Energi BUMN: Pengurangan Dividen dan PMN
A
A
A
Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mengurangi setoran dividen BUMN kepada pemerintah pusat. Pegiat BUMN pasti akan merasa bahagia.
Bagaimana tidak, efek kebijakan tersebut bakal mendorong badan usaha pelat merah tersebut semakin giat melakukan ekspansi bisnisnya. Pemerintah pusat, akan mengurangi setoran dividen sebanyak Rp9 triliun dari setoran dividen yang dalam ketentuan sebelumnya Rp44 triliun.
Selain itu, suntikan energi lain berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp43,2 triliun melalui APBN-P 2015 sudah disetujui untuk dicairkan kepada 30 BUMN terpilih. PMN tersebut berasal dari ruang fiskal sebesar Rp230 triliun yang terbuka sebagai efek dari penghematan yang dilakukan pemerintah.
Dividen ialah pembagian laba kepada para pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki. Pembagian itu akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tetapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang ialah tujuan utama suatu entitas bisnis didirikan.
Dividen dapat dibagi menjadi 4 jenis. Pertama, dividen tunai, yakni merupakan metode paling umum untuk pembagian keuntungan, dibayarkan dalam bentuk tunai, dan dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. Kedua, dividen saham, yakni cukup umum dilakukan dan dibayarkan dalam bentuk saham tambahan.
Ketiga, dividen properti, yakni dibayarkan dalam bentuk aset. Namun cara ini jarang dilakukan. Keempat, dividen interim, yakni dibagikan sebelum tahun buku perseroan berakhir.
Dividen merupakan hak pemegang saham (common stock) untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perseroan. Jika perseroan memutuskan membagi keuntungan dalam bentuk dividen, semua pemegang saham bakal mendapatkan haknya yang sama. Namun, pembagian dividen untuk pemegang saham preferen lebih diutamakan dari pembagian dividen pemegang saham biasa.
Secara definisi, kebijakan dividen ialah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah dan memperkuat modal perseroan, guna pembiayaan investasi serta mendukung kegiatan operasional di masa yang akan datang.
Pengurangan porsi dividen diperkirakan diterapkan kepada perseroan yang memiliki potensi perkembangan bisnis yang tinggi di masa depan, terutama BUMN sektor perbankan dan konstruksi yang karakternya padat modal. Merujuk pada APBN 2015, pemerintah menetapkan bagian laba BUMN Rp44 triliun. Target tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan yang dipatok pada APBN-P 2014, yaitu Rp40 triliun.
Setoran dividen BUMN itu naik bila dikomparasikan dengan 2013 dan 2012 yang Rp34 triliun dan Rp30,8 triliun. Kendati naik setiap tahun, namun pertumbuhan setoran cukup volatile. Setoran dividen untuk APBN 2015 hanya tumbuh 10% atau lebih rendah ketimbang target APBN-P 2014 yang dipatok 17,65% dari 2013. Sementara itu, penerimaan 2013 naik 10,39% jika dibandingkan 2012 yang tumbuh 9,22%.
Target setoran dividen BUMN pada 2015 bervariasi. Misalnya, Pertamina merupakan penyetor terbesar sekitar Rp9,6 triliun, Telkom Rp5,2 triliun, BRI Rp4,4 triliun, dan Mandiri Rp3,1 triliun. Dikabarkan bahwa guna mengembangkan aksi korporasi dan ikut andil di dalam pembangunan nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menurunkan setoran bagi hasil keuntungan atau dividen bagi BUMN.
Dasar pertimbangannya pun sungguh masuk akal, yakni agar BUMN mempunyai dorongan internal yang lebih besar untuk membangun perusahaannya. Diharapkan, keuangan perusahaan menjadi semakin sehat.
Memang, selama ini tidak semua BUMN mendapatkan keuntungan dalam pengelolaan bisnisnya. Selain itu, suntikan dana langsung kepada BUMN, khusunya untuk menggarap proyek infrastruktur ini diharapkan dapat berdampak positif bagi percepatan laju pertumbuhan dan iklim investasi yang lebih kondusif di Indonesia.
