APBD Molor, Gaji Pejabat Daerah Ditunda
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah mulai menerapkan sanksi bagi daerah yang terlambat menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sanksi tersebut diberikan dengan ada penundaan pencairan gaji pokok dan tunjangan kepala daerah dan anggota DPRD.
”Mereka masih menahan sebelum ada petunjuk oleh Kemendagri. Gaji pokok dan tunjangan jabatan hak-haknya belum dibayarkan,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek kemarin.
Lebih lanjut Reydonnyzar mengatakan, dalam UU 23/2014 Pasal 321 ayat 2 jelas disebutkan DPRD dan kepala daerah yang terlambat akan dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan selama enam bulan.
Namun, sanksi keras tersebut belum diterapkan. Pihaknya hanya melakukan penahanan pencairan gaji. Apalagi, saat ini belum ada petunjuk dari mendagri terkait peraturan pemerintah tentang sanksinya. Sesuai Pasal 353 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjatuhan sanksi administratif dan program pembinaan khusus bidang pemerintahan diatur dengan peraturan pemerintah.
”Pegawai di sana belum berani membayarkan. Intinya, gaji mereka masih ada di kas daerah. Petugas belum berani membayarkan sebelum ada petunjuk dari Kemendagri. Semua pembayaran harus dilakukan dalam bentuk transfer dan harus ada dasarnya,” kata dia.
Meski sanksi tersebut belum dijalankan, dia menilai penahanan gaji dan tunjangan menjadi sanksi yang cukup berat. Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri ini memastikan, jika PP sanksi diterbitkan, tidak ada toleransi bagi daerah yang terlambat menetapkan APBD.
”Saat ini telaahnya lagi kita naikkan ke mendagri. Mudahmudahan dalam waktu dekat sudah ada keputusan. Tapi, konsekuensi ini saya kira juga sudah cukup berat. Bayangkan, mereka dalam beberapa bulan terakhir tidak menerima gaji,” paparnya.
Donny menilai ancaman sanksi ini cukup manjur membuat daerah tepat waktu dalam menetapkan APBD sebab terjadi kenaikan yang signifikan dalam ketepatan waktu penetapan APBD di kategori daerah provinsi. ”Tahun lalu yang tepat waktu 27 daerah. Tahun sekarang bertambah lima daerah menjadi 32 daerah,” ungkap dia.
Beberapa daerah yang terlambat penetapan APBD-nya antara lain Nias Selatan, Rokan Hilir, Musi Banyuasin, Musi Rawas Utara, Singkawang, Tasikmalaya, Malaka, Mappi, Lembata, Blora, dan Aceh Tengah. Untuk provinsi adalah DKI Jakarta dan Aceh.
Terlambatnya penetapan APBD seringkali disebabkan karena belum sepakatnya DPRD dan kepala daerah. Di mana terjadi perbedaan pandangan dalam memahami hak anggaran atau kebijakan anggaran. ”Harusnya kebijakan anggaran pandangannya,” kata dia.
Tingkat ketepatan penetapan, menurut dia, harus dimaknai sebagai menjamin efektivitas jalannya pemerintahan daerah. Lalu juga menyangkut efektivitas penyerapan anggaran. ”Bahwa APBD berfungsi untuk kemakmuran masyarakat makanya harus tepat waktu. Jangan lampaui,” paparnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, sanksi tersebut lebih manjur dibandingkan dengan sanksi sebelumnya. Sebelumnya jika penetapan APBD molor, DAK dan DAU ditahan ataupun dipotong. ”Karena soal gaji ini kan sudah terkait pendapatan mereka, terutama DPRD. Saya kira lebih manjur dan lebih baik. Dulu rakyat yang kena sanksi karena DAU dan DAK yang kena,” ujarnya.
Dia mengatakan, jangansampai lantaran belum ada PP membuat sanksi ini hanya tegas di atas kertas saja. Dia pun berharap agar ketika PP mengenai sanksi telah ada pemerintah harus berani tegas. Tidak saja penahanan gaji, tapi memang benarbenar tidak mendapatkan gaji.
Menurut dia, penyebab molornya APBD secara umum ada dua. Pertama, karena masalah terkini yakni anggota DPRD yang baru terpilih memiliki pemahaman yang minim terkait penganggaran. Ini berdampak pada lamanya pembahasan anggaran. ”RKPD dibahas oleh DPRD lama. Sedangkan kebijakan umum APBD (KUA) dan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) oleh DPRD baru. Ini ada keterputusan. Tapi, ini kecil jumlahnya,” kata dia.
Kedua, karena faktor politis. APBD seringkali dijadikan bancakan di daerah untuk kepentingan tertentu. ”Adanya kepentingan inilah yang membuat pembahasan lama. Jadi kalau APBD yang mulus saja patut dipertanyakan karena dicurigai ada kesepakatan antara DPRD dan SKPD,” kata dia.
