MA Tolak PK Terpidana Mati Mary Jane

Jum'at, 27 Maret 2015 - 11:40 WIB
MA Tolak PK Terpidana...
MA Tolak PK Terpidana Mati Mary Jane
A A A
JAKARTA - Upaya yang diajukan warga negara Filipina, Mary Jane Viesta Veloso, untuk membatalkan hukuman mati lewat pengajuan peninjauan kembali (PK) akhirnya kandas setelah Mahkamah Agung (MA) menolaknya.

Penolakan PK Mary Jane diputuskan majelis hakim pada 25 Maret 2015 dengan diketuai Hakim Agung M Saleh dengan anggota Hakim Agung Timur Manurung dan Andi Samsan Nganro. ”Sudah putusan kemarin (25/3), ditolak,” ujar anggota majelis PK Mary Jane, Andi Samsan Nganro, seusai ditemui dalam acara peringatan HUT Ke-62 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, kemarin.

Andi mengatakan, PK Mary Jane menyatakan ada penerjemah yang tidak kompeten saat mendampingi dirinya karena berstatus mahasiswa. Proses persidangan tidak bisa dikomunikasikan dengan baik oleh si penerjemah terhadap Jane. Namun, majelis PK menilai bukti baru yang diajukan Mary Jane guna mengungkap ada ketidakcakapan penerjemah tidak cukup kuat.

”Tidak bisa buktikan kesalahan, ya tidak ada novum,” ungkapnya. Mary Jane mengajukan PK ke Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, karena menilai penerjemah yang mendampinginya selama proses persidangan pada 2010 tidak cakap dan kurang kompeten. Sedangkan sidang perdana PK Mary Jane digelar PN Sleman pada 3 Maret 2015.

Dalam pengajuan PK dikatakan bahwa penerjemah yang mendampingi Jane masih berstatus mahasiswa Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yogyakarta dan tidak memiliki sertifikat penerjemah. Selain itu, Mary Jane juga mengaku hanya bisa berbahasa Tagalog dan tidak dapat memahami proses persidangan secara utuh karena penerjemah justru bicara dalam bahasa Inggris.

Ketidak cakapan penerjemah itulah yang dianggap sebagai bukti baru atau novum dalam PK dan tidak berdasarkan undang- undang (UU). Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHAP dikatakan bahwa terdakwa berhak mendapatkan pemberitahuan yang jelas sesuai bahasa yang dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Bukan hanya itu, dalam Pasal 177 ayat (1) KUHAP dinyatakan, jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang diterjemahkan. Sedangkan dalam persidangan Jane pada 2010 hingga vonis mati, penerjemah sama sekali tidak menggunakan bahasa Tagalog.

Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengapresiasi putusan PK Mary Jane tersebut. Atas putusan itu, kejaksaan bisa mempercepat eksekusi. ”Tentunya sudah betul dalam memberikan putusan terhadap PK Mary Jane sehingga proses hukumnya sudah tuntas,” ucap Prasetyo. Putusan MA ini, ujarnya, menandakan bahwa lembaga peradilan masih memiliki semangat yang sama dengan Kejagung.

Jika seperti itu, kemungkinan MA akan cepat menangani semua PK yang diajukan terpidana mati lainnya. Dengan demikian, akan memudahkan Kejagung mempercepat eksekusi mati. ”Semangat yang sama dengan kita dan itu harus kita hargai,” tandasnya. Jika proses PK terpidana mati lainnya seperti Mary Jane, ujar Prasetyo, tidak menutup kemungkinan eksekusi bisa dilakukan dalam waktu dekat.

”Tentunya kita berharap hakim memiliki sikap yang sama. Kalau semua sama, eksekusi segera mungkin,” ungkapnya. Kepala Kejaksaan Tinggi DIY I Gede Sudiatmaja mengaku sampai saat ini belum menerima informasi apa pun soal hasil putusan PK Mary Jane. Selaku eksekutor negara, pihaknya sewaktu-waktu siap menindaklanjuti putusan MA itu dan memindahkan Mary Jane ke lokasi eksekusi.

”Belum ada, jika sudah ada surat pemberitahuan resmi, tidak akan kami tutup-tutupi. Pasti akan kami sampaikan proses selanjutnya,” kata dia. Mary Jane ditangkap aparat Bea Cukai Bandara Adisutjipto, Sleman, pada 2010. Dia kedapatan membawa heroin seberat 2,6 kilogram.

Oleh peradilan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi, Mary Jane divonis hukuman mati karena terbukti bersalah menyelundupkan heroin dan tergolong sindikat narkotika internasional. Pada 3 Maret 2015 ibu dua anak itu mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Sleman. Meski permohonan grasinya telah ditolak Presiden, Mary Jane masih mencoba mencari keringanan hukuman dengan menempuh upaya hukum PK.

Sesuai rencana, Kejaksaan Agung akan membarengkan eksekusi Mary Jane dengan sembilan terpidana mati kasus narkotika lain di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Namun, pelaksanaan eksekusi para terpidana mati yang disebut sebagai eksekusi gelombang kedua itu belum jelas kapan waktunya karena kejaksaan masih menunggu seluruh hak hukum terpidana terpenuhi salah satunya PK yang diajukan Mary Jane dan gugatan hukum PTUN oleh beberapa terpidana mati lain.

Sedangkan Agus Salim selaku penasihat hukum Mary Jane mempertimbangkan upaya hukum lain setelah upaya PK kliennya ditolak MA. Upaya hukum lain itu adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata UsahaNegara (PTUN). Diamengaku, upayahukumitumenirulangkah dua terpidana mati kasus narkotika lain, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang sudah terlebih dulu mengajukan gugatan atas penolakan grasi ke PTUN.

”Kami akan diskusikan dulu dengan Mary Jane,” kata Agus Salim ketika dihubungi wartawan. Namun, gugatan ke PTUN ini masih menunggu pemberitahuan resmi dari MA. Sampai saat ini dia masih sebatas mengetahui informasi penolakan PK dari pemberitaan media online. Agus juga mengaku kecewa atas putusan MA yang menolak PK kliennya tersebut.

Menurut dia, hakim tidak mempertimbangkan sejumlah bukti baru yang diajukan termasuk yurisprudensi putusan PK terpidana kasus narkoba asal Thailand, Nonthanam N Saichon. Di pengadilan tingkat pertama, Nonthanam divonis hukuman mati, tapi putusan PK akhirnya meringankan vonis tersebut. Latar belakang pengajuan PK Nonthanam dan Mary Jane sama persis yaitu terkait kendala bahasa saat menjalani proses hukum.

Nurul adriyana/hasyim ashari/ristu hanafi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7548 seconds (0.1#10.140)