Presiden Jokowi berpendapat bahwa jauh lebih efisien kalau dividen itu tetap di BUMN sehingga BUMN bisa melakukan investasi dan ekspansi yang banyak di sektor infrastruktur yang padat modal sekaligus padat karya. Tentu ada konsekuensi langsung jika pemerintah melalui Kementerian BUMN berketetapan menurunkan besaran porsi dividen BUMN. Di sinilah Ditjen Pajak harus berpikir keras untuk mengupayakan penerimaan negara ketika setoran dividen BUMN dipangkas.
Salah satu caranya melalui peningkatan penerimaan pajak, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi wajib pajak dan objek pajaknya. Pemerintah juga tidak perlu berkecil hati bahwa setoran pajak tidak bakal tumbuh. Dengan realokasi pemanfaatan dividen untuk mendukung kegiatan ekspansi perseroan, maka berkurangnya kontribusi dividen BUMN bakal `dikompensasi' penerimaan pajak yang lebih besar.
Pada 2015 pemerintah menargetkan penerimaan negara Rp1.793,6 triliun dengan sumber terbesar dari pajak yang mencapai Rp1.201,7 triliun. Kemudian, kepabeanan dan cukai serta hibah yang masing-masing Rp178,3 triliun dan Rp3,3 triliun, sedangkan PNPB berperan cukup signifikan, yaitu Rp410 triliun.
Yang perlu ditekankan, jangan sampai karena devidend payout ratio diturunkan, pengurus BUMN bekerja layaknya business as usual. Seolah tidak ada target keuangan yang hendak dicapai. Pasalnya, BUMN sebagai agent of profit dan juga agent of development harus memberikan value yang maksimal bagi seluruh stakeholder-nya.
Oleh karena itu, tolok ukur kinerja BUMN bukan hanya bertumpu pada aspek kinerja keuangan, tetapi juga seberapa besar BUMN mampu berperan sebagai perintis berbagai kegiatan usaha, baik untuk koperasi, UMKM, atau swasta. BUMN harus bertindak sebagai badan usaha yang turut menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Pengurangan deviden dan PMN adalah energi bagi BUMN untuk kemakmuran ekonomi nasional. Dengan semakin besarnya investasi yang ditanam pemerintah pusat melalui PMN dan pengurangan deviden, semoga semakin aktif pula BUMN untuk mendampingi dan mengembangkan laju usaha rakyat tersebut.
Ali Masykur Musa
Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Bagaimana tidak, efek kebijakan tersebut bakal mendorong badan usaha pelat merah tersebut semakin giat melakukan ekspansi bisnisnya. Pemerintah pusat, akan mengurangi setoran dividen sebanyak Rp9 triliun dari setoran dividen yang dalam ketentuan sebelumnya Rp44 triliun.
Selain itu, suntikan energi lain berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp43,2 triliun melalui APBN-P 2015 sudah disetujui untuk dicairkan kepada 30 BUMN terpilih. PMN tersebut berasal dari ruang fiskal sebesar Rp230 triliun yang terbuka sebagai efek dari penghematan yang dilakukan pemerintah.
Dividen ialah pembagian laba kepada para pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki. Pembagian itu akan mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tetapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang ialah tujuan utama suatu entitas bisnis didirikan.
Dividen dapat dibagi menjadi 4 jenis. Pertama, dividen tunai, yakni merupakan metode paling umum untuk pembagian keuntungan, dibayarkan dalam bentuk tunai, dan dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. Kedua, dividen saham, yakni cukup umum dilakukan dan dibayarkan dalam bentuk saham tambahan.
Ketiga, dividen properti, yakni dibayarkan dalam bentuk aset. Namun cara ini jarang dilakukan. Keempat, dividen interim, yakni dibagikan sebelum tahun buku perseroan berakhir.
Dividen merupakan hak pemegang saham (common stock) untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perseroan. Jika perseroan memutuskan membagi keuntungan dalam bentuk dividen, semua pemegang saham bakal mendapatkan haknya yang sama. Namun, pembagian dividen untuk pemegang saham preferen lebih diutamakan dari pembagian dividen pemegang saham biasa.
Secara definisi, kebijakan dividen ialah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah dan memperkuat modal perseroan, guna pembiayaan investasi serta mendukung kegiatan operasional di masa yang akan datang.
