Bareskrim Tetapkan Denny Tersangka

Rabu, 25 Maret 2015 - 07:57 WIB
Bareskrim Tetapkan Denny Tersangka
Bareskrim Tetapkan Denny Tersangka
A A A
JAKARTA - Penyidikan kasus dugaan korupsi proyek payment gateway di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) memasuki babak baru. Penyidik Bareskrim Polri meningkatkan status mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai tersangka tadi malam.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Rikwanto mengungkapkan, penetapan tersangka terhadap Denny ini setelah melalui gelar perkara di Direktorat Tipikor Bareskrim Mabes Polri yang dilakukan pada Minggu (22/3) lalu. ”Yang bersangkutan (Denny) akan dipanggil sebagai tersangka pada hari Jumat untuk diperiksa,” katanya kepada KORAN SINDO tadi malam.

Penetapan tersangka ini terkait dengan dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan proyek payment gateway di Kemenkum HAM 2014. Pada saat itu Denny menjabat sebagai wakil menteri dan memimpin proyek yang telah menghabiskan anggaran negara sekitar Rp32 miliar itu.

Pernyataan Rikwanto ini seakan menegaskan apa yang disampaikan Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso pada Jumat (20/3) lalu. Saat itu Kabareskrim telah mengisyaratkan status Denny meningkat menjadi tersangka. Hal tersebut diungkapkan Budi setelah Denny mangkir dari pemanggilan lantaran tidak boleh didampingi oleh penasihat hukum. ”Mungkin besok, kalau minta dampingi sesuai aturan KUHAP, mungkin jadi tersangka saja,” kata Budi.

Bareskrim telah menemukan titik terang atas proyek layanan paspor itu. Bahkan penyidik Bareskrim menemukan tujuh alat bukti dalam menyelidiki dugaan keterlibatan Denny. ”Karena permintaan beliau (Denny), kalau mau didampingi kan tersangka. Sebagai penegak hukum, kita kabulkan permintaan beliau,” tutur Budi.

Sebelum memberikan status tersangka kepada Denny, polisi telah memeriksa sedikitnya 12 saksi, termasuk mantan Menkumham Amir Syamsuddin. Bahkan, Amir telah diperiksa sebanyak dua kali dalam kasus tersebut.

Pada pemeriksaan kedua, Senin (23/3), Amir mengaku ditanya lima pertanyaan seputar proses harmonisasi program payment gateway dengan peraturanperaturan yang ada di Kemenkumham saat itu. ”Tidak ada pertanyaan lain di luar itu,” kata Amir.

Sayang, Amir enggan mengomentari adanya kerugian negara sebesar Rp32.093.692.000 dan pungutan tidak sah sebesar Rp605 juta dari sistem itu. Dalam kasus ini Denny terkesan berbelit-belit dalam menanggapi pemeriksaan polisi. Saat panggilan pertama dia malah memilih datang ke kantor Mensesneg untuk mengadukan kasusnya daripada datang ke Mabes Polri.

Denny pun mengklaim pengusutan kasus payment gateway merupakan upaya kriminalisasi terhadap dirinya yang telah membela KPK. Sikap Denny yang menolak diperiksa polisi dan memilih berkeliling mencari dukungan itu mendapat kritikan banyak tokoh, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

JK meminta para penggiat antikorupsi bersikap jantan dan sportif. Lontaran JK ini menyentil sikap Denny yang tak memenuhi panggilan polisi. ”Penggiat antikorupsi jangan takut diperiksa. Biasanya, periksa itu, periksa ini, tahan itu, tahan ini, periksa BG, masukkan BG, ketika akan diperiksa jangan saya, fair tidak?” katanya dengan nada tanya.

JK menyatakan orang yang diperiksa penyidik, baik itu dari kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, bukan sebuah bentuk kriminalisasi karena bagian dari proses mengumpulkan fakta. Penggiat antikorupsi juga harus bisa menjelaskan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi seperti yang disangkakan. ”Itu tidak sportif, jangan begitu, jelaskan dulu masalahnya. Jangan karena penggiat antikorupsi terus tidak mau diperiksa,” tekan JK.

