Cara Pemerintah Tuntaskan Kasus HAM Masa Lalu
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah berusaha untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada masa lalu.
Namun untuk menyelesaikannya kasus HAM masa lalu dibutuhkan sebuah aturan perundang-undangan.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, modal pemerintah buat menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat mendasarkan pada Pasal 47 Undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
"Bahwa untuk perkara-perkara yang terjadi sebelum terbitnya undang-undang itu dimungkinkan untuk ditangani oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (21/4/2015).
Persoalannya, kata Prasetyo, undang-undang itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dibatalkan Mahkamamah Kontitusi (MK) tahun 2006.
Dia mengatakan, pemerintah menawarkan peta jalan melalui rekonsiliasi. Menurut dia, hal tersebut agar proses penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan bisa dilakukan.
Namun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dinilai harus terlebih dahulu melawati Pengadilan HAM ad hoc.
"Pengadilan HAM ad hoc itu sendiri pembentukannya adalah didahului dengan adanya keputusan politik dari DPR bahwa perkara ini adalah pelanggaran HAM berat," ungkapnya.
Setelah itu, kata dia, DPR mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. "Setelah itu Presiden baru melakukan keputusan," katanya.
Prasetyo mengatakan, tanpa pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan rencana rekonsiliasi, pemerintah kesulitan menuntaskan kasus-kasus HAM berat.
"Semua perkara harus berakhir dan jangan meninggalkan beban masa lalu. Upaya yang kita tawarkan adalah upaya rekonsiliasi," tuturnya.
Namun untuk menyelesaikannya kasus HAM masa lalu dibutuhkan sebuah aturan perundang-undangan.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, modal pemerintah buat menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat mendasarkan pada Pasal 47 Undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
"Bahwa untuk perkara-perkara yang terjadi sebelum terbitnya undang-undang itu dimungkinkan untuk ditangani oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (21/4/2015).
Persoalannya, kata Prasetyo, undang-undang itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dibatalkan Mahkamamah Kontitusi (MK) tahun 2006.
Dia mengatakan, pemerintah menawarkan peta jalan melalui rekonsiliasi. Menurut dia, hal tersebut agar proses penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan bisa dilakukan.
Namun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dinilai harus terlebih dahulu melawati Pengadilan HAM ad hoc.
"Pengadilan HAM ad hoc itu sendiri pembentukannya adalah didahului dengan adanya keputusan politik dari DPR bahwa perkara ini adalah pelanggaran HAM berat," ungkapnya.
Setelah itu, kata dia, DPR mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. "Setelah itu Presiden baru melakukan keputusan," katanya.
Prasetyo mengatakan, tanpa pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan rencana rekonsiliasi, pemerintah kesulitan menuntaskan kasus-kasus HAM berat.
"Semua perkara harus berakhir dan jangan meninggalkan beban masa lalu. Upaya yang kita tawarkan adalah upaya rekonsiliasi," tuturnya.
(dam)