Sanksi ini menjadi dilema ketika nanti pemda dan DPRD hanya mengejar waktu dan malah mengabaikan kualitas APBD. Tapi, jika tidak tepat waktu, akan merugikan daerah.
Dita angga
”Mereka masih menahan sebelum ada petunjuk oleh Kemendagri. Gaji pokok dan tunjangan jabatan hak-haknya belum dibayarkan,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek kemarin.
Lebih lanjut Reydonnyzar mengatakan, dalam UU 23/2014 Pasal 321 ayat 2 jelas disebutkan DPRD dan kepala daerah yang terlambat akan dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan selama enam bulan.
Namun, sanksi keras tersebut belum diterapkan. Pihaknya hanya melakukan penahanan pencairan gaji. Apalagi, saat ini belum ada petunjuk dari mendagri terkait peraturan pemerintah tentang sanksinya. Sesuai Pasal 353 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjatuhan sanksi administratif dan program pembinaan khusus bidang pemerintahan diatur dengan peraturan pemerintah.
”Pegawai di sana belum berani membayarkan. Intinya, gaji mereka masih ada di kas daerah. Petugas belum berani membayarkan sebelum ada petunjuk dari Kemendagri. Semua pembayaran harus dilakukan dalam bentuk transfer dan harus ada dasarnya,” kata dia.
Meski sanksi tersebut belum dijalankan, dia menilai penahanan gaji dan tunjangan menjadi sanksi yang cukup berat. Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri ini memastikan, jika PP sanksi diterbitkan, tidak ada toleransi bagi daerah yang terlambat menetapkan APBD.
”Saat ini telaahnya lagi kita naikkan ke mendagri. Mudahmudahan dalam waktu dekat sudah ada keputusan. Tapi, konsekuensi ini saya kira juga sudah cukup berat. Bayangkan, mereka dalam beberapa bulan terakhir tidak menerima gaji,” paparnya.
Donny menilai ancaman sanksi ini cukup manjur membuat daerah tepat waktu dalam menetapkan APBD sebab terjadi kenaikan yang signifikan dalam ketepatan waktu penetapan APBD di kategori daerah provinsi. ”Tahun lalu yang tepat waktu 27 daerah. Tahun sekarang bertambah lima daerah menjadi 32 daerah,” ungkap dia.
Beberapa daerah yang terlambat penetapan APBD-nya antara lain Nias Selatan, Rokan Hilir, Musi Banyuasin, Musi Rawas Utara, Singkawang, Tasikmalaya, Malaka, Mappi, Lembata, Blora, dan Aceh Tengah. Untuk provinsi adalah DKI Jakarta dan Aceh.
Terlambatnya penetapan APBD seringkali disebabkan karena belum sepakatnya DPRD dan kepala daerah. Di mana terjadi perbedaan pandangan dalam memahami hak anggaran atau kebijakan anggaran. ”Harusnya kebijakan anggaran pandangannya,” kata dia.
Tingkat ketepatan penetapan, menurut dia, harus dimaknai sebagai menjamin efektivitas jalannya pemerintahan daerah. Lalu juga menyangkut efektivitas penyerapan anggaran. ”Bahwa APBD berfungsi untuk kemakmuran masyarakat makanya harus tepat waktu. Jangan lampaui,” paparnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, sanksi tersebut lebih manjur dibandingkan dengan sanksi sebelumnya. Sebelumnya jika penetapan APBD molor, DAK dan DAU ditahan ataupun dipotong. ”Karena soal gaji ini kan sudah terkait pendapatan mereka, terutama DPRD. Saya kira lebih manjur dan lebih baik. Dulu rakyat yang kena sanksi karena DAU dan DAK yang kena,” ujarnya.
Dia mengatakan, jangansampai lantaran belum ada PP membuat sanksi ini hanya tegas di atas kertas saja. Dia pun berharap agar ketika PP mengenai sanksi telah ada pemerintah harus berani tegas. Tidak saja penahanan gaji, tapi memang benarbenar tidak mendapatkan gaji.
Menurut dia, penyebab molornya APBD secara umum ada dua. Pertama, karena masalah terkini yakni anggota DPRD yang baru terpilih memiliki pemahaman yang minim terkait penganggaran. Ini berdampak pada lamanya pembahasan anggaran. ”RKPD dibahas oleh DPRD lama. Sedangkan kebijakan umum APBD (KUA) dan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) oleh DPRD baru. Ini ada keterputusan. Tapi, ini kecil jumlahnya,” kata dia.
Kedua, karena faktor politis. APBD seringkali dijadikan bancakan di daerah untuk kepentingan tertentu. ”Adanya kepentingan inilah yang membuat pembahasan lama. Jadi kalau APBD yang mulus saja patut dipertanyakan karena dicurigai ada kesepakatan antara DPRD dan SKPD,” kata dia.
Sanksi ini menjadi dilema ketika nanti pemda dan DPRD hanya mengejar waktu dan malah mengabaikan kualitas APBD. Tapi, jika tidak tepat waktu, akan merugikan daerah.
Dita angga
(ftr)