Saksi Ahli Kubu Agung: Putusan Mahkamah Partai Harus Jelas
A
A
A
JAKARTA - Sidang lanjutan gugatan atas SK Menkumham di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mendengarkan keterangan ahli. Sesi pertama PTUN menghadirkan ahli dari kubu tergugat Menkuhmam Yasonna Laoly yakni mantan Hakim Mahkamah Kontitusi (MK) Maruarar Siahaan.
Maruarar berpendapat, Mahkamah Partai yang diberi kewenangan buat mengadili dan memutus sengketa partai harus memiliki keputusan jelas. Hal itu berdasar pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Menurutnya, ada tiga putusan (amar) yang jelas buat hakim Mahkamah Partai mengambil keputusan yakni menerima, menolak atau mengabulkan. Namun jika terdapat perbedaan putusan, maka harus dikembalikan pada fungsi putusan.
"Tidak ada sama sekali putusan hakim yang boleh menyatakan abstain," kata Maruarar dalam Sidang PTUN, Jakarta Timur, Senin (27/4/2015).
Dia menegaskan, putusan Mahkamah Partai dinilai sebagai putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, kata dia, meski bunyi putusan di awal paragraf tidak menegaskan secara jelas yang berdampak pada perbedaan tafsir, namun Menkumham bisa memutuskan berdasarkan bunyi amar terakhir.
"Kalau menganggap ada dissenting, maka harus dianggap ada putusannya, pendapat itu harus beda dari yang lain baik itu menerima atau menolak," ujarnya.
Dalam keterangannya, Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini juga berpendapat, Mahkamah Partai memiliki kompetensi absolut buat memutuskan dalam sengketa partai politik. Bahkan, tidak ada peradilan lain buat menilai keputusan tersebut.
"Kecuali ada forum tersendiri untuk menyelesaikan itu," tandasnya.
Mahkamah Partai Golkar telah mengeluarkan putusan terkait sengketa kepengurusan Golkar kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono beberapa waktu lalu. Namun, dalam putusannya empat hakim berbeda pendapat dalam memberikan putusan.
Tapi, Menkumham Yasonna Laoly menafsirkan hasil putusan Mahkamah Partai Golkar memenangkan Partai Golkar kepengurusan Agung Laksono. Tak terima, kubu Aburizal Bakrie (Ical) lantas menggugat SK Menkumham tersebut ke PTUN.
Maruarar berpendapat, Mahkamah Partai yang diberi kewenangan buat mengadili dan memutus sengketa partai harus memiliki keputusan jelas. Hal itu berdasar pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Menurutnya, ada tiga putusan (amar) yang jelas buat hakim Mahkamah Partai mengambil keputusan yakni menerima, menolak atau mengabulkan. Namun jika terdapat perbedaan putusan, maka harus dikembalikan pada fungsi putusan.
"Tidak ada sama sekali putusan hakim yang boleh menyatakan abstain," kata Maruarar dalam Sidang PTUN, Jakarta Timur, Senin (27/4/2015).
Dia menegaskan, putusan Mahkamah Partai dinilai sebagai putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, kata dia, meski bunyi putusan di awal paragraf tidak menegaskan secara jelas yang berdampak pada perbedaan tafsir, namun Menkumham bisa memutuskan berdasarkan bunyi amar terakhir.
"Kalau menganggap ada dissenting, maka harus dianggap ada putusannya, pendapat itu harus beda dari yang lain baik itu menerima atau menolak," ujarnya.
Dalam keterangannya, Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini juga berpendapat, Mahkamah Partai memiliki kompetensi absolut buat memutuskan dalam sengketa partai politik. Bahkan, tidak ada peradilan lain buat menilai keputusan tersebut.
"Kecuali ada forum tersendiri untuk menyelesaikan itu," tandasnya.
Mahkamah Partai Golkar telah mengeluarkan putusan terkait sengketa kepengurusan Golkar kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono beberapa waktu lalu. Namun, dalam putusannya empat hakim berbeda pendapat dalam memberikan putusan.
Tapi, Menkumham Yasonna Laoly menafsirkan hasil putusan Mahkamah Partai Golkar memenangkan Partai Golkar kepengurusan Agung Laksono. Tak terima, kubu Aburizal Bakrie (Ical) lantas menggugat SK Menkumham tersebut ke PTUN.
(kri)