Blokir Ketar-ketir
A
A
A
Pemblokiran situs-situs ekstremis mengidap banyak celah kelemahan. Mengapa kebijakan diambil ketika perangkatnya belum disiapkan?
Kenapa pula pemblokiran baru dilakukan, padahal permintaannya sudah diajukan sejak tiga tahun silam? Kepal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Saud Usman Nasution mestinya lega. Permintaan pemblokiran puluhan situs radikal yang diajukan lembaganya sejak tiga tahun lalu akhirnya dikabulkan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Tapi, kelegaan itu tidak tampak di air muka Saud Usman. Mantan Komandan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian itu justru terlihat garang saat menghadiri acara diskusi AliansiJurnalisIndependen, Minggu pekan kemarin.”Saya merasa dizalimi,” kata Saud kesal dengan beberapa pejabat negara yang malah”menyerang” BNPT dalam kasus pemblokiran tersebut.
Jumat dua pekan lalu BNPT mengirimkan surat kepada kementerian meminta pemblokiran sejumlah situs yang dinilai radikal. Setelah tiga tahun bersikap”cuek bebek” dengan permintaan BNPT, kementerian kali ini cepat merespons. Tiga hari kemudian, kementerian sudah melayangkan surat kepada penyedia jasa internet (internet service provider ) untuk mensterilkan jalur maya mereka dari situs-situs terdaftar.
Jumlah awalnya 26 situs, tapi yang terdaftar dalam surat kementerian hanya 19 situs. Sisanya, jika bukan duplikasi konten, sudah tutup lapak. Surat kementerian itu menyebar ke media sosial. Tentu saja, ada yang bersorak gembira, tapi tak sedikit yang geram mengutuk.
Nah, yang paling nyaring bersuara adalah mereka yang menentang pemblokiran. Protes pun kencang disuarakan. Sebagian menuding pemerintahan Presiden Joko Widodo telah”bermain api” dengan umat Islam dan memberedel situs-situs yang mereka klaim sebagai”media Islam”.
Namun, entah karena kontroversi yang mencuat, rupanya tak semua ISP mematuhi permohonan kementerian itu. Beberapa di antaranya masih membuka lebar-lebar jalurnya bagi situs-situs tersebut.
Ditanya mengapa ada anggotanya yang mbalelo, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semuel Abrijani Pangerapan berkelit persoalan itu menjadi tanggung jawab tiap-tiap anggota, bukan asosiasi.”Jika (ISP) tidak menjalankan, ada risikonya. Bisa teguran dan bahkan pencabutan (izin),” katanya.
Persoalan lain, dalam memblokir situs-situs radikal, kementerian tampak terburu-buru. Sejumlah ketentuan dalam permen diterabas misalnya dalam beberapa pasal kementerian dalam konteks ini Direktur Jenderal Aplikasi Informatika diperintahkan untuk memperingatkan pemilik situs atau memberi kesempatan untuk menghapus konten yang dianggap negatif.
”Prosedur yang ada tidak dijalankan. Tidak ada pemberitahuan lewat e-mail , telepon, atau (surat) ke kantor,” kata Samin Barkah, pemimpin umum dakwatuna. com , salah satu situs yang diblokir. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, kementerian tidak bisa menggunakan permen tersebut sebagai dasar hukum memblokir situs internet.
Musababnya, permen saat ini sedang digugat di Mahkamah Agung. Lain dari itu, ICJR menilai, permen yang memberi kementerian pedang pemblokiran itu tidak memiliki pijakan undang-undang yang jelas.
”Legitimasi kewenangan kementerian pada Permen Nomor 19 Tahun 2014 tidak sah karena (permen) tidak berdasar,” kata Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahju.
Selengkapnya baca SINDOWEEKLY, edisi Kamis 9 April 2015
Kenapa pula pemblokiran baru dilakukan, padahal permintaannya sudah diajukan sejak tiga tahun silam? Kepal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Saud Usman Nasution mestinya lega. Permintaan pemblokiran puluhan situs radikal yang diajukan lembaganya sejak tiga tahun lalu akhirnya dikabulkan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Tapi, kelegaan itu tidak tampak di air muka Saud Usman. Mantan Komandan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian itu justru terlihat garang saat menghadiri acara diskusi AliansiJurnalisIndependen, Minggu pekan kemarin.”Saya merasa dizalimi,” kata Saud kesal dengan beberapa pejabat negara yang malah”menyerang” BNPT dalam kasus pemblokiran tersebut.
Jumat dua pekan lalu BNPT mengirimkan surat kepada kementerian meminta pemblokiran sejumlah situs yang dinilai radikal. Setelah tiga tahun bersikap”cuek bebek” dengan permintaan BNPT, kementerian kali ini cepat merespons. Tiga hari kemudian, kementerian sudah melayangkan surat kepada penyedia jasa internet (internet service provider ) untuk mensterilkan jalur maya mereka dari situs-situs terdaftar.
Jumlah awalnya 26 situs, tapi yang terdaftar dalam surat kementerian hanya 19 situs. Sisanya, jika bukan duplikasi konten, sudah tutup lapak. Surat kementerian itu menyebar ke media sosial. Tentu saja, ada yang bersorak gembira, tapi tak sedikit yang geram mengutuk.
Nah, yang paling nyaring bersuara adalah mereka yang menentang pemblokiran. Protes pun kencang disuarakan. Sebagian menuding pemerintahan Presiden Joko Widodo telah”bermain api” dengan umat Islam dan memberedel situs-situs yang mereka klaim sebagai”media Islam”.
Namun, entah karena kontroversi yang mencuat, rupanya tak semua ISP mematuhi permohonan kementerian itu. Beberapa di antaranya masih membuka lebar-lebar jalurnya bagi situs-situs tersebut.
Ditanya mengapa ada anggotanya yang mbalelo, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semuel Abrijani Pangerapan berkelit persoalan itu menjadi tanggung jawab tiap-tiap anggota, bukan asosiasi.”Jika (ISP) tidak menjalankan, ada risikonya. Bisa teguran dan bahkan pencabutan (izin),” katanya.
Persoalan lain, dalam memblokir situs-situs radikal, kementerian tampak terburu-buru. Sejumlah ketentuan dalam permen diterabas misalnya dalam beberapa pasal kementerian dalam konteks ini Direktur Jenderal Aplikasi Informatika diperintahkan untuk memperingatkan pemilik situs atau memberi kesempatan untuk menghapus konten yang dianggap negatif.
”Prosedur yang ada tidak dijalankan. Tidak ada pemberitahuan lewat e-mail , telepon, atau (surat) ke kantor,” kata Samin Barkah, pemimpin umum dakwatuna. com , salah satu situs yang diblokir. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, kementerian tidak bisa menggunakan permen tersebut sebagai dasar hukum memblokir situs internet.
Musababnya, permen saat ini sedang digugat di Mahkamah Agung. Lain dari itu, ICJR menilai, permen yang memberi kementerian pedang pemblokiran itu tidak memiliki pijakan undang-undang yang jelas.
”Legitimasi kewenangan kementerian pada Permen Nomor 19 Tahun 2014 tidak sah karena (permen) tidak berdasar,” kata Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahju.
Selengkapnya baca SINDOWEEKLY, edisi Kamis 9 April 2015
(ftr)