Megawati Ingatkan Janji Suci Jokowi
A
A
A
SANUR - Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar memenuhi janji suci kampanyenya. Pernyataan Megawati tersebut bisa dipahami pengamat sebagai bentuk kekecewaannya terhadap kinerja kepemimpinan Jokowi yang dinilai belum optimal.
Dalam pidato politik pembukaan Kongres IV PDIP di Sanur, Bali, Megawati meminta agar Jokowi menyatu dengan rakyat dan setia pada konstitusi. ”Pemimpin memang harus menjalankan kewajiban konstitusionalnya tanpa menghitung apa akibatnya. Karmane Vadhikaraste Ma Phaleshu Kada Chana: Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya,” kata Mega kemarin.
Kepemimpinan seperti itu hanya akan muncul jika pemimpin memahami sejarah bangsanya, memahami siapa rakyatnya, dan memahami dari mana asal-usulnya. Lebih jauh Megawati mengungkapkan, pemilu secara langsung membawa konsekuensi pengerahan tim kampanye, relawan, dan berbagai kelompok kepentingan, dengan mobilisasi sumber daya.
Kesemuanya wajar ketika diabdikan untuk pemimpin terbaik bangsa. ”Namun, praktik yang berlawanan kerap terjadi. Mobilisasi kekuatan tim kampanye sangatlah rentan ditumpangi kepentingan. Kepentingan yang menjadi penumpang gelap untuk menguasai sumber daya alam bangsa,” jelasnya. Menurut dia, kepentingan yang semula hadir dalam wajah kerakyatan, mendadak berubah menjadi hasrat kekuasaan. ”Inilah sisi gelap kekuasaan,” tambahnya.
Guna mencegah hal tersebut, Megawati menyerukan agar Indonesia benar-benar tangguh dalam melakukan negosiasi kontrak migas dan tambang, yang sebentar lagi banyak yang akan berakhir. Kini saatnya, dengan kepemimpinan nasional yang baru, Kontrak Merah Putih ditegakkan. ”Demikian pula BUMN harus diperkuat dan menjadi pilihan utama kebijakan politik ekonomi berdikari,” tegasnya.
Megawati juga mengingatkan Jokowi akan mandat yang telah diberikannya, yakni komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. ”Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai,” terangnya.
Pembukaan Kongres IV PDIP berlangsung cukup meriah. Sekitar 10.000 kader hadir dalam acara tersebut. Para pejabat juga banyak yang hadir, di antaranya Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Ketua MPR Zulkifli Hasan, beberapa menteri Kabinet Kerja, dan ketua umum partai dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Keakraban Megawati dan Jokowi terus menjadi sorotan media mengingat dua figur tersebut belakangan disebut kurang harmonis. Megawati lebih dulu datang ke lokasi kongres dan langsung menuju ruang VIP dan bertemu dengan tamu undangan lain seperti Wapres JK serta para ketua umum partai dari KIH.
Kemudian, Presiden Jokowi datang langsung menuju ruang VIP diantar Tjahjo Kumolo. Tidak lama rombongan Megawati, Jokowi, Puan Maharani, dan para undangan VIP memasuki ruangan tempat pembukaan kongres. Megawati yang duduk berdampingan dengan Jokowi di barisan depan beberapa kali terlibat pembicaraan dan beberapa kali diselingi tawa ringan.
Beberapa kali keduanya saling merapatkan badan untuk berbisik. Gambarnya yang tertangkap monitor yang dipasang di beberapa sudut ruangan, membuat peserta kongres bertepuk tangan. Dalam pidato politiknya tersebut, Megawati juga menyinggung soal bagaimana mengatur mekanisme kerja antara pemerintah dan partai politik pengusungnya.
Hal ini penting mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi. Dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. ”Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai,” ujarnya.
Hal ini sangat relevan mengingat ada pihak dengan mengatasnamakan independensi selalu mengatakan partai adalah beban demokrasi. Menurut Megawati, fenomena ini tampak jelas ketika pada saat bersamaan muncullah gerakan deparpolisasi. Proses deparpolisasi ini tidak berdiri sendiri.
