Yurisprudensi dalam Putusan MK
A
A
A
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dalam menyelenggarakan peradilan menggunakan hukum acara umum dan hukum acara khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara MK dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, hukum acara MK juga lahir dari praktik putusanputusan MK. Putusan-putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi dan digunakan sebagai dasar masyarakat ketika beracara di MK. Dalam praktik hukum, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Yurisprudensi lahir dari putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde ). Untuk itu, di dalam buku ini pun dipaparkan yurisprudensi putusan-putusan MK yang terbagi di dalam tiga tema.
Pertama , menguji Undang- Undang terhadap Undang- Undang Dasar. Bagian ini meliputi tiga pokok bahasan, yaitu mengenai kewenangan MK menguji undang-undang yang disahkan sebelum maupun sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil undangundang, dan kewenangan mengenai MK menguji peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu). Kedua , memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ketiga , syarat kerugian konstitusional. Adapun, putusan MK dalam kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, terdapat tiga putusan MK yakni, pertama , mengenai pemilukada harus berpedoman pada asasasas pemilu yang berlaku secara umum. Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintah Daerah yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang pemilukada.
Dalam hubungan itu, MK berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Kedua , mengenai kewenangan MK memutus sengketa tentang proses pemilu.
Dalam memutus perselisihan hasil pemilukada, MK berpendapat tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknismatematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Ketiga , mengenai bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai legal standing dalam sengketa pemilukada. Perkembangan mengenai kedudukan hukum dalam pemilihan umum kepada daerah dan wakil kepala daerah terdapat pada putusan MK pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Buton Tahun 2011.
Dalam Putusan MK tersebut ditegaskan bahwa MK harus menjamin penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil dengan membatalkan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Buton Nomor 33/Kpts/KPU202 KAB/PKD/- VII/Tahun 2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Buton Tahun 2011, tanggal 13 Juli 2011 dan memerintahkan kepada termohon untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilukada Kabupaten Buton Tahun 2011 dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual terhadap bakal pasangan calon.
Terkait dengan syarat kerugian konstitusional , MK telah memberikan persyaratan mengenai kerugian konstitusional.
Bahwa, Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menentukan dua kriteria yang harus dipenuhi agar pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) , yaitu (i) kualifikasi Pemohon apakah sebagai perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara; dan (ii) anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
A E Subiyanto,
Penulis Buku
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara MK dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, hukum acara MK juga lahir dari praktik putusanputusan MK. Putusan-putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi dan digunakan sebagai dasar masyarakat ketika beracara di MK. Dalam praktik hukum, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Yurisprudensi lahir dari putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde ). Untuk itu, di dalam buku ini pun dipaparkan yurisprudensi putusan-putusan MK yang terbagi di dalam tiga tema.
Pertama , menguji Undang- Undang terhadap Undang- Undang Dasar. Bagian ini meliputi tiga pokok bahasan, yaitu mengenai kewenangan MK menguji undang-undang yang disahkan sebelum maupun sesudah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), batas waktu pengajuan permohonan pengujian formil undangundang, dan kewenangan mengenai MK menguji peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu). Kedua , memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ketiga , syarat kerugian konstitusional. Adapun, putusan MK dalam kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, terdapat tiga putusan MK yakni, pertama , mengenai pemilukada harus berpedoman pada asasasas pemilu yang berlaku secara umum. Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintah Daerah yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang pemilukada.
Dalam hubungan itu, MK berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Kedua , mengenai kewenangan MK memutus sengketa tentang proses pemilu.
Dalam memutus perselisihan hasil pemilukada, MK berpendapat tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknismatematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Ketiga , mengenai bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai legal standing dalam sengketa pemilukada. Perkembangan mengenai kedudukan hukum dalam pemilihan umum kepada daerah dan wakil kepala daerah terdapat pada putusan MK pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Buton Tahun 2011.
Dalam Putusan MK tersebut ditegaskan bahwa MK harus menjamin penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil dengan membatalkan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Buton Nomor 33/Kpts/KPU202 KAB/PKD/- VII/Tahun 2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Buton Tahun 2011, tanggal 13 Juli 2011 dan memerintahkan kepada termohon untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilukada Kabupaten Buton Tahun 2011 dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual terhadap bakal pasangan calon.
Terkait dengan syarat kerugian konstitusional , MK telah memberikan persyaratan mengenai kerugian konstitusional.
Bahwa, Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menentukan dua kriteria yang harus dipenuhi agar pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) , yaitu (i) kualifikasi Pemohon apakah sebagai perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara; dan (ii) anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian, terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
A E Subiyanto,
Penulis Buku
(ars)