Konsumen Cerdas Dorong Produk Berkualitas
A
A
A
JAKARTA - Perilaku kritis dan cerdas serta kebiasaan mengadu (complain habit) dari konsumen akan mendorong produsen di dalam negeri meningkatkan kualitas produknya.
Bilamana produk dalam negeri makin berkualitas tentunya akan lebih banyak konsumen Indonesia yang memilih produk dalam negeri ketimbang produk impor. Sayangnya, kondisi ideal ini belum sepenuhnya tercipta di Indonesia.
Profesor di bidang Consumer Behavior dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Ujang Sumarwan mengatakan, tingkat nasionalisme orang Indonesia dalam hal konsumsi relatif lebih rendah dibanding negara lainnya. Salah satu penyebab adalah sikap konsumen yang kurang kritis terhadap produk dalam negeri.
”Akibatnya produsen-produsen di dalam negeri seringkali mengabaikan kualitas, dan tuntutan konsumen tidak direspon dengan baik. Imbasnya konsumen lebih memilih produk luar yang dianggap lebih baik,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDOdi Jakarta, kemarin.
Kondisi ini berbeda dengan di Jepang dan Korea Selatan, dimana masyarakatnya dikenal sangat loyal dengan produk dalamnegerinya. MenurutUjang, konsumen di Jepang sangat kritis terhadap produk sehingga sangat menuntut. Akibatnya, produsen atau industri Jepang senantiasa berupaya memenuhi standar yang diminta konsumen. ”Karena mereka bisa memenuhi standar konsumen akhirnya terbiasa membuat produk dengan kualitas baik,” tukasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan LembagaKonsumenIndonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, kebiasaan mengadu merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Menurutnya, budaya mengadu dari konsumen Indonesia masih sangat rendah.
”Penyebabnya maam-macam. Misalnya sikap pasrah atau nrimo, terbatasnya akses untuk mengadu, dan ketidakyakinan dari si konsumen sendiri bahwa dia akan mendapat perlindungan jika dia mengadu,” tuturnya.
YLKI mencatat pengaduan konsumen pada 2014 hanya 1192 pengaduan. Angka ini jauh dibandingkan Malaysia dan Hongkong yang sebanyak 31.000 pengaduan konsumen. Bahkan, di India terdapat National Consumer Helpline yang dalam setahun bisa menampung 70.000 pengaduan.
”Pengaduan tertinggi datangnya dari konsumen sektor perbankan, perumahan, komunikasi, transportasi dan produk elektronik,” sebutnya. Sudaryatmo menambahkan, pihak produsen atau pelaku usaha juga semestinya tidak alergi terhadap budaya mengadu dari konsumen.
Menurutnya, pengaduan konsumen justru dibutuhkan untuk perbaikan produk atau mutu layanan. ”Sayangnya belum banyak pelaku usaha di Indonesia yang memberi apresiasi kepada konsumen yang mengadu,” tukasnya.
Terkait Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2015, untuk pertama kalinya pemerintah akan meluncurkan hasil survey Indeks Keberdayaan Konsumen( IKK) yaitu indeks untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumenakan hak dan kewajibannya, serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan pasar.
Survey konsumen dilakukan di empat kota besar diantaranya Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya. Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Kemendag) Widodo mengatakan, salah satu tujuan dari IKK adalah agarkonsumendi Indonesia bisa betulbetul mempertahankan haknya dan menjadi lebih kritis.
”Kalau 150 juta konsumen Indonesia berdaya, kritis dan mempertahankan haknya, maka efek positifnya penggunaan produk dalam negeri bisa meningkat dan pelaku usaha juga akan berusaha meningkatkan kualitas produknya,” ujarnya
Menyongsong era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai berlaku Januari 2016, Kemendag meminta konsumen Indonesia memperkuat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme konsumen Indonesia diharapkan mampu mempertahankan pasar dalam negeri dan menjadi tuan di negeri sendiri.
”Itulah sebabnya pada peringatan Harkonas 2015 ini kita mengusung tema tentang Gerakan Konsumen Cerdas, Mandiri dan Cinta Produk Dalam Negeri,” ujar Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kemendag Widodo.
Widodo mengatakan, kalau saja konsumen Indonesia yang merupakan ke-4 terbesar di dunia punya kesadaran dan kemauan membeli produk dalam negeri, maka industri dalam negeri akan berkembang dan menciptakan lapangan kerja yang banyak.
Di lain pihak, ia menghimbau produsen dalam negeri untuk ikut memberi pemahaman bahwa produk lokal kualitasnya tidak kalah dari produk impor. Ujang berpendapat, tingkat nasionalisme konsumen Indonesia untuk produk-produk tertentu sebetulnya sudah tinggi, misalnya produk buahbuahan.
Namun, untuk produk seperti aksesoris pakaian ada kecenderungan merek luar negeri lebih disukai karena terkait gengsi. Menurutnya, pilihan antara lokal dan impor ini memang tidak sederhana bagi konsumen.
”Meskipun demikian, edukasi harus tetap berjalan tidak hanya kepada konsumen melainkan juga produsen dalam negeri. Produsen dianjurkan untuk membangun mereknya sehingga dikenal oleh konsumen di Indonesia. Di lain pihak kita tetap mendidik konsumen bahwa produk dalam negeri tidak kalah oleh produk luar negeri,” tandasnya.
Senada, Sudaryatmo menilai kampanye peningkatan cinta produk dalam negeri juga harus pararel dengan upaya memperkuat industri dalam negeri. ”Dengan demikian ketika kampanye produk lokal ya produknya tersedia di pasar,” pungkasnya.
