Menjaring Wisatawan dengan Wisata Syariah

Senin, 27 April 2015 - 09:35 WIB
Menjaring Wisatawan dengan Wisata Syariah
Menjaring Wisatawan dengan Wisata Syariah
A A A
Banyaknya tempat bersejarah bernuansa Islam di Indonesia sangat potensial untuk dijadikan tempat wisata syariah. Melihat potensi ini, tak aneh jika pada tahun 2019 ditargetkan jumlah wisatawan muslim mencapai 20 juta orang.

Meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak dan situs bersejarah Islam juga tidak sedikit, namun dari segi kunjungan wisatawan muslim, Indonesia masih jauh tertinggal dari negara- negara ASEAN seperti Malaysia.

Berdasarkan rangking tingkat di ASEAN, ratarata jumlah kunjungan wisatawan muslim baru 1,7 wisatawan mancanegara (wisman). Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Syariah Indonesia (AHSIN) Riyanto Sofyan mengaku tidak terlalu khawatir dengan kondisi tersebut.

Menurut dia, pariwisata syariah Indonesia ini hanya butuh sedikit polesan lagi untuk bisa melewati Malayasia atau negara lainnnya. Bagaimana strategi agar wisata syariah di Indonesia bisa berkembang? Berikut petikan wawacara KORAN SINDO dengan pria yang juga menjabat sebagai chairmanPT Sofyan Hotel Tbk ini.

Bagaimana pandangan Anda mengenai wisata syariah saat ini?

Perlu ditekankan bahwa wisata syariah itu bukan wisata ziarah. Wisata syariah itu lebih pada wisata konservatif yang memenuhi kebutuhan wisatawannya yang merupakan kalangan muslim. Kebutuhan itu mulai dari produk makanan dan minuman harus halal, aksesabilitas dalam melaksanakan ibadah sangat diperhatikan. Para wisatawan mendapatkan jaminan melaksanakan ibadah salat dengan baik.

Apakah itu dijamak atau tidak. Salah satunya mendapatkan akses kemudahan untuk bersuci dengan air, lingkungan, dan masyarakat di tujuan wisatanya memberikan kenyamanan pengunjung dan tidak mengganggu kaidah keislaman. Perlu diingat bahwa wisata syariah ini bukan berarti wisata nonmuslim tidak boleh mengikutinya. Boleh saja, tetapi di lokasi wisata syariah tidak akan dijumpai minuman beralkohol dan hiburan malam dan sebagainya. Sajian makanannya ramah dan dapat dikonsumsi semua kalangan.

Apakah konsep syariah di Indonesia demikian?

Di Indonesia belum jelas branding dan nomenklatur tentang wisata syariah ini. Apakah menggunakan nama syariah travel, halal travel, muslim friendly destination atau sebagainya. Semua itu masih dalam tahap diskusi pembahasan antara Kementerian Pariwisata dan pelaku pariwisata. Meski branding itu belum final, bukan berarti usaha untuk industri ini belum dapat dijalankan. Kita berharap semua pelaku usaha sudah mulai menerapkan sembari mempersiapkan semua komponen dari wisata syariah itu sendiri.

Bagaimana mengembangkan wisata syariah Indonesia?

Sebetulnya Indonesia kaya dengan semua unsur apa yang dibutuhkan dalam aspek wisata syariah karena negara kita ini negara yang memiliki warga muslim terbesar di dunia. Sayangnya, dengan warga beragama Islam sangat besar itu, banyak kebutuhan muslim tidak terperhatikan dengan baik.

Pemerintah, penyedia lokasi, dan produk pariwisata mengabaikan ketersediaan aspek tersebut. Sebagai contoh di Bandara Soekarno- Hatta saja sulit menjangkau musala, letaknya sangat jauh. Ukuran musalasangat kecil dan membuat sanitasi tidak terjamin karena sirkulasi udara tidak baik sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Berbeda dengan Thailand, negara yang memiliki muslim minoritas, tapi sangat toleran dengan wisman muslim. Di Bandara Swarna Bumi itu terdapat dua musala besar di dalam dan di luar. Musala itu bahkan dapat dikatakan sebagai masjid.

Di sini menunjukkan Indonesia belum ramah dengan kebutuhan umat muslim. Begitu juga di hotel dan mal atau pusat belanja. Di sana toiletnya relatif disediakan urine yang tidak ramah air. Air baru keluar di urine itu kalau orangnya sudah meninggalkan tempat. Padahal dalam orang muslim, bersuci itu sangat penting. Terutama kebutuhan air.