”Di sana ada simbiosis kekuatan antipartai dan kekuatan modal, yang berhadapan dengan gerakan berdikari. Mereka adalah kaum oportunis. Mereka tidak mau bekerja keras membangun partai. Mereka tidak mau mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan,” sindir mantan presiden ini.
Karena itulah, Megawati kembali menegaskan bahwa jalan ideologi adalah pilihan benar. Jalan ideologi yang membentang adalah jalan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Inilah prinsip konstitusionalisme yang selalu jadi rujukan.
”Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada Presiden, pegang teguhlah konstitusi itu. Berpijaklah pada konstitusi, karena itulah jalan kenegaraan. Penuhilah janji kampanyemu, sebab itulah ikatan suci dengan rakyat,” tegasnya.
Bagaimana komentar Jokowi? Dia tidak menganggap pidato Megawati sebagai sindiran. Menurut Jokowi, hal itu justru penyemangat karena pesanpesan dalam pidato tersebut memang sangat baik untuk tetap mengawal pemerintahan sesuai dengan Jalan Trisakti dan Nawacita.
”Sangat bagus sekali. Iya dong sangat bagus sekali. Pemimpin harus layani rakyat, akhirnya ke sana. Nggak ada yang lain,” katanya. Jokowi juga memastikan bahwa komunikasinya dengan partai pengusung tidak ada kendala, apalagi diterjemahkan tidak harmonis. ”Kita tiap hari komunikasi tak ada masalah. Komunikasi internal juga berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Sinyalemen Reshuffle
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio menanggapi pidato Megawati sebagai statement agar Presiden Jokowi kembali ke jalur untuk menyejahterakan rakyat. ”PDIP partai pemerintah, tentunya setiap saat pasti diajak konsultasi. Statement Mega ini menganggap kinerja pemerintah Jokowi buruk, sampai sekarang tak mampu realisasikan janjinya,” kata Agung tadi malam.
Dia juga mengatakan bahwa pernyataan Megawati menandai Jokowi saat ini tidak dikuasai PDIP, tetapi lebih didominasi kelompok lain yang berseberangan dengan kepentingan PDIP sendiri. Hal itulah mengapa Megawati mengatakan agar Jokowi merealisasikan janjinya. ”Ini sinyalemen Jokowi kemungkinan untuk reshuffle kabinet,” ucapnya.
Selain itu, kata Agung, pernyataan Megawati juga memberi dampak negatif bagi Presiden. Dalam pidato tersebut, begitu tampak stereotip bahwa presiden merupakan seorang petugas partai. ”Merendahkan martabat presiden, padahal Megawati strukturnya di bawah seorang Jokowi, karena Jokowi seorang presiden. Ini negatif wibawanya berkurang,” ucapnya.
Selain itu, hal yang terkesan negatif lainnya dari pernyataan Megawati adalah bahwa presiden hari ini seakan-akan dapat diperintah orang lain yang punya tanggung jawab selain untuk kepentingan negaranya.
”Kalau presiden, apa masih harus mengemban instruksi partai. Sebagai presiden, mesti lepas jabatan apa pun dari partai politik. Dia dianggap seperti pesuruh, jangan (sampai) nanti bekerja sesuai (keinginan) ketum partainya,” paparnya.
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai pidato Megawati tak perlu ditafsirkan lagi, yakni untuk mengingatkan komitmen kepemimpinan Presiden Jokowi. ”Harusnya Jokowi bisa mengecamkan pidato Megawati, yang dikehendaki PDIP adalah jiwa kerakyatan dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah.
Jokowi juga harusnya menyadari bercokolnya orang-orang yang menjadi pembantunya selalu menjadi brutus dalam setiap kebijakan yang prorakyat karena mengincar kepentingan ekonomi belaka,” katanya.
Pidato Megawati, kata Ari, juga refleksi dan pengingat bagi Jokowi karena arah kebijakan pemerintahan yang neoliberalisme dengan menyerahkan hargaharga kebutuhan pokok sesuai mekanisme pasar. Karena itu, ada baiknya Jokowi menyadari ada yang salah dalam pemerintahannya.
