Melirik Industri Wisata Syariah

Senin, 27 April 2015 - 09:36 WIB
Melirik Industri Wisata Syariah
Melirik Industri Wisata Syariah
A A A
Ekonomi syariah tidak selalu soal perbankan ataupun pasar modal. Sejatinya ekonomi syariah haruslah yang bersentuhan dengan sektor riil, salah satunya industri wisata syariah. Sayangnya, industri ini belum banyak dilirik oleh berbagai pihak.

Besarnya potensi industri wisata syariah untuk dikembangkan membuat Kementerian Pariwisata mulai melirik sektor ini.

Potensi devisa yang bisa dihasilkan negara juga cukup besar. Perlunya pengembangan wisata syariah didasarkan pada Indonesia yang merupakan muslim terbesar di dunia dan banyak objek wisata alam bernuansa syariah seperti situs-situs peninggalan kerajaan Islam dan pusat pesantren Islam. Data Kementerian Pariwisata menyebutkan, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia selama 2014 sekitar 9,6 juta wisman.

Dari jumlah tersebut, sekitar 20-30% merupakan wisatawan muslim. Mereka berasal dari negara berpenduduk muslim dunia seperti Arab Saudi, Bahrain, negara Timur Tengah lainnya, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sejumlah kota dan provinsi sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata syariah di antaranya Nangro Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat (Sumbar), Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan DKI Jakarta.

Daerah tersebut didorong menjadi destinasi utama industri wisata syariah. Tetapi, hingga kini industri tersebut belum menggaung sebagaimana yang diharapkan. Indonesia bahkan bisa dikatakan kalah cepat dibanding negara lain yang sudah lebih dulu menggarap industri wisata syariah. Padahal, negara luar itu jumlah penduduk muslimnya jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Sebut saja Thailand, Jepang, China, Korea Selatan, Filipina, dan sejumlah negara di Eropa dan Amerika.

Pakar pariwisata Indonesia Sapta Nirwandar mengungkapkan, data yang didapatkan dari Forum Global Islam, muslim di dunia jumlahnya mencapai sekitar 1,6 miliar jiwa atau 25% dari keseluruhan penduduk dunia. Potensi ini menjadikan makanan halal, kosmetik, dan travel yang berbasis syariah memiliki peluang besar untuk berkembang. Menurut dia, negara seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Prancis, Amerika, dan Jerman sudah sejak lama mengembangkan industri muslim friendly destination dan halal travel.

Mereka mengalami pertumbuhan wisata syariah cukup pesat. ”Ini menunjukkan industri wisata syariah itu sudah mengglobal. Sayangnya, Indonesia belum mendapatkan hasil apa-apa dari industri wisata syariah. Ini yang harus digenjot,” ungkap mantan wakil menteri pariwisata dan ekonomi kreatif itu. Kegelisahan Sapta Nirwandar itu tidak dapat dipungkiri.

Buktinya, hingga kini Kementerian Pariwisata belum bisa melakukan promosi terlalu besar karena kesiapan sarana dan prasarana wisata syariah belum terlihat secara konkret. Hingga kini Kementerian Pariwisata terus melakukan audit (inventarisasi) destinasi wisata tersebut.

Direktur Promosi Konvensi, Insentif, Event, dan Minat Khusus, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rizky Handayani mengungkapkan, angka pertumbuhan kunjungan wisman diperkirakan akan tumbuh lebih besar lagi jika konsep wisata syariah lebih dikemas lagi lebih menarik.

Hingga kini konsep wisata syariah di Indonesia masih dalam tahap audit, mulai destinasi, produk, restoran yang diberikan sertifikasi halal, kesiapan sarana dan prasarana, serta unsur pendukung lain. Sejalan dengan itu, beberapa daerah terus didorong untuk menyiapkan wilayahnya sebagai tujuan kunjungan wisata muslim. Dia mengungkapkan, penunjukan daerah tersebut karena masyarakat dan budayanya sangat kental dengan muslim.

Seperti Aceh dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah. Hingga kini daerah yang sudah menyatakan siap untuk itu baru NTB, NAD, dan Jawa Barat. Di samping masih dalam tahap inventarisasi, lanjut dia, konsep wisata syariah juga belum rampung dikemas pemerintah. Apakah menggunakan nama halal tourism , muslim tourism , atau halal travel. ”Konsep itu yang masih kita kaji,” katanya.

Rizky berharap pemerintah daerah juga mau bekerja sama dengan menyiapkan infrastruktur pendukung untuk menggenjot industri wisata syariah. Sedangkan bentuk kesiapan pelaku usaha seperti menyediakan tour guide, mengerti tentang khasanah Islam, dan menjelaskan tentang objek wisata yang dikunjungi. Selama kegiatan wisata itu tour guide bahkan selalu menyapa dengan salam dan setiap perjalanan memastikan selalu disertai dengan kegiatan salat berjamaah. ”Tour guide ini sedang diberikan pelatihan di salah satu pondok pesantren di Jombang,” ungkapnya.

Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri Tazbir menambahkan, leading sector dari wisata syariah ini pemerintah daerah. Wisman itu akan mengunjungi daerah-daerah yang telah menjadi paket perjalanan wisata. Pemerintah daerah itu menyiapkan restoran besertifikasi halal, tempat relaksasi yang sesuai aturan syariah, hotel, dan sebagainya.

”Pemerintah pusat itu hanya menyiapkan regulasi. Kalau pemerintah daerah yang mengembangkan industri ini, terkendala dalam sebuah aturan,” sebutnya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawai Bahar menyebutkan, Asita sangat mendukung konsep wisata syariah, tetapi promosi wisata yang berkaitan dengan wisata syariah belum begitu segencar wisata umum. Komponen yang mendukung industri ini belum siap secara keseluruhan.

”Saat ini yang baru menyatakan kesiapannya baru di komponen perhotelan. Sedangkan restoran dan sebagainya belum ada,” ungkapnya. Asita dan bersama anggota selalu promotor atas pariwisata di Indonesia terus berusaha mempromosikan pariwisata Indonesia dan menawarkan sejumlah paket pariwisata. Khusus wisata syariah belum dapat dipasarkan secara global karena kendala dari kesiapan komponen ini.

”Masalah itu harus dipecahkan bersama. Tidak bisa dibebankan kepada satu pihak semata,” tuturnya.

Ilham safutra
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5609 seconds (0.1#10.140)