Diplomasi RI soal TKI Dinilai Lemah
A
A
A
JAKARTA - Eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni oleh Pemerintah Arab Saudi dianggap sebagai kegagalan diplomasi RI dalam melindungi warganya. Semakin ironis karena pengelolaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Tanah Air masih sarat masalah.
Analis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mempertanyakan program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam salah satu poin menegaskan adanya perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI).
Dalam pandangannya, ada ketidaksinkronan antara konsep Nawacita dengan implementasi di lapangan. Eksekusi mati TKI adalah contoh nyata ketidaksesuaian itu. ”Persoalan TKI bukan barang baru yang dibahas di negeri ini. Eksekusi mati TKI adalah akumulasi kasus lama yang belum juga selesai,” katanya dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio, ”Elegi untuk TKI”, kemarin di Jakarta.
Dia mempertanyakan langkah konkret pemerintah dalam melindungi nasib para TKI. Apalagi dalam penelusurannya banyak ditemukan sejumlah diplomat RI yang menganggap persoalan TKI sebagai beban. ”Banyak yang masih menganggap para TKI itu warga negara kelas dua,” katanya. Pakar hukum dan tata negara Margarito Kamis saat dimintai konfirmasi secara terpisah menegaskan hal serupa.
Menurut dia, respons pemerintahan Jokowi masih jauh bila dibandingkan era presiden sebelumnya dalam menangani persoalan hukuman mati di Arab Saudi. ”Harus diakui pemerintahan Jokowi terlambat melakukan lobi dan fungsi diplomasi Kementerian Luar Negeri tidak bisa diandalkan,” katanya. Diketahui, secara berturutturut dalam dua hari saja Pemerintah Saudi menghukum mati Zaenab, TKI asal Bangkalan, Jawa Timur, dan Karni asal Brebes, Jawa Tengah.
Eksekusi mati itu tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah Indonesia. Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kemlu Lalu Muhammad Iqbal menampik tudingan bahwa pemerintah lepas tangan dalam menangani persoalan WNI yang tersangkut hukum di luar negeri. Dia mencontohkan dua TKI tersebut sebelumnya telah mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum terus-menerus untuk meringankan hukumannya.
”Enggak, sama sekali tidak (lepas tangan). Kita lihat misalnya kasus Zaenab dan Karni itu sudah jatuh vonisnya pada 2014, tapi berhasil kita tunda eksekusinya sampai 1 tahun lebih untuk memberikan kesempatan bagi kita melakukan permintaan maaf,” katanya. Mengenai masih adanya 36 WNI di Saudi yang dapat bernasib serupa seperti Zaenab maupun Karni, Iqbal memastikan proses hukum dan pendampingan masih terus dilakukan.
Dia mengingatkan, persoalan TKI tidak semata menyangkut kasus hukum di luar negeri, tetapi juga sejak di Tanah Air. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengakui persoalan TKI paling besar berada di hulu atau ketika masih berada di Indonesia. Persoalan pokok itu melibatkan dua instansi, yakni Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI. Nusron menjelaskan, salah satu permasalahan itu adalah kualifikasiTKI. Selamainibanyak TKI yang dikirim minim kemampuan, sementara dorongan untuk mencoba peruntungan di negeri orang cukup besar.
”Teman-teman yang menjadi TKI dulu- dulunya itu tidak kompeten, tidak kuat persiapan tapi dipaksakan berangkat karena sudah membayar sejumlah uang,” ucapnya. Persoalan lain, lemahnya pengawasan pemerintah kepada para Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).
Selama empat bulan dirinya menjabat, para PPTKIS ternyata tidak menjalankan amanat Undang-Undang 39/ 2004 yang menuntut mereka rutin melaporkan kepada pemerin-tah kondisi para pekerjanya di negara tujuan. Koordinator Aliansi TKI Menggugat, Yusri Albima, mendesak pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan itu agar TKI terlindungi. Jangan sampai pemerintah hanya bergerak ketika terjadi masalah dan akhirnya justru tak bisa memberikan pertolongan.