Terhadap ketersediaan makanan dan minuman halal di Indonesia bagaimana?

Pada industri wisata syariah keterjaminan makanan halal itu hal penting yang tidak dapat ditinggalkan. Di Indonesia relatif restoran dan kafe menyediakan makanan dan minuman halal. Tetapi, halal itu baru pada tataran self claim, belum besertifikat.

Untuk memastikan makanan dan minuman itu halal, harus diteliti oleh lembaga terkait dan berwenang seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Kementerian Pariwisata, Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Pihak berwenang itu melihat cara pengolahan dari makanan yang disajikan, mulai dari tahap pengolahannya. Contoh untuk penggunaan air putih. Secara kasatmata air putih halal. Kalau air minum yang dikonsumsi itu adalah air minum dalam kemasan (AMDK), perlu dilihat cara pengolahannya. Umumnya AMDK itu melewati proses penyaringan yang membutuhkan karbonat. Karbonat itu berasal dari bahan tulang.

Tulang yang paling murah itu dari tulang babi. Kalau penyaringan itu menggunakan bahan tulang babi, air tersebut menjadi haram. Itu siapa yang tahu? Untuk memastikan itu harus diperiksa melalui lembaga sertifikasi supaya memastikan semua makanan dan minuman itu halal.

Kementerian Pariwisata telah menetapkan 13 daerah destinasi, bagaimana Anda melihat kesiapan sejumlah daerah tersebut dan produknya?

Dari 13 daerah destinasi itu akan dibagi dengan tiga pintu masuk utama yakni Jakarta, Bali, dan Batam. Wisman dapat menjangkau daerah sekitar yang menjadi destinasi wisata syariah. Melalui Jakarta, wisman dapat juga mengakses destinasi di Jawa Barat, Banten, dan Lampung. Bali mengakses Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di Batam lebih diarahkan ke Sumatera Barat. Tetapi, dilihat secara keseluruhan, daerah yang baru komit dan benar-benar menyatakan siap baru Jakarta, Jawa Barat, NTB, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Semua daerah ini dilihat telah siap secara infrastruktur, SDM, produk, dan aksesibilitas. Sedangkan daerah lainnya akan dijadikan pilihan kedua sembari menunggu progres kesiapan dari pemerintah daerah dan pelaku wisata setempat.

Bagaimana sikap dari pelaku usaha pariwisata dalam mendukung wisata syariah?

Saat ini semangat dari pelaku usaha untuk mendukung dan menyiapkan wisata syariah itu sudah tinggi. Tinggal menunggu polesan dan sertifikasi dari lembaga terkait. Sebagai contoh, Tomy Soeharto, membangun hotel keluarga yang mendukung wisata syariah di Solo sebanyak 500 kamar. Ada juga beberapa pengusaha perhotelan di Yogyakarta pun sudah menyiapkan hotelhotel keluarga. Semua itu tinggal dipoles lagi menjadi hotel syariah.

Bagaimana dengan fakta dan data wisata syariah Indonesia saat ini?

Fakta yang ada saat ini hotel syariah besertifikat baru 37 hotel. Sebanyak 150 hotel menuju operasional syariah. Begitu juga dengan restoran, dari 2.916 restoran, baru 303 yang besertifikat halal. Sebanyak 1.800 mempersiapkan diri sebagai restoran halal. Sedangkan tempat relaksasi, SPA kini baru berjumlah tiga unit. Sebanyak 29 sedang proses untuk mendapatkan sertifikat halal. Berdasarkan Global Muslim Travel Index, pada 2013 tingkat kunjungan wisman muslim Indonesia berada di ranking keempat di tingkat ASEAN dengan jumlah kunjungan wisatawan muslim 1,7 juta.

Masih kalah dengan Malaysia yang sudah mendapatkan kunjungan wisatawan muslim 6,1 juta wisman, Thailand 4,4 juta wisman, Singapura 3,9 juta wisman. Sedangkan dilihat dari skor tingkat dunia, Indonesia berada di urutan keenam dengan skor 67,5. Di posisi teratas tetap Malaysia, skornya 83,8.

Dari data tersebut, kapan menurut anda Indonesia menjadi primadona destinasi wisata syariah?

Pada 2015 ditargetkan 2,1 juta wisman muslim dan pada 2019 ditargetkan jumlah kunjungan wisman muslim mencapai 20 juta wisman muslim. Semua itu tercapai dengan catatan semua stakehholder komitmen membangun menyiapkan infrastruktur, ketersediaan produk berlabel halal, dan SDM yang mendukung wisata syariah.

Ilham safutra
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4919 seconds (0.1#10.140)