Lab Perguruan Tinggi Jadi Rujukan Uji Produk SNI
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan melibatkan perguruan tinggi untuk menguji produk berstandar nasional Indonesia (SNI).
Laboratorium kampus dianggap akan menurunkan biaya uji produk yang selama ini mahal. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir mengatakan, dia akan mendorong universitas melakukan penelitian terhadap produk yang terstandardisasi yang bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Dia berharap produk yang sudah terstandardisasi itu akan mampu menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). ”Produk yang dihasilkan melalui riset bisa terstandardisasi. Saya dukung apa yang dilakukan BSN dan pentingnya produk yang distandardisasi,” katanya dalam Jalan Sehat Keluarga Bersama SNI di Jakarta kemarin. Kepala BSN Bambang Prasetya mengatakan, Kemenristek Dikti sudah berkomitmen dan mengimbau perguruan tinggi negeri (PTN) agar fasilitas laboratoriumnya dipakai untuk uji produk.
Nanti BSN akan berkonsolidasi kembali untuk menentukan PTN mana yang bisa menjadi rujukan. Bambang menjelaskan, sebetulnya tidak hanya PTN yang akan dimintai kerja sama, namun perguruan tinggi swasta juga akan diikutsertakan mengingat jumlah 3.000-an PTS pasti memiliki laboratorium canggih. Menurut dia, Kementerian Perdagangan mendukung rencana ini sebab akan membuat biaya pengujian produk menjadi lebih murah.
Bagi pengusaha kecil, rumah tangga, dan mikro yang bermodal kecil, banyak yang tidak mampu melakukan uji produk karena biayanya yang tinggi. Padahal di sisi lain pemerintah sudah mengeluarkan UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian di mana produk yang tidak ber-SNI akan kena denda dan hukuman penjara. ”Dendanya bisa sampai Rp1 miliar,” sebutnya.
Bambang menerangkan, selain peran laboratorium, PTN juga akan bekerja sama dengan pemerintah membantu sosialisasi produk ber-SNI ke masyarakat. Pemerintah ingin membuat kurikulum pengajaran tentang uji dan sertifikasi produk dengan meminta saran akademis dari penyelenggara perguruan tinggi. ”Menghadapi MEA ini, seluruh masyarakat harus tahu tentang standar produk. Tidak hanya produk lokal ber-SNI, namun produk impor juga harus terstandar dengan baik,” tambahnya.
Bambang mengakui sekarang ini banyak produk ber-SNI palsu. Disebut palsu, ujarnya, karena mereka asal tempel stiker, tapi standarnya tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan. Helm-helm yang dijual di pasaran banyak yang asal menempel stiker SNI. Untuk menertibkan itu, BSN dalam waktu dekat akan melakukan uji petik sampling produk di lapangan. Jika SNI yang ditempel di produk tidak sesuai spesifikasi, akan dikeluarkan surat teguran ke produsen.
Selain itu, BSN juga akan melacak lembaga yang mengeluarkan sertifikasi produknya untuk diinterogasi mengapa tidak sinkron antara barang yang disertifikasi dan spesifikasi uji produknya. Untuk produk impor, jelasnya, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan untuk memeriksa standar produk impor itu. Jika produk itu tidak mencantumkan SNI, akan langsung diambil tindakan. Bila standar produknya berasal dari lembaga sertifikasi luar negeri, pihaknya akan melakukan verifikasi spesifikasi apa yang digunakandansiapayangmengeluarkan sertifikasinya.
Terkait dengan MEA itu, ujarnya, Indonesia dan negara lain harus ada harmonisasi standar. Bila ada satu negara saja yang tidak setuju dengan standar yang berlaku di negaratersebut, pasarbebastidak akan bisa diberlakukan. ”Harmonisasi standar menjadi persyaratan utama supaya pasar bebas itu bisa terjadi,” ungkapnya.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi menyambut baik sinergi pemerintah dan perguruan tinggi untuk pengujian produk ber-SNI tersebut. ITB sudah mempunyai lab yang sudah digunakan untuk sertifikasi produk. Misalnya saja di Fakultas Farmasi bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat membantu sertifikasi produk obat halal.
Namun, jika ingin menguji produk dengan jumlah yang lebih besar, pihaknya meminta bantuan tambahan alat karena alat yang ada saat ini kapasitasnya masih kurang. Selain itu, untuk jangka panjang diperlukan pelatihan-pelatihan kemampuan uji sertifikasi karena sumber daya manusia yang ada saat ini masih terbatas.
