Regenerasi Parpol Tunggu 5 Tahun Lagi
A
A
A
JAKARTA - Kepemimpinan partai politik (parpol) di tingkat nasional pascareformasi hingga kini belum berubah signifikan. Harapan untuk mewujudkan regenerasi belum juga terlihat. Sebaliknya tokohtokoh lama tetap menjadi figur sentral.
”Mandeknya regenerasi kepemimpinan partai di tingkat nasional menjadi penyakit akut parpol, padahal di daerah regenerasi mulai terjadi,” kata analis politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes di Jakarta kemarin. Menurut Arya, dalam satu pemilu ke depan harusnya tokoh- tokoh muda mulai mengambil peran.
Untuk bisa melihat parpol berubah wajah dengan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada kader muda, dibutuhkan waktu minimal lima tahun lagi. ”Harus menunggu satu periode pemilu lagi, itu pun jika para pimpinan pusat partai menyadari pentingnya ruang regenerasi,” ujarnya. Arya menjelaskan, mandeknya regenerasi kepemimpinan di parpol antara lain karena tertutupnya ruang kompetisi. Padahal untuk mengukur sejauh mana demokratisasi sebuah partai berjalan bisa dilihat sejauh mana partai tersebut membuka ruang kompetisi.
”Tapi nyatanya di beberapa partai tidak ada kompetisi yang terbuka yang memberikan peluang bagi generasi muda untuk terlibat kontestasi,” ucapnya. Di sisi lain, faktor pendiri partai yang menjadikan tokoh tertentu sebagai figur utama di partainya juga merupakan persoalan. Menurut Arya, fakta bahwa pendiri partai menjadikan partai semacam saham politik sangat kasatmata dalam perpolitikan Indonesia. ”Sehingga semua kebijakan bersumber padanya, proses pengambilan keputusan menjadi sangat sentralistis,” urainya. Seperti diketahui, kembali munculnya tokoh sentral parpol sebagai ketua umum menjadi tren hampir di semua parpol di Indonesia.
Fakta terbaru adalah terpilihnya Yusril Ihza Mahendra sebagai ketua umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB). Hal yang sama juga diperkirakan terjadi di Partai Demokrat yang akan menggelar Kongres III pada 11-13 Mei di Surabaya. Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dipastikan kembali memimpin Demokrat untuk periode 2015-2020.
Sebelumnya, fenomena serupa juga tampak ketika Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri kembali ditetapkan sebagai ketua umum awal April lalu, kemudian Prabowo Subianto sebagai ketua umum DPP Partai Gerindra, Wiranto sebagai ketua umum Partai Hanura, dan Surya Paloh sebagai ketua umum Partai NasDem. Di Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan yang terpilih sebagai ketua umum pada awal Maret lalu juga merupakan tokoh lama, yakni menjabat sebagai sekretaris jenderal PAN di era kepemimpinan Soetrisno Bachir.
Di sisi lain, kondisi internal PAN masih dipengaruhi oleh Amien Rais yang merupakan pendiri partai. Tidak jauh berbeda, kondisi di Partai Golkar juga masih didominasi tokoh lama. Bahkan dua ketua umum sekarang pada kepengurusan sebelumnya merupakan pengendali partai, yakni Aburizal Bakrie (ARB) sebagai ketua umum dan Agung Laksono sebagai wakil ketua umum. Partai Golkar saat ini masih terbelah ke dalam dua kubu, yakni Munas Bali pimpinan ARB dan Munas Ancol pimpinan Agung.
Di beberapa parpol, nama kader potensial yang dinilai layak meneruskan kepemimpinan sudah muncul. Di PDIP, beberapa kader disebut-sebut berpeluang menggantikan Megawati, di antaranya Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, dan Hasto Kristiyanto. Di Partai Gerindra, salah satu kader yang dinilai layak yakni Fadli Zon. Di PAN, muncul nama Bima Arya Sugiarto, Viva Yoga Mauladi, dan Hanafi Rais. Adapun di Partai Golkar antara lain, Ade Komarudin, Priyo Budi Santoso, dan Tommy Soeharto.
Wakil Sekjen DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan, regenerasi kepemimpinan politik jangan dipahami hanya pada proses pergantian kepemimpinan di posisi ketua umum saja, tetapi harus dilihat secara komprehensif. ”Regenerasi juga harus dilihat dalam dimensi faktual dengan kemunculan kader-kader baru dalam berbagai tugas politik,” katanya. Dia mencontohkan di PDIP, penugasan-penugasan kader dilakukan dalam dimensi tiga pilar partai, yaitu kader partai yang bertugas di jabatan struktural partai, di legislatif, dan di eksekutif. Di PDIP, kata dia, regenerasi telah diwarnai dengan munculnya kader-kader baru dalam pentas politik nasional dan daerah.
”Contoh paling aktual di PDIP adalah ketika Ketua Umum PDIP tidak mencalonkan dirinya sebagai capres dan menugasi kadernya Joko Widodo yang sekarang berhasil terpilih menjadi presiden,” paparnya. Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan mengungkapkan, di partainya tidak ada sama sekali hambatan regenerasi. Apa yang terjadi sekarang ini merupakan proses politik normal yang itu semua mengalir dari aspirasikaderdilevelbawah.
Syarief menyebut SBY sangat berkomitmen dalam menjalankan regenerasi. Majunya SBY pada kongres di Surabaya semata karena ada dorongan kuat dari DPD dan DPC. ”Regenerasi itu kan tidak bisa langsung memotong satu generasi, harus ada pengantar, berlangsung secara gradual, tidak bisa langsung yang senior hilang. Proses mengantar itu ada,” ujarnya.