Pengurangan porsi dividen diperkirakan diterapkan kepada perseroan yang memiliki potensi perkembangan bisnis yang tinggi di masa depan, terutama BUMN sektor perbankan dan konstruksi yang karakternya padat modal. Merujuk pada APBN 2015, pemerintah menetapkan bagian laba BUMN Rp44 triliun. Target tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan yang dipatok pada APBN-P 2014, yaitu Rp40 triliun.
Setoran dividen BUMN itu naik bila dikomparasikan dengan 2013 dan 2012 yang Rp34 triliun dan Rp30,8 triliun. Kendati naik setiap tahun, namun pertumbuhan setoran cukup volatile. Setoran dividen untuk APBN 2015 hanya tumbuh 10% atau lebih rendah ketimbang target APBN-P 2014 yang dipatok 17,65% dari 2013. Sementara itu, penerimaan 2013 naik 10,39% jika dibandingkan 2012 yang tumbuh 9,22%.
Target setoran dividen BUMN pada 2015 bervariasi. Misalnya, Pertamina merupakan penyetor terbesar sekitar Rp9,6 triliun, Telkom Rp5,2 triliun, BRI Rp4,4 triliun, dan Mandiri Rp3,1 triliun. Dikabarkan bahwa guna mengembangkan aksi korporasi dan ikut andil di dalam pembangunan nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menurunkan setoran bagi hasil keuntungan atau dividen bagi BUMN.
Dasar pertimbangannya pun sungguh masuk akal, yakni agar BUMN mempunyai dorongan internal yang lebih besar untuk membangun perusahaannya. Diharapkan, keuangan perusahaan menjadi semakin sehat.
Memang, selama ini tidak semua BUMN mendapatkan keuntungan dalam pengelolaan bisnisnya. Selain itu, suntikan dana langsung kepada BUMN, khusunya untuk menggarap proyek infrastruktur ini diharapkan dapat berdampak positif bagi percepatan laju pertumbuhan dan iklim investasi yang lebih kondusif di Indonesia.
Presiden Jokowi berpendapat bahwa jauh lebih efisien kalau dividen itu tetap di BUMN sehingga BUMN bisa melakukan investasi dan ekspansi yang banyak di sektor infrastruktur yang padat modal sekaligus padat karya. Tentu ada konsekuensi langsung jika pemerintah melalui Kementerian BUMN berketetapan menurunkan besaran porsi dividen BUMN. Di sinilah Ditjen Pajak harus berpikir keras untuk mengupayakan penerimaan negara ketika setoran dividen BUMN dipangkas.
Salah satu caranya melalui peningkatan penerimaan pajak, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi wajib pajak dan objek pajaknya. Pemerintah juga tidak perlu berkecil hati bahwa setoran pajak tidak bakal tumbuh. Dengan realokasi pemanfaatan dividen untuk mendukung kegiatan ekspansi perseroan, maka berkurangnya kontribusi dividen BUMN bakal `dikompensasi' penerimaan pajak yang lebih besar.
Pada 2015 pemerintah menargetkan penerimaan negara Rp1.793,6 triliun dengan sumber terbesar dari pajak yang mencapai Rp1.201,7 triliun. Kemudian, kepabeanan dan cukai serta hibah yang masing-masing Rp178,3 triliun dan Rp3,3 triliun, sedangkan PNPB berperan cukup signifikan, yaitu Rp410 triliun.
Yang perlu ditekankan, jangan sampai karena devidend payout ratio diturunkan, pengurus BUMN bekerja layaknya business as usual. Seolah tidak ada target keuangan yang hendak dicapai. Pasalnya, BUMN sebagai agent of profit dan juga agent of development harus memberikan value yang maksimal bagi seluruh stakeholder-nya.
Oleh karena itu, tolok ukur kinerja BUMN bukan hanya bertumpu pada aspek kinerja keuangan, tetapi juga seberapa besar BUMN mampu berperan sebagai perintis berbagai kegiatan usaha, baik untuk koperasi, UMKM, atau swasta. BUMN harus bertindak sebagai badan usaha yang turut menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Pengurangan deviden dan PMN adalah energi bagi BUMN untuk kemakmuran ekonomi nasional. Dengan semakin besarnya investasi yang ditanam pemerintah pusat melalui PMN dan pengurangan deviden, semoga semakin aktif pula BUMN untuk mendampingi dan mengembangkan laju usaha rakyat tersebut.
Ali Masykur Musa
Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
(hyk)