Perlu Tingkatkan Sosialisasi dan Edukasi

Senin, 11 Mei 2015 - 09:17 WIB
Perlu Tingkatkan Sosialisasi...
Perlu Tingkatkan Sosialisasi dan Edukasi
A A A
Perusahaan konsultan manajemen global, McKinsey, meramalkan prospek pertumbuhan kelas menengah Indonesia sangat pesat setelah China dan India.

Diperkirakan ada pertambahan populasi 90 juta orang yang masuk kategori kelas menengah pada tahun 2030.

Namun, hal itu tidak sertamerta membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan investasi di Indonesia. Sebab, survei McKinsey juga menunjukkan sekitar 90% penduduk Indonesia belum memiliki rencana keuangan jangka panjang.

Artinya, sebagian besar masyarakat belum memahami manfaat dan keuntungan berinvestasi. Untuk itu, diperlukan edukasi dan sosialisasi mengenai manfaat berinvestasi. Berikut wawancara KORAN SINDO dengan Dirut PT Danareksa Investment Management (DIM), Prihatmo Hari Mulyanto, mengenai hal itu.

Sebenarnya seperti apa prospek investasi di Indonesia?

Mengutip hasil riset yang dilakukan McKinsey pada 2012, diperkirakan ada pertambahan populasi 90 juta orang di Indonesia yang masuk kategori kelas menengah pada 2030. Selain Jakarta, ada kota lain yang juga sebagai penyumbang utama masyarakat kelas menengah. Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Makassar, juga Balikpapan. Sejalan dengan peningkatan pendapatan (income) dan setelah terpenuhinya kebutuhan primer maupun sekunder, otomatis akan terjadi pertumbuhan pengeluaran untuk kebutuhan tersier (tertiary spending). Di antara komponen kebutuhan tersier. Diperkirakan pengeluaran tersier terbesar akan terjadi pada sektor keuangan dan investasi.

Apakah sebagian penduduk Indonesia sudah memiliki rencana keuangan?

Survey McKinsey juga menunjukkan, sekitar 90% penduduk Indonesia belum memiliki rencana keuangan jangka panjang. Dari 10% yang memiliki rencana keuangan jangka panjang, bisnis sendiri atau sekitar 44% di antaranya menjadi sumber income dari rencana keuangan jangka panjang. Setelah itu disusul dari sumber income deposito 26%. Uang pensiun 11%, asuransi 3%, produk pasar modal 1% dan lainnya 15%. Jika melihat data tersebut, tentu bisa dilihat sebenarnya prospek industri investasi di Indonesia sangatlah besar, sayangnya belum digarap maksimal. Terlihat dari masih minimnya literasi atau pemahaman terhadap produk-produk pasar modal yang masihkecil.

Mengapa hal itu terjadi?

Salah satu penyebab utamanya adalah masih minimnya sosialisasi secara nasional yang terintegrasi. Kita bisa ambil contoh program gerakan Tabanas dan Taska. Dulu, sekitar tahun 1980- 1990-an, pemerintah kita gencar-gencarnya mempromosikan gerakan menabung. Buat mereka yang merasakan masa itu, tentu tak asing dengan istilah tabungan nasional.

Sebenarnya secara sporadis pelaku pasar terus melakukan aktivitas sosialisasi. Baik dilakukan sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Tetapi itu bukan gerakan nasional sehingga dampaknya kurang dirasakan. Apalagi pelaku pasar memiliki budget terbatas untuk aktivitas sosialisasi. Tidak mengherankan kalau pertumbuhan investor di pasar modal khususnya reksa dana tidak mengalami peningkatan yang terlalu signifikan.

Selain itu, sepertinya sudah waktunya bagi pemerintah untuk meningkatkan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan keuntungan berinvestasi. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia telah memasukkan hal itu sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas.

Adakah hal lainnya yang bisa menarik minat berinvestasi?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator terus berupaya meningkatkan jumlah investor. Salah satunya dengan memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan transaksi. Misalkan saja masyarakat dari Papua yang belajar reksa dana dari situs internet ingin menjadi investor. Artinya, mereka tidak perlu mendatangi perusahaan asset management ataupun bank untuk membeli produknya.

Cukup melalui online. Ada juga peraturan yang memperbolehkan penjualan reksa dana di perusahaan selain perbankan. Misalnya saja perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan multifinance, pegadaian, dan PT Pos Indonesia. Selama ini produk reksa dana hanya bisa dipasarkan melalui manajer investasi dan perbankan. Tidak kalah penting adalah fasilitas autodebet yang secara otomatis memotong gaji karyawan untuk kepentingan investasi tiap bulannya. Besarannya disesuaikan dengan persetujuan antara kedua belah pihak. Hal ini menarik kendati nilainya tidak terlalu besar, tetapi bisa menjamin rutinitas investasi di setiap bulannya.

Seperti Apa Strategi DIM dalam mengembangkan usaha?

Sebenarnya produk yang kami miliki sudah cukup lengkap. Sekarang tinggal bagaimana memperbesar apa yang sudah ada. Tapi kita tetap memperhatikan sisi pengelolaan dana investor agar semakin lebih baik. Kemudian dari sisi pemasarannya akan diperluas dan didalami lagi.

Kami juga merupakan perusahaan asset management yang berkomitmen menyasar investor ritel secara langsung. Ada beberapa strategi yang dilakukan untuk memperluas basis investor ritel, baik itu dengan memperbanyak jumlah bank distribusi, reksa dana online dan mobile. Selain itu juga meningkatkan serviced direct client sebagai tenaga penjual langsung ke nasabah. Kami coba mulai dengan segmen public figure dan menegah.

Apakah pelemahan IHSG berdampak pada reksa dana?

Pelemahan IHSG tentunya membawa imbas pada produk reksa dana, khususnya reksa dana saham. Tetapi DIM telah berpengalaman melalui siklus naik-turunnya pasar. Karena itu, kami menawarkan produk bagi investor di dalam menghadapi kondisi pasar yang kurang bersahabat. Di antaranya melalui produk Danareksa Mawar Rotasi Sektor Strategis (MARSS) dan Danareksa Mawar Konsumer 10.

Apa kelebihan produk tersebut?

MARSS memiliki keunikan tersendiri, yaitu fitur untuk berotasi di dalam pemilihan sektor bisnis. MARSS memiliki mekanisme yang mampu berotasi atau berpindah investasi pada sektorsektor yang memiliki prospek defensif atau yang lebih prospektif ke depannya.

Hermansah
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6127 seconds (0.1#10.140)