Neneng zubaidah
Laboratorium kampus dianggap akan menurunkan biaya uji produk yang selama ini mahal. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir mengatakan, dia akan mendorong universitas melakukan penelitian terhadap produk yang terstandardisasi yang bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Dia berharap produk yang sudah terstandardisasi itu akan mampu menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). ”Produk yang dihasilkan melalui riset bisa terstandardisasi. Saya dukung apa yang dilakukan BSN dan pentingnya produk yang distandardisasi,” katanya dalam Jalan Sehat Keluarga Bersama SNI di Jakarta kemarin. Kepala BSN Bambang Prasetya mengatakan, Kemenristek Dikti sudah berkomitmen dan mengimbau perguruan tinggi negeri (PTN) agar fasilitas laboratoriumnya dipakai untuk uji produk.
Nanti BSN akan berkonsolidasi kembali untuk menentukan PTN mana yang bisa menjadi rujukan. Bambang menjelaskan, sebetulnya tidak hanya PTN yang akan dimintai kerja sama, namun perguruan tinggi swasta juga akan diikutsertakan mengingat jumlah 3.000-an PTS pasti memiliki laboratorium canggih. Menurut dia, Kementerian Perdagangan mendukung rencana ini sebab akan membuat biaya pengujian produk menjadi lebih murah.
Bagi pengusaha kecil, rumah tangga, dan mikro yang bermodal kecil, banyak yang tidak mampu melakukan uji produk karena biayanya yang tinggi. Padahal di sisi lain pemerintah sudah mengeluarkan UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian di mana produk yang tidak ber-SNI akan kena denda dan hukuman penjara. ”Dendanya bisa sampai Rp1 miliar,” sebutnya.
Bambang menerangkan, selain peran laboratorium, PTN juga akan bekerja sama dengan pemerintah membantu sosialisasi produk ber-SNI ke masyarakat. Pemerintah ingin membuat kurikulum pengajaran tentang uji dan sertifikasi produk dengan meminta saran akademis dari penyelenggara perguruan tinggi. ”Menghadapi MEA ini, seluruh masyarakat harus tahu tentang standar produk. Tidak hanya produk lokal ber-SNI, namun produk impor juga harus terstandar dengan baik,” tambahnya.
Bambang mengakui sekarang ini banyak produk ber-SNI palsu. Disebut palsu, ujarnya, karena mereka asal tempel stiker, tapi standarnya tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan. Helm-helm yang dijual di pasaran banyak yang asal menempel stiker SNI. Untuk menertibkan itu, BSN dalam waktu dekat akan melakukan uji petik sampling produk di lapangan. Jika SNI yang ditempel di produk tidak sesuai spesifikasi, akan dikeluarkan surat teguran ke produsen.
Selain itu, BSN juga akan melacak lembaga yang mengeluarkan sertifikasi produknya untuk diinterogasi mengapa tidak sinkron antara barang yang disertifikasi dan spesifikasi uji produknya. Untuk produk impor, jelasnya, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan untuk memeriksa standar produk impor itu. Jika produk itu tidak mencantumkan SNI, akan langsung diambil tindakan. Bila standar produknya berasal dari lembaga sertifikasi luar negeri, pihaknya akan melakukan verifikasi spesifikasi apa yang digunakandansiapayangmengeluarkan sertifikasinya.
Terkait dengan MEA itu, ujarnya, Indonesia dan negara lain harus ada harmonisasi standar. Bila ada satu negara saja yang tidak setuju dengan standar yang berlaku di negaratersebut, pasarbebastidak akan bisa diberlakukan. ”Harmonisasi standar menjadi persyaratan utama supaya pasar bebas itu bisa terjadi,” ungkapnya.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi menyambut baik sinergi pemerintah dan perguruan tinggi untuk pengujian produk ber-SNI tersebut. ITB sudah mempunyai lab yang sudah digunakan untuk sertifikasi produk. Misalnya saja di Fakultas Farmasi bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat membantu sertifikasi produk obat halal.
Namun, jika ingin menguji produk dengan jumlah yang lebih besar, pihaknya meminta bantuan tambahan alat karena alat yang ada saat ini kapasitasnya masih kurang. Selain itu, untuk jangka panjang diperlukan pelatihan-pelatihan kemampuan uji sertifikasi karena sumber daya manusia yang ada saat ini masih terbatas.
Neneng zubaidah
(ars)