Rahmat sahid/ bakti munir
”Mandeknya regenerasi kepemimpinan partai di tingkat nasional menjadi penyakit akut parpol, padahal di daerah regenerasi mulai terjadi,” kata analis politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes di Jakarta kemarin. Menurut Arya, dalam satu pemilu ke depan harusnya tokoh- tokoh muda mulai mengambil peran.
Untuk bisa melihat parpol berubah wajah dengan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada kader muda, dibutuhkan waktu minimal lima tahun lagi. ”Harus menunggu satu periode pemilu lagi, itu pun jika para pimpinan pusat partai menyadari pentingnya ruang regenerasi,” ujarnya. Arya menjelaskan, mandeknya regenerasi kepemimpinan di parpol antara lain karena tertutupnya ruang kompetisi. Padahal untuk mengukur sejauh mana demokratisasi sebuah partai berjalan bisa dilihat sejauh mana partai tersebut membuka ruang kompetisi.
”Tapi nyatanya di beberapa partai tidak ada kompetisi yang terbuka yang memberikan peluang bagi generasi muda untuk terlibat kontestasi,” ucapnya. Di sisi lain, faktor pendiri partai yang menjadikan tokoh tertentu sebagai figur utama di partainya juga merupakan persoalan. Menurut Arya, fakta bahwa pendiri partai menjadikan partai semacam saham politik sangat kasatmata dalam perpolitikan Indonesia. ”Sehingga semua kebijakan bersumber padanya, proses pengambilan keputusan menjadi sangat sentralistis,” urainya. Seperti diketahui, kembali munculnya tokoh sentral parpol sebagai ketua umum menjadi tren hampir di semua parpol di Indonesia.
Fakta terbaru adalah terpilihnya Yusril Ihza Mahendra sebagai ketua umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB). Hal yang sama juga diperkirakan terjadi di Partai Demokrat yang akan menggelar Kongres III pada 11-13 Mei di Surabaya. Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dipastikan kembali memimpin Demokrat untuk periode 2015-2020.
Sebelumnya, fenomena serupa juga tampak ketika Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri kembali ditetapkan sebagai ketua umum awal April lalu, kemudian Prabowo Subianto sebagai ketua umum DPP Partai Gerindra, Wiranto sebagai ketua umum Partai Hanura, dan Surya Paloh sebagai ketua umum Partai NasDem. Di Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan yang terpilih sebagai ketua umum pada awal Maret lalu juga merupakan tokoh lama, yakni menjabat sebagai sekretaris jenderal PAN di era kepemimpinan Soetrisno Bachir.
Di sisi lain, kondisi internal PAN masih dipengaruhi oleh Amien Rais yang merupakan pendiri partai. Tidak jauh berbeda, kondisi di Partai Golkar juga masih didominasi tokoh lama. Bahkan dua ketua umum sekarang pada kepengurusan sebelumnya merupakan pengendali partai, yakni Aburizal Bakrie (ARB) sebagai ketua umum dan Agung Laksono sebagai wakil ketua umum. Partai Golkar saat ini masih terbelah ke dalam dua kubu, yakni Munas Bali pimpinan ARB dan Munas Ancol pimpinan Agung.
Di beberapa parpol, nama kader potensial yang dinilai layak meneruskan kepemimpinan sudah muncul. Di PDIP, beberapa kader disebut-sebut berpeluang menggantikan Megawati, di antaranya Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, dan Hasto Kristiyanto. Di Partai Gerindra, salah satu kader yang dinilai layak yakni Fadli Zon. Di PAN, muncul nama Bima Arya Sugiarto, Viva Yoga Mauladi, dan Hanafi Rais. Adapun di Partai Golkar antara lain, Ade Komarudin, Priyo Budi Santoso, dan Tommy Soeharto.
Wakil Sekjen DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan, regenerasi kepemimpinan politik jangan dipahami hanya pada proses pergantian kepemimpinan di posisi ketua umum saja, tetapi harus dilihat secara komprehensif. ”Regenerasi juga harus dilihat dalam dimensi faktual dengan kemunculan kader-kader baru dalam berbagai tugas politik,” katanya. Dia mencontohkan di PDIP, penugasan-penugasan kader dilakukan dalam dimensi tiga pilar partai, yaitu kader partai yang bertugas di jabatan struktural partai, di legislatif, dan di eksekutif. Di PDIP, kata dia, regenerasi telah diwarnai dengan munculnya kader-kader baru dalam pentas politik nasional dan daerah.
”Contoh paling aktual di PDIP adalah ketika Ketua Umum PDIP tidak mencalonkan dirinya sebagai capres dan menugasi kadernya Joko Widodo yang sekarang berhasil terpilih menjadi presiden,” paparnya. Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan mengungkapkan, di partainya tidak ada sama sekali hambatan regenerasi. Apa yang terjadi sekarang ini merupakan proses politik normal yang itu semua mengalir dari aspirasikaderdilevelbawah.
Syarief menyebut SBY sangat berkomitmen dalam menjalankan regenerasi. Majunya SBY pada kongres di Surabaya semata karena ada dorongan kuat dari DPD dan DPC. ”Regenerasi itu kan tidak bisa langsung memotong satu generasi, harus ada pengantar, berlangsung secara gradual, tidak bisa langsung yang senior hilang. Proses mengantar itu ada,” ujarnya.
Rahmat sahid/ bakti munir
(ars)