Denny pun akhirnya mendatangi panggilan dan diperiksa sebagai saksi di Bareskrim pada Kamis (12/3). Saat itu, Denny menolak adanya anggapan yang menyebut negara mengalami kerugian hingga Rp32,4 miliar dalam proyek payment gateway . Menurut dia, nilai itu merupakan pendapatan yang diperoleh negara dalam proyek sistem pembuatan paspor secara online.

”Sudah ada laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang mengatakan proyek ini sudah menyetorkan Rp32,4 miliar. Jadi negara menerima uang Rp32,4 miliar, bukan kerugian negara,” kilahnya.

Namun, pemeriksaannya tidak tuntas karena Denny meminta didampingi pengacara. Sebaliknya, polisi enggan memenuhi permintaan Denny karena saat itu statusnya masih sebagai saksi. Sebelumnya, Denny dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Andi Syamsul Bahri. Dalam laporan LP/166/2015/Bareskrim, Denny dilaporkan atas dugaan korupsi saat masih menjabat sebagai wakil menteri hukum dan HAM.

Guru besarUGM Yogyakarta itu disangka dengan Pasal 2 jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Payment gateway merupakan layanan jasa elektronik penerbitan paspor yang mulai diluncurkan Juli 2014.

Namun, belum lama diluncurkan Kementerian Keuangan merespons layanan tersebut belum berizin. Proyek tersebut kemudian dihentikan oleh Menkumham saat itu, Amir Syamsuddin, padahal negara sudah mengeluarkan dana sebesar Rp32 miliar. Kuasa hukum Denny Indrayana, Defrizal, mengakui kliennya menerima surat panggilansebagai tersangka untuk diperiksa hari Jumat mendatang. ”Belum tahu kami (apakah Denny datang atau tidak). Kami baru terima surat jadi mau konsultasikan dulu,” ujarnya tadi malam.

Bagaimana reaksi Denny saat menerima surat panggilan sebagai tersangka? ”Beliau sangat siap menghadapi kasus ini karena beliau merasa enggak ada yang salah dengan program ini. Beliau merasa dikriminalisasilah,” jawabnya.

Kemarin siang pengacara Denny yang lain, Heru Widodo, mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk menanyakan kejelasan kasus kliennya. Kepada wartawan, Heru menyebut dana Rp605 juta yang disebut-sebut pungli dalam kasus pembayaran pasporelektronikitusebagaibiaya resmi perbankan.

”Tentang info adanya pungli sejumlah Rp605 juta itu tidak tepat karena program payment gateway justru bertujuan menghilangkan pungli dan calo paspor. Rp5.000 per transaksi itu biaya resmi perbankan, bukan pungli,” kata Heru di Gedung Bareskrim, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, biaya Rp5.000 per transaksi paspor bukan merupakan sesuatu yang wajib. Sebab, bila pemohon memilih melakukan transaksi secara manual (loket) maka tidak dikenai biaya tersebut. Mengenai pemberitaan bahwa terdapat kerugian negara sebesar lebih dari Rp32 miliar, Heru juga membantah. ”Sama sekali tidak ada kerugian negara. Karena sebenarnya angka itu, menurut BPK tertanggal 30 Desember 2014, bukan kerugian negara,” katanya.

Dana tersebut, lanjut Heru, merupakan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disetor ke negara dari hasil pembuatan paspor. Dengan demikian, pihaknya memastikan tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan dari program pembayaran paspor secara elektronik tersebut.

Sebelum ini Kadivhumas Polri Brigjen Pol Anton Charliyan menjelaskan, dari hasil audit BPK disimpulkan adanya indikasi kerugian negara sebesar Rp32.093.695.000 dari pengadaan proyek tersebut. Selain itu Anton membeberkan, dalam pelaksanaan program itu terdapat pungutan liar senilai Rp605 juta.

Helmi syarif/ Sabir laluhu/Khoirul muzaki/Okezone/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7335 seconds (0.1#10.140)