Eksekusi Mati Diusulkan Dibatasi 10 Tahun

Kamis, 07 Mei 2015 - 08:41 WIB
Eksekusi Mati Diusulkan...
Eksekusi Mati Diusulkan Dibatasi 10 Tahun
A A A
JAKARTA - Pemerintah menyatakan tetap mempertahankan dan tidak akan menghapus hukuman mati dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun pemerintah mengusulkan adanya pembatasan waktu (masa kedaluwarsa) hukuman mati yang telah diputuskan pengadilan. Dirjen Peraturan Perundang- undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Wicipto Setiadi mengatakan, vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada seorang terpidana bisa saja berubah menjadi seumur hidup apabila dalam waktu 10 tahun sejak grasinya ditolak eksekusi tidak juga dilakukan.

Syaratnya, terpidana mati telah mengajukan grasi dan ditolak presiden. ”Kalau grasinya ditolak kemudian belum dijalankan (dieksekusi) sampai 10 tahun berikutnya, makadengankeputusanpresiden bisa menyatakan dia (terpidana mati) menjadi seumur hidup,” ungkap Wicipto di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin. Bukan hanyaitu, dalamdrafrevisiKUHP pun ada aturan hukuman mati dengan percobaan 10 tahun.

Aturan itu memungkinkan hakim bisa memvonis terpidana dengan hukuman mati melalui masa percobaan 10 tahun. Apabila dalam masa percobaan 10 tahun seorang terpidana mati berkelakuan baik, bisa ditinjau kembali vonis hukuman matinya. ”Kalau berkelakuan baik bisa diubah jadi seumur hidup,” paparnya. Namun perubahan hukuman tersebut akan diputuskan melalui pengadilan.

Pada prinsipnya, lanjut Wicipto, pemerintah dalam revisi KUHP tetap mempertahankan hukuman mati, tetapi dilakukan secara selektif. Ini pun hanya dikenakan untuk kejahatan berat seperti bandar narkoba, pembunuhan berencana, dan pemerkosaan dengan pembunuhan. Dengan demikian, bisa diartikan bahwa hukuman mati sebagai rumusan alternatif tidak tunggal, tetapi masih ada hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun.

Wicipto mengakui, pengaturan waktu ini masih dalam bentuk draf usulan pemerintah. Tentu masih memerlukan diskusi dengan DPR. Wicipto mengatakan bahwa drafini sudah disusun melalui kajian yang cukup dalam. ”Sekarang lagi proses (paraf) di kejaksaan, nanti di Polri dan Menko Polhukam,” ujarnya.

Dalam draf revisi KUHP Pasal 67 dikatakan bahwa pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Jauh sebelumnya dalam putusan MK nomor 2/PUU-V/2007 dan nomor 3/PUU-V/2007 ditetapkan bahwa pidana mati bukan lagi pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyatakan, usulan pemerintah yang menyatakan bahwa hukuman mati merupakan pidana alternatif sudah sesuai dengan putusan MK. Menurut Arief, dalam putusan MK memang salah satu poin yang dipertimbangkan adalah mengenai masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati.

”Apabila terpidana berkelakuan baik, maka dapat diubah pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun, itu putusan MK,” ujarnya. Bukan hanya itu, hukuman mati pun tidak dijatuhkan untuk anak-anak serta perempuan hamil dan seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi menilai usulan dapat diubahnya hukuman mati menjadi seumur hidup apabila selama 10 tahun eksekusi tidak juga dilakukan sejak grasi terpidana mati ditolak bisa menimbulkan sisi baik dan buruk.

Baiknya, kebijakan ini memberikan kepastian hukum bagi terpidana mati atas proses eksekusi. ”Dalam segi kepastian hukum boleh saja, jadi jangan orang terlalu lama menunggu. Kita perlu apresiasi ini,” ungkap Akhiar saat dihubungi KORAN SINDO tadi malam. Namun perlu juga dipikirkan pemerintah agar ketentuan ini tidak disalahgunakan presiden demi kepentingan politiknya. Sebab presiden bisa saja menolak grasi seorang terpidana mati, tapi dalam implementasinya eksekusi sengaja tidak dilakukan.

”Jadi sebenarnya ingin mengabulkan, tapi khawatir citra dan hujatan publik lalu ditolak. Kemudian didiamkan saja nanti juga gugur hukuman matinya. Itu juga perlu dipikirkan,” ujarnya. Dia pun mempertanyakan alasan pemerintah yang memberikan jangka waktu selama 10 tahun.

”Kenapa tidak 5 atau 15 tahun? Itu yang harus diketahui juga alasannya,” sebutnya. Bukan hanya itu, dia juga memandang perlu adanya batasan waktu pengajuan grasi. Langkah ini dilakukan agar upaya mengulur- ngulur waktu eksekusi tidak terjadi. ”Perlu dibuat agar imbang. Sebab bisa saja terpidana mengulur waktu pengajuan grasi,” tandasnya.

Nurul adriyana
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7346 seconds (0.1#10.140)