Polemik Justice Collaborator Bharada E, Praktisi Hukum: Kewenangan LPSK Perlu Diperkuat
Senin, 23 Januari 2023 - 23:05 WIB
JAKARTA - Praktisi Hukum Hendra Setiawan Boen turut mengungkapkan kekecewaannya atas tuntutan 12 tahun terhadap Bharada E atau Richard Eliezer, terdakwa sekaligus Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Menurut Hendra, tidak adil bagi Bharada E yang telah membuka secara terang benderang peristiwa pembunuhan Brigadir J justru dituntut lebih tinggi dari pelaku utama yaitu terdakwa Putri Candrawati yang hanya 8 tahun.
“Terus terang saya kasihan dengan Richard Eliezer yang seperti dikerjai berulang kali. Pertama, dijadikan kambing hitam oleh atasannya, Sambo dan Putri. Sekarang dia kena prank negara untuk membuka kasus seterang-terangnya dengan imbalan dapat meneruskan karir di kepolisian. Setelah Eliezer menjalankan kewajiban sebagai JC malah oleh kejaksaan dianggap bukan penguak fakta. Penguak fakta versi JPU adalah keluarga almarhum Yoshua,” ujar Hendra dalam keterangannya, Selasa (24/1/2023).
Hendra mempertanyakan logika JPU tersebut karena tidak ada satupun keluarga Brigadir J ada di tempat pada saat penembakan berlangsung. Dari fakta persidangan terlihat adalah Bharada E yang membuka urutan kejadian, termasuk dugaan Sambo adalah penembak kedua, di mana tembakan kedua ini yang menghilangkan nyawa Brigadir J.
Dia menerangkan sesuai penjelasan Pasal 10A UU 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa saksi pelaku yang menjadi JC berhak mendapatkan keringanan pidana.
“Jadi di sini terlihat jelas kekurangan dari sistem perlindungan saksi dan korban dalam hukum acara pidana Indonesia yang perlu dibenahi. Adalah tidak adil bagi orang yang berjasa menjadi JC tapi tidak mendapatkan haknya karena dua lembaga negara yang menangani penetapan menjadi JC masih berpendapat berbeda tentang kelayakan yang bersangkutan menjadi JC,” terang Hendra.
Di sisi lain, Hendra kuatir bila praktik ketidakadilan ini dibiarkan terus maka tidak ada lagi yang mau menjadi JC karena tidak berfaedah dan memberikan keuntungan kepada tersangka/terdakwa.
“Ada baiknya kita memperkuat LPSK sehingga LPSK menjadi satu-satunya lembaga negara yang berwenang menentukan apakah seseorang layak menjadi JC atau tidak. Keabsahan seseorang menjadi JC dituangkan dalam sebuah perjanjian dan ditandatangan oleh LPSK dan penyidik maupun kejaksaan. Perjanjian tersebut kemudian tinggal diratifikasi atau disahkan oleh majelis hakim,” usul Hendra.
“Lebih kurang ini mengadopsi sistem plea bargain di Amerika. Plea bargain tersebut dapat diberlakukan juga kepada pelaku yang mengakui kesalahan sehingga dapat mengurangi beban pengadilan mengadili perkara-perkara yang peristiwanya terang dan diakui pelaku sekaligus melengkapi sistem restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia,” tutup Hendra.
Menurut Hendra, tidak adil bagi Bharada E yang telah membuka secara terang benderang peristiwa pembunuhan Brigadir J justru dituntut lebih tinggi dari pelaku utama yaitu terdakwa Putri Candrawati yang hanya 8 tahun.
“Terus terang saya kasihan dengan Richard Eliezer yang seperti dikerjai berulang kali. Pertama, dijadikan kambing hitam oleh atasannya, Sambo dan Putri. Sekarang dia kena prank negara untuk membuka kasus seterang-terangnya dengan imbalan dapat meneruskan karir di kepolisian. Setelah Eliezer menjalankan kewajiban sebagai JC malah oleh kejaksaan dianggap bukan penguak fakta. Penguak fakta versi JPU adalah keluarga almarhum Yoshua,” ujar Hendra dalam keterangannya, Selasa (24/1/2023).
Hendra mempertanyakan logika JPU tersebut karena tidak ada satupun keluarga Brigadir J ada di tempat pada saat penembakan berlangsung. Dari fakta persidangan terlihat adalah Bharada E yang membuka urutan kejadian, termasuk dugaan Sambo adalah penembak kedua, di mana tembakan kedua ini yang menghilangkan nyawa Brigadir J.
Dia menerangkan sesuai penjelasan Pasal 10A UU 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa saksi pelaku yang menjadi JC berhak mendapatkan keringanan pidana.
“Jadi di sini terlihat jelas kekurangan dari sistem perlindungan saksi dan korban dalam hukum acara pidana Indonesia yang perlu dibenahi. Adalah tidak adil bagi orang yang berjasa menjadi JC tapi tidak mendapatkan haknya karena dua lembaga negara yang menangani penetapan menjadi JC masih berpendapat berbeda tentang kelayakan yang bersangkutan menjadi JC,” terang Hendra.
Di sisi lain, Hendra kuatir bila praktik ketidakadilan ini dibiarkan terus maka tidak ada lagi yang mau menjadi JC karena tidak berfaedah dan memberikan keuntungan kepada tersangka/terdakwa.
“Ada baiknya kita memperkuat LPSK sehingga LPSK menjadi satu-satunya lembaga negara yang berwenang menentukan apakah seseorang layak menjadi JC atau tidak. Keabsahan seseorang menjadi JC dituangkan dalam sebuah perjanjian dan ditandatangan oleh LPSK dan penyidik maupun kejaksaan. Perjanjian tersebut kemudian tinggal diratifikasi atau disahkan oleh majelis hakim,” usul Hendra.
Baca Juga
“Lebih kurang ini mengadopsi sistem plea bargain di Amerika. Plea bargain tersebut dapat diberlakukan juga kepada pelaku yang mengakui kesalahan sehingga dapat mengurangi beban pengadilan mengadili perkara-perkara yang peristiwanya terang dan diakui pelaku sekaligus melengkapi sistem restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia,” tutup Hendra.
(kri)
tulis komentar anda