”Bukankah Megawati kembali mengingatkan Jokowi untuk menepati janji kampanyenya sebagai ikatan suci dengan rakyatnya,” tegasnya.
Rahmat sahid/ Mula akmal
Dalam pidato politik pembukaan Kongres IV PDIP di Sanur, Bali, Megawati meminta agar Jokowi menyatu dengan rakyat dan setia pada konstitusi. ”Pemimpin memang harus menjalankan kewajiban konstitusionalnya tanpa menghitung apa akibatnya. Karmane Vadhikaraste Ma Phaleshu Kada Chana: Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akibatnya,” kata Mega kemarin.
Kepemimpinan seperti itu hanya akan muncul jika pemimpin memahami sejarah bangsanya, memahami siapa rakyatnya, dan memahami dari mana asal-usulnya. Lebih jauh Megawati mengungkapkan, pemilu secara langsung membawa konsekuensi pengerahan tim kampanye, relawan, dan berbagai kelompok kepentingan, dengan mobilisasi sumber daya.
Kesemuanya wajar ketika diabdikan untuk pemimpin terbaik bangsa. ”Namun, praktik yang berlawanan kerap terjadi. Mobilisasi kekuatan tim kampanye sangatlah rentan ditumpangi kepentingan. Kepentingan yang menjadi penumpang gelap untuk menguasai sumber daya alam bangsa,” jelasnya. Menurut dia, kepentingan yang semula hadir dalam wajah kerakyatan, mendadak berubah menjadi hasrat kekuasaan. ”Inilah sisi gelap kekuasaan,” tambahnya.
Guna mencegah hal tersebut, Megawati menyerukan agar Indonesia benar-benar tangguh dalam melakukan negosiasi kontrak migas dan tambang, yang sebentar lagi banyak yang akan berakhir. Kini saatnya, dengan kepemimpinan nasional yang baru, Kontrak Merah Putih ditegakkan. ”Demikian pula BUMN harus diperkuat dan menjadi pilihan utama kebijakan politik ekonomi berdikari,” tegasnya.
Megawati juga mengingatkan Jokowi akan mandat yang telah diberikannya, yakni komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. ”Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai,” terangnya.
Pembukaan Kongres IV PDIP berlangsung cukup meriah. Sekitar 10.000 kader hadir dalam acara tersebut. Para pejabat juga banyak yang hadir, di antaranya Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Ketua MPR Zulkifli Hasan, beberapa menteri Kabinet Kerja, dan ketua umum partai dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Keakraban Megawati dan Jokowi terus menjadi sorotan media mengingat dua figur tersebut belakangan disebut kurang harmonis. Megawati lebih dulu datang ke lokasi kongres dan langsung menuju ruang VIP dan bertemu dengan tamu undangan lain seperti Wapres JK serta para ketua umum partai dari KIH.
Kemudian, Presiden Jokowi datang langsung menuju ruang VIP diantar Tjahjo Kumolo. Tidak lama rombongan Megawati, Jokowi, Puan Maharani, dan para undangan VIP memasuki ruangan tempat pembukaan kongres. Megawati yang duduk berdampingan dengan Jokowi di barisan depan beberapa kali terlibat pembicaraan dan beberapa kali diselingi tawa ringan.
Beberapa kali keduanya saling merapatkan badan untuk berbisik. Gambarnya yang tertangkap monitor yang dipasang di beberapa sudut ruangan, membuat peserta kongres bertepuk tangan. Dalam pidato politiknya tersebut, Megawati juga menyinggung soal bagaimana mengatur mekanisme kerja antara pemerintah dan partai politik pengusungnya.
Hal ini penting mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi. Dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. ”Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai,” ujarnya.
Hal ini sangat relevan mengingat ada pihak dengan mengatasnamakan independensi selalu mengatakan partai adalah beban demokrasi. Menurut Megawati, fenomena ini tampak jelas ketika pada saat bersamaan muncullah gerakan deparpolisasi. Proses deparpolisasi ini tidak berdiri sendiri.
”Di sana ada simbiosis kekuatan antipartai dan kekuatan modal, yang berhadapan dengan gerakan berdikari. Mereka adalah kaum oportunis. Mereka tidak mau bekerja keras membangun partai. Mereka tidak mau mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan,” sindir mantan presiden ini.
