Karya yang Tak Pudar

Minggu, 12 April 2015 - 10:52 WIB
Karya yang Tak Pudar
Karya yang Tak Pudar
A A A
Teater Boneka Cing Cing Mo mementaskan Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun–lakon karya Arifin C Noor–dalam kemasan wayang golek. Hasilnya memukau, sebab harmoni tari dan musik karawitan dalam kemasan baru tak menghilangkan cita rasa karya Arifin.

Helateater Salihara 2015 menggelar panggung kehormatan untuk penulis sekaligus sutradara Arifin C. Noer.

Lima lakon karya Arifin; Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun, Mega-Mega, Kocak-Kacik, Sumur Tanpa Dasar, dan Kapai-Kapai– dipentaskan kembali oleh enam kelompok teater yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, dan Solo. Kelompok teater yang mendapat kesempatan mementaskan karya Arifin diberi kebebasan untuk menafsir teks secara baru.

Demikian juga soal pendekatan dan gaya, meski tidak menghilangkan ‘cita rasa’ khas Arifin. Inilah yang membuat lakon-lakon tersebut menarik disimak. Lakon Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun,yang dimainkan oleh Teater Boneka Cing Cing Mo, misalnya. Teater asal Tegal itu memainkan kembali lakon Madekur dan Tarkenidengan pendekatan wayang golek dan tari dengan balutan koreografi yang inovatif. Hasilnya, penampilan Cing Cing Mo pada Jumat (10/4) malam itu di Gedung Teater Komunitas Salihara sangat menghibur.

Alur cerita dan perubahan suasana yang begitu cepat menjadi daya pikat tersendiri pada pementasan Madekur dan Tarkeni. Misalnya, mula- mula penonton terlena dalam candaan lucu yang mengocok perut. Namun, sekejap penonton terbawa pada suasana haru ketika Madekur dan Tarkeni harus menanggung takdir cinta yang pahit karena status mereka sebagai pencopet dan pelacur.

Sri Waluyo, dalang Madekur danTarkeniatawaOrkesMadun, mengaku cukup kesulitan mengadaptasi naskah novel karya Arifin C Noor tersebut ke dalam sebuah teater wayang. “Mengadaptasi naskah novel ke wayang cukup sulit karena draf-draf di pewayangannya kan tidak ada,” ujarnya. Namun, kesulitan itu tidak mematikan kreativitasnya.

Demi mengatasi kesulitan, Waluyo terpaksa harus berkreasi dengan sedikit menabrak pakem. Dalam naskah asli, perkelahian antara Madekur dan Masgad hanya dilakukan berdua. Namun, ketika diadaptasi ke dalam wayang, Waluyo melebarkan cerita dengan menambahkan tokohtokoh fiktif baru dalam adegan perkelahian. Di sini Waluyo mengembangkan cerita imajinatif dari pertunjukkan wayang pada umumnya dengan adegan kepala wayang yang pecah yang di dalamnya diisi kacang.

Tepuk tangan dan tawa penonton pun bergemuruh seketika saat Waluyo dan pemusik samasama berdiri dan memunguti kacang- kacang yang jatuh tersebut untuk dimakan di hadapan penonton. Salah satu penonton bahkan mengaku, ide adegan tersebut merupakan out of the box. Cahwati, seorang penari untuk peran Tarkeni juga mengakui kesulitan yang dihadapi dalam mengadaptasi naskah novel ke dalam wayang.

Kesulitan itu, menurutnya, karena Cing Cing Mo beranjak dari latar belakang teater wayang tradisi. Ketika beradaptasi dengan novel, maka banyak hal yang perlu dikembangkan dan diperbarui. Istilah Jawa disebut nyanggit. “Agak sulitnya, karena kami dari tradisional dan disuruh mengadaptasi novel nasional. Jadi kuncinya, kami nyanggitagar bisa dinikmati semua kalangan,” katanya.

Namun menurutnya, kesulitan itu bisa diatasi dengan rutinnya latihan. Untuk mementaskan Madekur dan Tarkeni, para pemeran mengikuti latihan lima hingga enam jam dalam sehari. Selain itu, diperlukan proses harmonisasi antara tarian, musik, dan pewayangan. Cahwati menuturkan, dirinya banyak berkomunikasi secara intens dengan pakar tari dan musik dalam pewayangan.

Hal itu dilakukannya agar dapat memadukan karawitan dengan lagulagu populer. Agar paduan musik dapat sesuai dengan tema wayang yang dimainkan, musik tradisional maupun musik populer dimasukkan dan diaransemen ulang dengan khas karawitan. Musikmusik populer membawakan lagu pada adegan-adegan lucu agar penonton dapat menangkap gaya humor yang disampaikan.

Selain pembaruan di sisi naskah dan musik, tarian juga ditonjolkan dalam adegan yang menguras emosi. Dalam penampilannya, Cahwati menari dengan balutan topeng dan pakaiantradisional, tangankakinya menyentak udara seolah memberitahu penonton bahwa Tarkeni dirundung duka yang teramat dalam.

Kemudian di adegan tari selanjutnya, Cahwatimelepastopengnya dan mengenakan pakaian minim, rambut terurai, dan ia merangkak menyeret-nyeret kaki kemudian berpuisi menyayat hati. Tawa penonton yang tadinya terdengar pada adegan lucu, kini tiba-tiba senyap, dimakan oleh aura haru dari tarian Cahwati. Penonton terbius, dan secara tidak langsung merasakan apa yang dialami Tarkeni.

Meski banyak pembaruan dari sisi musik, tari, dan juga naskah, citarasa karya Arifin tak begitu saja hilang. Terbukti, penonton yang hadir cukup banyak. Mereka datang dari berbagai kalangan dan usia. Wajae, Teater Boneka Cing Cing Mo sukses menyedot perhatian penonton karena karya Arifin tak lekang oleh waktu, tak pudar di ingatan pencintanya.

Begitulah, karya yang pernah dipersembahkan oleh Arifin kepada bangsa, kini dipersembahkan kembali untuknya sebagai bentuk terima kasih atas dedikasinya terhadap bangsa.

Imas damayanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7757 seconds (0.1#10.140)