Online Asing Harus Bayar Pajak

Senin, 23 Maret 2015 - 10:37 WIB
Online Asing Harus Bayar...
Online Asing Harus Bayar Pajak
A A A
JAKARTA - Dominasi online asing yang sulit disentuh mendapat perhatian khusus dari parlemen. Komisi I DPR mendesak pemerintah segera membuat aturan khusus agar Indonesia juga diuntungkan dengan keberadaan raksasa internet asing.

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengakui baik bisnis berbasis internet (e-commerce) ataupun penyedia layanan over the top (OTT) seperti Facebook dan Google sulit disentuh sebagai objek pajak. Pasalnya, terjadi lintas batas negara dan melalui jalur online.

”Ini (online global) akan merugikan negara karena nilai transaksi besar tapi tidak dikenai pajak,” papar Mahfudz di Jakarta tadi malam. Seperti diketahui, dominasi media raksasa online global memicu keprihatinan pemerintah. Ini karena mereka mengeruk keuntungan, besar terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pajak ke Indonesia. Pemerintah kesulitan memantau online asing tersebut karena kantor maupun server -nya berada di luar negeri.

Sejumlah kalangan mendesak agar pemerintah tegas memaksa perusahaan internet raksasa tersebut membuat kantor di Indonesia dan berbadan hukum Indonesia. Dengan demikian, semua pendapatan mereka harus dibukukan dalam badan hukum di Indonesia (PT) agar ada pembayaran PPN (pajak pertambahan nilai) dan pajak penghasilan. Selain itu, server perusahaan tersebut juga harus berada di Indonesia, tujuannya supaya bisa diakses untuk kepentingan sensor (accessible to censorship ) bila kontennya melanggar serta bisa dipertanggungjawabkan jika dibutuhkan.

Kemudian, idealnya mayoritas kepemilikan oleh pihak lokal karena hal yang sama diatur demikian. Untuk media televisi ada Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berjanji akan bertindak melakukan penertiban agar keberadaan perusahaan online global itu juga memberikan keuntungan bagi Indonesia. Lebih jauh Mahfudz mengungkapkan, di Indonesia saat ini terjadi kekosongan regulasi. Karena itu, perlu dipikirkan regulasi baik untuk e-commerce ataupun OTT.

”Menurut saya pemerintah perlu mengkaji persoalan ini. Saya mendorong pemerintah menyiapkan draf RUU yang mengatur persoalan itu,” ujar politikus PKS tersebut. Komisi I DPR pernah membahas dan sedang mengkaji perlunya perangkat undang-undang yang dapat menyentuh sepak terjang online global itu.

”Bisa saja diharuskan membuat PT. Karena dengan begitu dapat dijadikan sebagai objek pajak. China sudah mempraktikkan itu,” paparnya. Namun hal tersebut tergantung posisi tawar Indonesia. Menurut Mahfudz, jika Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat besar, berarti posisi tawarnya bisa menjadi kuat.

”Organisasi laba tentunya untuk mendapatkan laba. Mereka masih mau ketika pangsa pasarnya besar di Indonesia,” ujarnya. Pengamat telekomunikasi Syafril Nasution mengatakan, pemerintah melalui Kemenkominfo harus mengontrol semua lembaga penyiaran asing yang beroperasi di Indonesia sehingga kontennya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan undang-undang.

”Bahwa media online asing tidak hanya terdaftar, tapi juga harus teregistrasi dalam badan hukum Indonesia sehingga terkontrol baik isinya, kontennya tidak disalahgunakan,” ujarnya kemarin. Syafril menambahkan, selain harus berbadan hukum, seharusnya server online asing juga di Indonesia sehingga segala sesuatunya bisa dimonitor.

”Online asing ini bisa memasukkan berita dari mana saja sehingga kita bisa memproteksi hal-hal yang kita anggap membahayakan bagi masyarakat kita, khususnya bagi anak belum cukup umur yang bisa melihat apa saja di dalam situs. Ini kan sebenarnya harus dikontrol,” katanya. Dia melanjutkan, Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) mengontrol konten yang ada dalam setiap penyiaran. Namun karena server -nya tidak berada di Indonesia atau tidak dalam bentuk badan hukum Indonesia, online global ini menjadi sulit dikontrol.

”Seharusnya ini bagian dari pekerjaan lembaga penyiaran atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Mengontrol setiap konten yang disebarkan oleh media asing tadi sesuai dengan undang-undang yang berlaku di kita,” ungkapnya. Kerugian negara dari keberadaan online asing adalah banyak orang memasang iklan di sana, namun tidak ada pajak yang masuk ke kas negara. Akibatnya, media online asing mendapatkan pendapatan dari iklan tanpa membayar pajak apa pun.