Karena itulah, Megawati kembali menegaskan bahwa jalan ideologi adalah pilihan benar. Jalan ideologi yang membentang adalah jalan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Inilah prinsip konstitusionalisme yang selalu jadi rujukan.
”Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada Presiden, pegang teguhlah konstitusi itu. Berpijaklah pada konstitusi, karena itulah jalan kenegaraan. Penuhilah janji kampanyemu, sebab itulah ikatan suci dengan rakyat,” tegasnya.
Bagaimana komentar Jokowi? Dia tidak menganggap pidato Megawati sebagai sindiran. Menurut Jokowi, hal itu justru penyemangat karena pesanpesan dalam pidato tersebut memang sangat baik untuk tetap mengawal pemerintahan sesuai dengan Jalan Trisakti dan Nawacita.
”Sangat bagus sekali. Iya dong sangat bagus sekali. Pemimpin harus layani rakyat, akhirnya ke sana. Nggak ada yang lain,” katanya. Jokowi juga memastikan bahwa komunikasinya dengan partai pengusung tidak ada kendala, apalagi diterjemahkan tidak harmonis. ”Kita tiap hari komunikasi tak ada masalah. Komunikasi internal juga berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Sinyalemen Reshuffle
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio menanggapi pidato Megawati sebagai statement agar Presiden Jokowi kembali ke jalur untuk menyejahterakan rakyat. ”PDIP partai pemerintah, tentunya setiap saat pasti diajak konsultasi. Statement Mega ini menganggap kinerja pemerintah Jokowi buruk, sampai sekarang tak mampu realisasikan janjinya,” kata Agung tadi malam.
Dia juga mengatakan bahwa pernyataan Megawati menandai Jokowi saat ini tidak dikuasai PDIP, tetapi lebih didominasi kelompok lain yang berseberangan dengan kepentingan PDIP sendiri. Hal itulah mengapa Megawati mengatakan agar Jokowi merealisasikan janjinya. ”Ini sinyalemen Jokowi kemungkinan untuk reshuffle kabinet,” ucapnya.
Selain itu, kata Agung, pernyataan Megawati juga memberi dampak negatif bagi Presiden. Dalam pidato tersebut, begitu tampak stereotip bahwa presiden merupakan seorang petugas partai. ”Merendahkan martabat presiden, padahal Megawati strukturnya di bawah seorang Jokowi, karena Jokowi seorang presiden. Ini negatif wibawanya berkurang,” ucapnya.
Selain itu, hal yang terkesan negatif lainnya dari pernyataan Megawati adalah bahwa presiden hari ini seakan-akan dapat diperintah orang lain yang punya tanggung jawab selain untuk kepentingan negaranya.
”Kalau presiden, apa masih harus mengemban instruksi partai. Sebagai presiden, mesti lepas jabatan apa pun dari partai politik. Dia dianggap seperti pesuruh, jangan (sampai) nanti bekerja sesuai (keinginan) ketum partainya,” paparnya.
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi menilai pidato Megawati tak perlu ditafsirkan lagi, yakni untuk mengingatkan komitmen kepemimpinan Presiden Jokowi. ”Harusnya Jokowi bisa mengecamkan pidato Megawati, yang dikehendaki PDIP adalah jiwa kerakyatan dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah.
Jokowi juga harusnya menyadari bercokolnya orang-orang yang menjadi pembantunya selalu menjadi brutus dalam setiap kebijakan yang prorakyat karena mengincar kepentingan ekonomi belaka,” katanya.
Pidato Megawati, kata Ari, juga refleksi dan pengingat bagi Jokowi karena arah kebijakan pemerintahan yang neoliberalisme dengan menyerahkan hargaharga kebutuhan pokok sesuai mekanisme pasar. Karena itu, ada baiknya Jokowi menyadari ada yang salah dalam pemerintahannya.
”Bukankah Megawati kembali mengingatkan Jokowi untuk menepati janji kampanyenya sebagai ikatan suci dengan rakyatnya,” tegasnya.
Rahmat sahid/ Mula akmal
(ftr)