Dian ramdhani/ Okezone
Analis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mempertanyakan program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam salah satu poin menegaskan adanya perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI).
Dalam pandangannya, ada ketidaksinkronan antara konsep Nawacita dengan implementasi di lapangan. Eksekusi mati TKI adalah contoh nyata ketidaksesuaian itu. ”Persoalan TKI bukan barang baru yang dibahas di negeri ini. Eksekusi mati TKI adalah akumulasi kasus lama yang belum juga selesai,” katanya dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio, ”Elegi untuk TKI”, kemarin di Jakarta.
Dia mempertanyakan langkah konkret pemerintah dalam melindungi nasib para TKI. Apalagi dalam penelusurannya banyak ditemukan sejumlah diplomat RI yang menganggap persoalan TKI sebagai beban. ”Banyak yang masih menganggap para TKI itu warga negara kelas dua,” katanya. Pakar hukum dan tata negara Margarito Kamis saat dimintai konfirmasi secara terpisah menegaskan hal serupa.
Menurut dia, respons pemerintahan Jokowi masih jauh bila dibandingkan era presiden sebelumnya dalam menangani persoalan hukuman mati di Arab Saudi. ”Harus diakui pemerintahan Jokowi terlambat melakukan lobi dan fungsi diplomasi Kementerian Luar Negeri tidak bisa diandalkan,” katanya. Diketahui, secara berturutturut dalam dua hari saja Pemerintah Saudi menghukum mati Zaenab, TKI asal Bangkalan, Jawa Timur, dan Karni asal Brebes, Jawa Tengah.
Eksekusi mati itu tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah Indonesia. Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kemlu Lalu Muhammad Iqbal menampik tudingan bahwa pemerintah lepas tangan dalam menangani persoalan WNI yang tersangkut hukum di luar negeri. Dia mencontohkan dua TKI tersebut sebelumnya telah mendapatkan pendampingan dan bantuan hukum terus-menerus untuk meringankan hukumannya.
”Enggak, sama sekali tidak (lepas tangan). Kita lihat misalnya kasus Zaenab dan Karni itu sudah jatuh vonisnya pada 2014, tapi berhasil kita tunda eksekusinya sampai 1 tahun lebih untuk memberikan kesempatan bagi kita melakukan permintaan maaf,” katanya. Mengenai masih adanya 36 WNI di Saudi yang dapat bernasib serupa seperti Zaenab maupun Karni, Iqbal memastikan proses hukum dan pendampingan masih terus dilakukan.
Dia mengingatkan, persoalan TKI tidak semata menyangkut kasus hukum di luar negeri, tetapi juga sejak di Tanah Air. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengakui persoalan TKI paling besar berada di hulu atau ketika masih berada di Indonesia. Persoalan pokok itu melibatkan dua instansi, yakni Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI. Nusron menjelaskan, salah satu permasalahan itu adalah kualifikasiTKI. Selamainibanyak TKI yang dikirim minim kemampuan, sementara dorongan untuk mencoba peruntungan di negeri orang cukup besar.
”Teman-teman yang menjadi TKI dulu- dulunya itu tidak kompeten, tidak kuat persiapan tapi dipaksakan berangkat karena sudah membayar sejumlah uang,” ucapnya. Persoalan lain, lemahnya pengawasan pemerintah kepada para Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).
Selama empat bulan dirinya menjabat, para PPTKIS ternyata tidak menjalankan amanat Undang-Undang 39/ 2004 yang menuntut mereka rutin melaporkan kepada pemerin-tah kondisi para pekerjanya di negara tujuan. Koordinator Aliansi TKI Menggugat, Yusri Albima, mendesak pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan itu agar TKI terlindungi. Jangan sampai pemerintah hanya bergerak ketika terjadi masalah dan akhirnya justru tak bisa memberikan pertolongan.
Dian ramdhani/ Okezone
(ars)