Inda susanti
Bilamana produk dalam negeri makin berkualitas tentunya akan lebih banyak konsumen Indonesia yang memilih produk dalam negeri ketimbang produk impor. Sayangnya, kondisi ideal ini belum sepenuhnya tercipta di Indonesia.
Profesor di bidang Consumer Behavior dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Ujang Sumarwan mengatakan, tingkat nasionalisme orang Indonesia dalam hal konsumsi relatif lebih rendah dibanding negara lainnya. Salah satu penyebab adalah sikap konsumen yang kurang kritis terhadap produk dalam negeri.
”Akibatnya produsen-produsen di dalam negeri seringkali mengabaikan kualitas, dan tuntutan konsumen tidak direspon dengan baik. Imbasnya konsumen lebih memilih produk luar yang dianggap lebih baik,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDOdi Jakarta, kemarin.
Kondisi ini berbeda dengan di Jepang dan Korea Selatan, dimana masyarakatnya dikenal sangat loyal dengan produk dalamnegerinya. MenurutUjang, konsumen di Jepang sangat kritis terhadap produk sehingga sangat menuntut. Akibatnya, produsen atau industri Jepang senantiasa berupaya memenuhi standar yang diminta konsumen. ”Karena mereka bisa memenuhi standar konsumen akhirnya terbiasa membuat produk dengan kualitas baik,” tukasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan LembagaKonsumenIndonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, kebiasaan mengadu merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Menurutnya, budaya mengadu dari konsumen Indonesia masih sangat rendah.
”Penyebabnya maam-macam. Misalnya sikap pasrah atau nrimo, terbatasnya akses untuk mengadu, dan ketidakyakinan dari si konsumen sendiri bahwa dia akan mendapat perlindungan jika dia mengadu,” tuturnya.
YLKI mencatat pengaduan konsumen pada 2014 hanya 1192 pengaduan. Angka ini jauh dibandingkan Malaysia dan Hongkong yang sebanyak 31.000 pengaduan konsumen. Bahkan, di India terdapat National Consumer Helpline yang dalam setahun bisa menampung 70.000 pengaduan.
”Pengaduan tertinggi datangnya dari konsumen sektor perbankan, perumahan, komunikasi, transportasi dan produk elektronik,” sebutnya. Sudaryatmo menambahkan, pihak produsen atau pelaku usaha juga semestinya tidak alergi terhadap budaya mengadu dari konsumen.
Menurutnya, pengaduan konsumen justru dibutuhkan untuk perbaikan produk atau mutu layanan. ”Sayangnya belum banyak pelaku usaha di Indonesia yang memberi apresiasi kepada konsumen yang mengadu,” tukasnya.
Terkait Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2015, untuk pertama kalinya pemerintah akan meluncurkan hasil survey Indeks Keberdayaan Konsumen( IKK) yaitu indeks untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumenakan hak dan kewajibannya, serta kemampuannya dalam berinteraksi dengan pasar.
Survey konsumen dilakukan di empat kota besar diantaranya Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya. Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Kemendag) Widodo mengatakan, salah satu tujuan dari IKK adalah agarkonsumendi Indonesia bisa betulbetul mempertahankan haknya dan menjadi lebih kritis.
”Kalau 150 juta konsumen Indonesia berdaya, kritis dan mempertahankan haknya, maka efek positifnya penggunaan produk dalam negeri bisa meningkat dan pelaku usaha juga akan berusaha meningkatkan kualitas produknya,” ujarnya
Menyongsong era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai berlaku Januari 2016, Kemendag meminta konsumen Indonesia memperkuat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme konsumen Indonesia diharapkan mampu mempertahankan pasar dalam negeri dan menjadi tuan di negeri sendiri.
”Itulah sebabnya pada peringatan Harkonas 2015 ini kita mengusung tema tentang Gerakan Konsumen Cerdas, Mandiri dan Cinta Produk Dalam Negeri,” ujar Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kemendag Widodo.
Widodo mengatakan, kalau saja konsumen Indonesia yang merupakan ke-4 terbesar di dunia punya kesadaran dan kemauan membeli produk dalam negeri, maka industri dalam negeri akan berkembang dan menciptakan lapangan kerja yang banyak.
Di lain pihak, ia menghimbau produsen dalam negeri untuk ikut memberi pemahaman bahwa produk lokal kualitasnya tidak kalah dari produk impor. Ujang berpendapat, tingkat nasionalisme konsumen Indonesia untuk produk-produk tertentu sebetulnya sudah tinggi, misalnya produk buahbuahan.
Namun, untuk produk seperti aksesoris pakaian ada kecenderungan merek luar negeri lebih disukai karena terkait gengsi. Menurutnya, pilihan antara lokal dan impor ini memang tidak sederhana bagi konsumen.
”Meskipun demikian, edukasi harus tetap berjalan tidak hanya kepada konsumen melainkan juga produsen dalam negeri. Produsen dianjurkan untuk membangun mereknya sehingga dikenal oleh konsumen di Indonesia. Di lain pihak kita tetap mendidik konsumen bahwa produk dalam negeri tidak kalah oleh produk luar negeri,” tandasnya.
Senada, Sudaryatmo menilai kampanye peningkatan cinta produk dalam negeri juga harus pararel dengan upaya memperkuat industri dalam negeri. ”Dengan demikian ketika kampanye produk lokal ya produknya tersedia di pasar,” pungkasnya.
Inda susanti
(ftr)