Buya Syafii: Kepentingan Umum Sudah Ditaklukkan Kepentingan Pribadi
A
A
A
JAKARTA - Kondisi bangsa yang terus dirundung masalah menjadi keprihatinan tersendiri bagi cendekiawan muslim Ahmad Syafii Maarif.
Melalui bukunya berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mencoba memberikan pemikiran dan analisisnya bagi masyarakat Indonesia. Menurut dia, melihat persoalan bangsa saat ini, ada nilai yang hilang dalam sendi bangsa, yakni kepentingan umum yang sudah takluk oleh kepentingan pribadi. Karena itu dia mengingatkan apabila tidak dibendung sedini mungkin, hal ini akan membahayakan nasib bangsa ke depan.
”Arus semacam ini bisa dikatakan bangsa sedang menggali kuburannya. Itu terasa sekali,” ujar Buya Syafii saat peluncuran bukunya sekaligus tasyakuran usianya yang ke- 80 tahun di Jakarta semalam. Menurut Buya Syafii, banyak di kalangan masyarakat saat ini yang juga tidak setia kepada bangsa sendiri. Dia mengambil datayangdisampaikanBappenas bahwa banyak rakyat Indonesia sendiri yang terlibat pencurian ikan oleh bangsa lain yang nilainya mencapai Rp300 triliun.
”Betapa kita sekarang tidak setia terhadap bangsa ini, bangsa ini pingsan secara moral,” ucapnya. Di saat kondisi bangsa yang seperti ini, Buya Syafii mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran agamanya. Ajaran agama Islam yang damai dan menuju keadilan. ”Ajaran yang sesungguhnya tidak ada paksaan dalam beragama, bahkan kalau kamu ingin beriman mari, tapi kalau tidak itu urusan kamu, bebas,” tuturnya.
Buya Syafii juga mengatakan bahwa apabila di kalangan umat Islam sendiri terjadi perpecahan, mereka harus kembali pada tuntunan kitab suci Alquran. Memang dalam menafsirkan ajaran agama melalui Alquran ini orang bisa berbeda. ”Tapi di dalam Alquran ada benang merah,” imbuhnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan turut memberikan testimoninya atas peluncuran buku garapan Buya Syafii Maarif ini. Menurut dia banyak pesan yang disampaikan dalam buku tersebut, salah satunya bagaimana menjadi politisi yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. ”Yang paling saya takut dikatakan politisi rabun ayam atau politisi kumuh seperti yang dikatakan Buya,” ucap Zulkifli.
Menurut dia, beberapa pesan lain yang tertulis di buku itu juga coba diterapkan dalam profesinya saat ini, yaitu bagaimana menyukseskan program di jabatan barunya di dunia politik sebagai ketua MPR. ”Kalau dulu MPR itu fokus sosialisasi 4 pilar, maka saya lanjutkan bahwa pada usia 70 tahun kita merdeka, maka bukan saatnya lagi kita sosialisasi,” tuturnya. Zulkifli yakin apabila banyak pihak yang menerapkan pandangan- pandangan Buya Syafii, kita akan mampu menghadapi tantangan bangsa.
”Kaya miskin, politik kumuh itu bisa kita atasi dengan pandangan Buya Syafii,” katanya. Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo juga memberikan pendapatnya mengenai buku Buya Syafii tersebut. Dia mengatakan apa yang disampaikan adalah sebuah analisis kesejarahan yang kuat yang dilandasi pemahaman terhadap sejarah yang dalam.
”Kalau saya diminta merumuskan dalam satu kata adalah personalisasi keislaman di In-donesia,” ujar dia yang juga menjabat sebagai Wali Gereja Indonesia tersebut.
Dian ramdhani
Melalui bukunya berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mencoba memberikan pemikiran dan analisisnya bagi masyarakat Indonesia. Menurut dia, melihat persoalan bangsa saat ini, ada nilai yang hilang dalam sendi bangsa, yakni kepentingan umum yang sudah takluk oleh kepentingan pribadi. Karena itu dia mengingatkan apabila tidak dibendung sedini mungkin, hal ini akan membahayakan nasib bangsa ke depan.
”Arus semacam ini bisa dikatakan bangsa sedang menggali kuburannya. Itu terasa sekali,” ujar Buya Syafii saat peluncuran bukunya sekaligus tasyakuran usianya yang ke- 80 tahun di Jakarta semalam. Menurut Buya Syafii, banyak di kalangan masyarakat saat ini yang juga tidak setia kepada bangsa sendiri. Dia mengambil datayangdisampaikanBappenas bahwa banyak rakyat Indonesia sendiri yang terlibat pencurian ikan oleh bangsa lain yang nilainya mencapai Rp300 triliun.
”Betapa kita sekarang tidak setia terhadap bangsa ini, bangsa ini pingsan secara moral,” ucapnya. Di saat kondisi bangsa yang seperti ini, Buya Syafii mengajak umat Islam untuk kembali pada ajaran agamanya. Ajaran agama Islam yang damai dan menuju keadilan. ”Ajaran yang sesungguhnya tidak ada paksaan dalam beragama, bahkan kalau kamu ingin beriman mari, tapi kalau tidak itu urusan kamu, bebas,” tuturnya.
Buya Syafii juga mengatakan bahwa apabila di kalangan umat Islam sendiri terjadi perpecahan, mereka harus kembali pada tuntunan kitab suci Alquran. Memang dalam menafsirkan ajaran agama melalui Alquran ini orang bisa berbeda. ”Tapi di dalam Alquran ada benang merah,” imbuhnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan turut memberikan testimoninya atas peluncuran buku garapan Buya Syafii Maarif ini. Menurut dia banyak pesan yang disampaikan dalam buku tersebut, salah satunya bagaimana menjadi politisi yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. ”Yang paling saya takut dikatakan politisi rabun ayam atau politisi kumuh seperti yang dikatakan Buya,” ucap Zulkifli.
Menurut dia, beberapa pesan lain yang tertulis di buku itu juga coba diterapkan dalam profesinya saat ini, yaitu bagaimana menyukseskan program di jabatan barunya di dunia politik sebagai ketua MPR. ”Kalau dulu MPR itu fokus sosialisasi 4 pilar, maka saya lanjutkan bahwa pada usia 70 tahun kita merdeka, maka bukan saatnya lagi kita sosialisasi,” tuturnya. Zulkifli yakin apabila banyak pihak yang menerapkan pandangan- pandangan Buya Syafii, kita akan mampu menghadapi tantangan bangsa.
”Kaya miskin, politik kumuh itu bisa kita atasi dengan pandangan Buya Syafii,” katanya. Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo juga memberikan pendapatnya mengenai buku Buya Syafii tersebut. Dia mengatakan apa yang disampaikan adalah sebuah analisis kesejarahan yang kuat yang dilandasi pemahaman terhadap sejarah yang dalam.
”Kalau saya diminta merumuskan dalam satu kata adalah personalisasi keislaman di In-donesia,” ujar dia yang juga menjabat sebagai Wali Gereja Indonesia tersebut.
Dian ramdhani
(ars)