Sebaliknya, media nasional tidak mendapatkan banyak pendapatan dari iklan, namun harus membayar pajak. ”Ini tidak berimbang. Mematikan industri lembaga penyiaran nasional kalau online asing tidak bisa dibatasi,” tekannya. Pakar teknologi informasi dari Interaksis, Teguh Imam Suyudi, juga sangat setuju jika Pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang dapat mendorong agar para raksasa internet seperti Google, Facebook, Youtube dan lainnya membayar pajak. Khususnya untuk iklan yang tayang di situs-situs tersebut.

”Saya juga sangat mendukung wacana yang saat sedang digulirkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kemenkominfo bahwa nantinya tidak hanya e-commerce yang kena pajak, tetapi juga OTT. Seperti Facebook, Google, dan sejenisnya yang model bisnisnya menawarkan slot iklan dan lainnya. Asal ada transaksi akan dikenai pajak,” katanya.

Menurut dia, saat ini Pemerintah Indonesia sudah tepat untuk melakukan dua pendekatan yang diambil dalam menata bisnis OTT asing di Indonesia. Di antaranya melalui jalur regulasi dan pendekatan bisnis. ”Jalur regulasi, misalnya, dalam bentuk pembuatan kebijakan pajak bisnis online yang saat ini sedang dipersiapkan regulasinya oleh Kemenkominfo. Tujuannya agar Indonesia mendapat manfaat yang nyata dalam hal pemasukan pajak untuk negara,” ujarnya.

Pemerintah juga perlu mengharuskan para raksasa internet tersebut untuk membuka badan hukum di Indonesia dalam bentuk PT. Dengan demikian mereka memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). ”Otomatis mereka harus membayar pajak,” paparnya. Jalur bisnisnya dapat dilakukan kerja sama dengan para raksasa internet tersebut. Terutama menyediakan apa saja yang mereka perlukan untuk dapat meningkatkan investasinya di Indonesia.

”Karena selama ini yang menikmati hasil konten online tersebut bukan orang di Indonesia, melainkan para pemilik situs yang berada di luar negeri,” kata Teguh. Teguh mengatakan Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir atau gentar dalam berhadapan dengan para raksasa internet tersebut. Pasalnya sejumlah negara di benua Eropa ada istilah ”Google tax” alias pajak Google. Beberapa negara itu pun ramai-ramai memberlakukan pajak yang mengharuskan Google membayar sejumlah uang kepada para publisher berita.

Salah satunya Spanyol yang telah secara resmi menyetujui pemberlakuan pajak tersebut secara efektif pada 1 Januari 2015. Pada saat kebijakan ini berlaku, setiap publisher berita bisamemperoleh sejumlah uang tertentu kepada search engine (mesin pencari). ”Uang tersebut mereka dapatkan untuk setiap link berita yang muncul dalam hasil pencarian sebuah mesin pencari, tak hanya terbatas pada Google,” ungkapnya.

Menurut Teguh, Spanyol bukan satu-satunya negara yang memberlakukan pajak seperti ini. Sebelumnya Jerman juga memiliki kebijakan serupa. Di samping itu, pemerintah juga perlu berhati-hati dalam hal kebijakan pajak belanja online atau e-commerce . Agar jangan sampai nantinya ”membunuh” industri online lokal, khususnya yang masih merintis.

Komisioner KPI Fajar A Isnugroho mengatakan, konten media online merupakan tanggung jawab penuh Kemenkominfo. Selama ini regulasi terkait hal itu belum diatur. ”Itu harusnya diatur dulu. Yang mengurusi konten di media online itu belum ada regulasinya, dan itu bingung oleh siapa yang mengatur. Tapi sementara ini menjadi tanggung jawab Kominfo bukan kebijakan KPI,” paparnya.

Dia mengakui, KPI tidak memiliki wewenang terkait regulasi yang diterapkan. Pasalnya aturannya belum jelas sehingga masih bebas. ”Aturannya itu belum jelas dan bukan kewenangan KPI untuk memberikan komentar,” ujarnya. Namun, dia membeberkan, saat ini pemerintah sedang membahas regulasi tersebut.

”Sedang dibahas di DPR tentang hal tersebut, dan di dalamnya mengatur tentang konten new media itu,” katanya.

Dita angga/ oktiani endarwati/ arsy ani s
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1217 seconds (0.1#10.140)