DPR Tolak KPU Perluas Larangan Dinasti Politik
A
A
A
JAKARTA - Ketentuan mengenai dinasti politik di pilkada kembali menjadi polemik. Komisi II DPR menolak langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai memperluas ketentuan soal larangan bagi keluarga pejabat petahana untuk maju di pilkada.
Perluasan larangan tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) yang saat ini masih dibahas Komisi II DPR dengan KPU selaku penyelenggara pilkada. Dalam PKPU dijabarkan bahwa calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di tingkat kabupaten tidak boleh memiliki hubungan darah, keluarga, atau kekerabatan dengan petahana yang menjadi kepala daerah di tingkatan gubernur.
Hal ini dinilai DPR sebagai perluasan dari aturan di Undang-Undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan, UU Pilkada hanya melarang calon yang memiliki hubungan kekerabatan ke atas, bawah, dan samping dengan petahana di satu level saja, bukan melarang di seluruh level. Rambe mengatakan, UU Pilkada bersifat final dan KPU seharusnya tidak memperluas lagi dengan membuat ketentuan berupa norma baru yang melebihi aturan yang ada di UU.
”Kesepakatan kita waktu itu bukan sampai seluas itu, jadi seharusnya acuannya itu (UU) saja,” kata Rambe. Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, aturan itu dibuat karena KPU selaku penyelenggara pilkada menangkap semangat dari UU Pilkada bahwa politik dinasti harus diredam. Pilkada harus bisa adil dan memberikan kesempatan yang sama kepada orang lain.
Untuk itu, pembatasan bagi keluarga petahana di tingkat provinsi juga seharusnya berlaku di tingkat kabupaten/kota.”Kalau hanya sebatas lingkup gubernurnya enggak cukup dong. Karena kami juga melihat sebetulnya provinsi ini kalau petahananya gubernur, ke bawah kan pengaruhnya kuat sekali,” kata Hadar.
Dia belum memastikan apakah akan ada perubahan atau tidak pada PKPU tersebut.”Ya belum tahu (diubah atau tidak). Kami harus diskusi dan di situ kemandirian kami,” ujar Hadar. Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat, KPU tidak bisa membuat norma baru seperti itu karena lembaga tersebut hanya bertugas sebagai penyelenggara pemilu, bukan pembuat UU atau legislator.
Maka KPU tidak bisa sesuka hati memperluas aturan yang ada di UU. ”Enggak boleh, KPU sudah berubah menjadi DPR kalau begitu karena mereka membikin norma sendiri,” kata Margarito kemarin.
Kiswondari
Perluasan larangan tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) yang saat ini masih dibahas Komisi II DPR dengan KPU selaku penyelenggara pilkada. Dalam PKPU dijabarkan bahwa calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah di tingkat kabupaten tidak boleh memiliki hubungan darah, keluarga, atau kekerabatan dengan petahana yang menjadi kepala daerah di tingkatan gubernur.
Hal ini dinilai DPR sebagai perluasan dari aturan di Undang-Undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan, UU Pilkada hanya melarang calon yang memiliki hubungan kekerabatan ke atas, bawah, dan samping dengan petahana di satu level saja, bukan melarang di seluruh level. Rambe mengatakan, UU Pilkada bersifat final dan KPU seharusnya tidak memperluas lagi dengan membuat ketentuan berupa norma baru yang melebihi aturan yang ada di UU.
”Kesepakatan kita waktu itu bukan sampai seluas itu, jadi seharusnya acuannya itu (UU) saja,” kata Rambe. Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, aturan itu dibuat karena KPU selaku penyelenggara pilkada menangkap semangat dari UU Pilkada bahwa politik dinasti harus diredam. Pilkada harus bisa adil dan memberikan kesempatan yang sama kepada orang lain.
Untuk itu, pembatasan bagi keluarga petahana di tingkat provinsi juga seharusnya berlaku di tingkat kabupaten/kota.”Kalau hanya sebatas lingkup gubernurnya enggak cukup dong. Karena kami juga melihat sebetulnya provinsi ini kalau petahananya gubernur, ke bawah kan pengaruhnya kuat sekali,” kata Hadar.
Dia belum memastikan apakah akan ada perubahan atau tidak pada PKPU tersebut.”Ya belum tahu (diubah atau tidak). Kami harus diskusi dan di situ kemandirian kami,” ujar Hadar. Sementara itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat, KPU tidak bisa membuat norma baru seperti itu karena lembaga tersebut hanya bertugas sebagai penyelenggara pemilu, bukan pembuat UU atau legislator.
Maka KPU tidak bisa sesuka hati memperluas aturan yang ada di UU. ”Enggak boleh, KPU sudah berubah menjadi DPR kalau begitu karena mereka membikin norma sendiri,” kata Margarito kemarin.
Kiswondari
(bbg)