demokrasi tingkat lokal itu.
Mardani menilai fenomena itu merugikan masyarakat karena tidak tersedianya alternatif pilihan. Situasi itu berpotensi menurunkan tingkat partisipasi pemilih. "Terakhir, menurunkan ambang batas berarti menurunkan ‘harga’ kursi pencalonan. Di sisi lain, berpeluang meningkatkan kualitas calon-calon," katanya.
Sebelumnya, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi DPRD dan 25% persen suara sah. Anggota Fraksi PKS DPR RI, Mardani Ali Sera mengatakan ada beberapa hal yang melatarbelakangi usulan tersebut.
"Ambang batas pencalonan kepala daerah yang tinggi berpotensi menimbulkan korupsi dan ketergantungan. Peluang transaksi politik antar elite sangat tinggi," ujarnya melalui akun twitter @MardaniAliSera, Rabu (15/7/2020).( )
Dampak dari ambang batas yang tinggi itu, para calon akan terbebani dengan ongkos politik. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu menjelaskan ambang batas yang tinggi berpotensi menjadi penghalang bagi banyak kader-kader unggulan di setiap partai.
"Akhirnya mereka terpaksa 'menyewakan perahunya kepada orang lain' untuk maju. Padahal boleh jadi visi dan misi mereka tidak selaras," tuturnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka ada potensi politik yang tidak hanya terjadi ranah pemilih tetapi dalam proses pencalonan seseorang dalam memperebutkan tiket pilkada. Apalagi, jarang sekali partai politik (parpol) yang memiliki 20% kursi DPRD. "Ini bisa membuat harga pendaftaran kursi kandidat akan sangat mahal," katanya.( )
Mardani mengungkapkan besaran mahar yang mahal membuat banyak calon memilih tidak maju. Hal tersebut diduga menimbulkan fenomena banyaknya calon kepala daerah tunggal.
"Kita telah sama-sama melihat fenomena menjamurnya paslon tunggal pada Pilkada 2018. Jumlah daerah yang ada paslon tunggul lebih banyak jika dibandingkan dengan dua pilkada serentak sebelumnya," paparnya.
Fenomena itu tentu sebuah anomali mengingat Indonesia menganut sistem multipartai dengan banyak penduduk. Dengan sistem itu seharusnya dapat menghasilkan jumlah paslon yang banyak dalam setiap pesta demokrasi tingkat lokal itu.
Mardani menilai fenomena itu merugikan masyarakat karena tidak tersedianya alternatif pilihan. Situasi itu berpotensi menurunkan tingkat partisipasi pemilih. "Terakhir, menurunkan ambang batas berarti menurunkan ‘harga’ kursi pencalonan. Di sisi lain, berpeluang meningkatkan kualitas calon-calon," katanya.
(abd)
tulis komentar anda